Efek

Wednesday, May 6, 2015

KRITIK AL-GHAZALI TERHADAP FILOSUF


KRITIK AL-GHAZALI TERHADAP FILOSUF



Makalah
Disajikan dalam Forum Diskusi Kelas
Pada Mata Kuliah
Sejarah Pemikiran Islam


Oleh :
Taufiqurrahman      :    11.0212.0816
Bahruddin Noor       :    11.0212.0819
Ahmad Sayuti           :    11.0212.0824



Dosen Pengampu
Dr. Hadariansyah AB, MA



INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
PROGRAM PASCASARJANA
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
BANJARMASIN
2011
KRITIK AL-GHAZALI TERHADAP FIlOSUF

A.    PENDAHULUAN
Kawasan Iraq sebagai pusat pemerintahan kekuasaan Islam pada zaman pertengahan, merupakan muara pertemuan beraneka ragam budaya, peradaban dan agama. Tak kurang, kultur bangsa Persia, India, Suryani, serta penganut Yahudi dan Nasrani, ditambah dengan tradisi pemikiran rasional bangsa Yunani, berasimilasi dengan budaya Islam berbasis semenanjung Arab. Latar belakang sosial dan budaya yang heterogen ini memunculkan iklim keilmuan yang berkembang pesat. Kemajuan ilmu pengetahuan yang bukan saja terkonsentrasi pada keilmuan syari’at, tetapi juga merambah pada bidang sains dan teknologi, diklaim sebagai masa keemasan dan kejayaan Islam. Di satu sisi, situasi semacam ini mendorong terjadinya lompatan-lompatan pemikiran hingga melampaui batas doktrin konvensional ajaran Islam.

Di tengah munculnya gejala pembelokan ajaran agama inilah, dunia Islam perlu bersyukur karena pada abad kelima hijriyah (kira-kira satu generasi setelah Ibnu Sina) tampil al-Ghazali seorang pemikir yang dengan dahsyat dan tandas mengkritik filsafat, khususnya mengkritik Al-Farabi dan Ibnu Sina dalam bukunya yang berjudul tahafut al falasifah. Beliau diakui sebagai salah seorang pemikir yang paling hebat tidak saja dalam Islam tapi juga dalam sejarah intelektual manusia. Al-Ghazali, di mata banyak sarjana modern muslim maupun bukan muslim, adalah orang yang sangat berpengaruh dalam perkembangan ajaran Islam. Namanya menjulang karena ketinggian pengetahuan, kedalaman pemahaman, kekuatan argumentasi serta ketajaman analisisnya, hingga dijuluki sebagai Hujjat al-Islam, sekaligus pembaharu abad kelima.
B.       RIWAYAT HIDUP AL-GHAZALI
Bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i dilahirkan pada tahun 450/1050 M di kota Tus – Khurasan, Persia. Gelar ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan. Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi'i. Ia berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Menjelang akhir hayatnya, dia menitipkan kedua anaknya kepada seorang karibnya dengan pesan agar kedua anaknya dididik dengan baik sampai harta peninggalannya habis. Pesan tersebut dilaksanakan, dan setelah harta itu habis, mereka disarankan untuk tetap menuntut ilmu sebanyak-banyaknya.
Al Ghazali menuntut ilmu pada salah satu madrasah di Tus. Di sini ia belajar fiqh kepada Ahmad bin Muhammad Al Razikani. Setelah menamatkan pendidikan dasarnya di sana, ia melanjutkan sekolahnya ke Jurjan, ketika itu ia masih berusia di bawah dua puluh tahun. Di sini ia tidak lagi hanya mendapat pelajaran dasar dalam agama islam, seperti yang diterima di Tus itu, tetapi telah mulai pula mendalami pelajaran dalam bahasa Arab dan bahasa Persi dari gurunya Al Imam Abu Nasir al Isma’ili.
Merasa tidak puas terhadap pengetahuan-pengetahuan yang didapat di Tus dan Jurjan, Al Ghazali pergi ke Naisabur. Di kota ini, ia belajar kepada Imam al-Haramain, Diya’uddin al Juwaini. Disinilah mulai langkah penting dari riwayat hidup Al Ghazali untuk memenuhi kehausannya akan ilmu pengetahuan yang selama ini menjadi idam-idamannya. Perhatiannya ditumpahkannya untuk mendalami berbagai cabang ilmu, seperti ilmu usul, mantiq, retorika, logika dan ilmu kalam. Beliau juga mulai belajar falsafah. Itu semuanya dikuasainya dalam waktu singkat, sehingga ia menjadi seorang ilmuwan yang paling pintar di zamannya.[1]
Setelah Al-juawaini wafat (478/1085 M), Al Ghazali pindah ke Mu’askar dan menetap di sana selama lebih kurang lima tahun. Dalam setiap kesempatan, beliau selalumenghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan di istana wazir (perdana menteri) Nizamul Mulk, seorang negarawan Bani Saljuk yang ketika itu adalah penguasa dalam pemerintahan yang berpusat di Baghdad. Melalui pertemuan-pertemuan ilmiah itu, Al Ghazali lalu muncul sebagai seorang ulama yang berpengatahuan luas dan dalam, sehingga pada tahun 484/1091 M, dalam usia 34 tahun ia diangkat oleh Nizamul Mulk menjadi guru besar di Perguruan nizamiyah Baghdad. Di kota ini, ia menjadi populer, halqah pengajiannya semakin luas, dan ia pun banyak menulis, seperti : al-Basit, al-Wasit, al-Wajiz, Al-Khulasah fi ‘ilmil Fiqh, Al-Munqil fi ‘ilmil Jidal, Ma’khadul Khilaf, Lubabun Nazar, Tahsinul Ma’akhiz, dan Al-Mabadi’ wal Gayah fi Fannil Khilaf.
Pada tahun 1095 M, Al Ghazali meninggalkan kedudukannya yang tinggi di madrasah Al-Nizamiyah – Baghdad dan pergi ke Damaskus, bertapa di salah satu menara masjid umawi yang ada di sana. Beliau bosan dengan kehidupan di Baghdad, bosan terhadap pangkat yang diperolehnya. Kebosanan itu berpangkal pada kejengkelannya terhadap dirinya sampai terjadi krisi kejiwaan yang memaksanya menjauhi manusia dan berbuat zhuhud serta meninggalkan sifat-sifat sombong dan kemasyhuran untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kesucian jiwa; usaha mencapai kebenaran di tengah pendapat-pendapat yang bertentangan satu sama lain. Pada masa inilah dia menulis buku-buku yang berusaha membela keagungan Islam dan kelebihannya dibanding dengan agama-agama lain. Dan disaat-disaat seperti ini pulalah timbul kritiknya terhadap filosof.
Setelah tinggal di Damaskus selama sepuluh tahun Al Ghazali menyelesaikan tulisannya kemudian kembali ke Bagdad, dia kemudian mengajarkan isi kitabnya di majlis-majlis taklim. Karna mengetahui Al Ghazali sudah kembali ke Bagdad, Muhammad penguasa pada saat itu meminta Al Ghazali untuk kembali ke Naisabur dan mengajar di perguruan Nizamiyah. Dia mengajar di sana selama dua tahun, setelah itu dia pulang dan kembali ke kampung halamannya di Thus. Al Ghazali kemudian mendirikan sebuah sekolah untuk mendidik para pukaha’ dan mutahawwifin (orang yang ahli dalam bidang tasawuf). Di kampung halamannya inilah Al Ghazali meninggal dunia, pada tahun 505 H/ 1111 M. pada usia 55 tahun.
Al ghazali adalah pengagum Francis Bacon, ini dapat di lihat dari kata-kata yang di kutip nya sesaat sebelum meninggal._ Sesaat sebelum meninggal, beliau sempat mengucapkan kata yang diucapka oleh Prancis Bacon­_ filsuf Inggris yaitu : kuletakkan arwah ku di hadapan Allah dan tanamkanlah jasadku dilipatan bumi yang sunyi senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir umat manusia dimasa yang akan datang.[2]

C.      Kritik Terhadap Filosof
Al Ghazali mempelajari terhadap segala pengetahuan, sebagai sarana untuk meraih petunjuk dan juga sebagai upaya untuk mencari suatu kebenaran. Beliau mempelajari fiqh cukup lama. Namun, justru dia tidak menemukan kepuasan. Dia tidak puas oleh perdebatan-perdebatan etimologik maupun tekstualitas yang kaku.    Al Ghazali tidak merasakan bahwa kalbu para ahli fiqh tergetar terhadap apa yang mereka tulis.Kemudian Al Ghazali mendalami ilmu kalam, dengan harapan sampai kepada Allah. Sebagai diketahui dalam ilmu kalam terdapat beberapa aliran yang saling bertentangan. Timbul pertanyaan dalam dirinya aliran manakah yang betul-betul benar di antara semua aliran itu ? menurutnya, kebenaran haqiqi adalah pengetahuan yang diyakini betul kebenarannya. Tak terdapat sedikitpun keraguan di dalamnya. Dia berkata: “jika kuketahui bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari tiga dan ada yang mengatakan sebaliknya dengan bukti tongkat bisa diubah menjadi ular dan itu memang terjadi dan kusaksikan sendiri; hal itu tidak akan membuat aku ragu akan pengetahuanku. Aku hanya merasa kagum terhadap kemampuan orang itu, tanpa aku ragu terhadap pengetahuanku”.
Al Ghazali juga mengkaji filsafat, kelihatannya hal itu untuk menyelediki apakah pendapat-pendapat yang diajukan filosof-filosof itu merupakan kebenaran. Baginya, ternyata bahwa argumen-argumen yang mereka ajukan tidak kuat dan menurut keyakinannya ada yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Beliau mendiskusikan dan membatalkan pemikiran-pemikiran filosof serta menjelaskan kelemahan-kelemahannya.[3]
Al-Ghazali memulai kitabnya dengan mengarahkan kritik tajam terhadap Aristoteles, guru pertama dan pemuka para filosof. Tetapi bukan Aristoteles satu-satunya yang menjadi sasaran kritiknya. Dia juga menyerang kebanyakan orang Yunani yang tidak memeluk agama samawi, dan karena itu, umat Islam menganggap mereka kafir, dan orang yang mengikuti pemikiran mereka, juga akan menjadi kafir. Karena Al Ghazali telah bertekad  memerangi kekufuran, maka salah satu sebab kekufuran yang dilihatnya ialah dari mulai adanya pengagungan oleh kalangan umat Islam terhadap pemikiran-pemikiran Socrates, Plato, Aristoteles dan sebagainya.
Sebab haqiqi yang mendorongnya menyerang Aristoteles adalah perkataannya: bahwa alam ini qadim (tidak bermula). Dan ini adalah masalah pertama dalam “Tahafut al Falasifah”. Oleh karena para filosof islam, atau seperti yang disebut oleh Al Ghazali “para pemilsafat dalam Islam” (almutafalsifah fi al islam), telah mengangkat filsafat Aristoteles, sehingga Al Farabi digelar orang “guru kedua”, dan kemudian Ibnu Sina menempuh jalan serupa, dan dengan usaha dan kerja keduanya filsafat islam menjadi lebih sempurna, maka tidaklah heran jika serangan Al-Ghazali terpusat pada dua tokoh (Aristoteles dan Ibnu Sina) tersebut. [4]

D.      Kitab Tahafut Al Falasifah
Kitab yang dikarang Al Ghazali pada tahun 488 H ini terdiri atas empat mukadimah, 20 masalah dan penutup (al-khatimah). Mukadimah pertama ia mengarahkan kritik tajam terhadap Aristoteles. Disini ia menolak pemikiran para filosof, malah terhadap guru Aristoteles sendiri.
Kedua, beberapa pemikiran para filosof yang tidak bertentangan dengan agama seperti ilmu matematika dan fisika. Dua jenis ilmu ini sangat berguna bagi peradaban manusia dan agama pun mengajarkan orang untuk mempelajarinya. Ketiga, penjelasan tentang keruntuhan (tahafut) para filosof, yaitu menyanggah pemikiran mereka. Keempat, kendatipun para filosof mempergunakan matematika dan logika sebagai metode berfikir tetai itu tidak perlu bagi seorang teolog walaupun keabsahan matematika tidak dapat diingkari. Sedangkan logika, maka ilmu ini sangat perlu karena dia alat berfikir yang dipergunakan para filosof dan manusia lainnya. Ilmu ini tidak asing bagi islam dan mereka menyebutnya ilmu penalaran (nazar) dan ilmu debat (jedal).[5]
Dalam bukunya yang sangat populer dalam dunia Filsafat islam di zaman pertengahan ini juga memuat kritiknya terhadap para filosof dalam 20 permasalahan. Secara rinci ke-20 masalah tersebut adalah sebagai berikut :
1.    Pendapat mereka tentang:
a.       Alam qadim (tidak bermula)
b.      Alam kekal (tidak berakhir)
c.       Tuhan tidak mempunyai sifat
d.      Tuhan tidak dapat diberi sifat al-jins (jenis) dan al-fasl (diferensia)
e.       Tuhan tidak mempunyai mahiah (hakekat)
f.       Tuhan tidak mengetahui juz’iat
g.      Planet-planet adalah bintang yang bergerak dengan kemauan.
h.      Jiwa-jiwa planet mengetahui smua juz’iat
i.        Hukum alam tidak berubah
j.        Jiwa manusia adalah substansi yang berdiri sendiri, bukan tubuh dan bukan pula ‘ard (accident)
k.      Mustahilnya hancur jiwa manusia
l.        Tidak adanya pembangkitan jasmani
m.    Adanya tujuan bagi gerak planet-planet
Al Ghazali khawatir bahwa apa yang dikatakan oleh para filosof matematika dalam masalah ketuhanan dapat diyakini kebenarannya seperti halnya matematika itu sendiri.
2.    Ketidaksanggupan mereka membuktikan:
a.         Bahwa Tuhan adalah pencipta alam dan alam adalah ciptaan tuhan.
b.        Adanya Tuhan
c.         Mustahilnya ada dua Tuhan.
d.        Bahwa Tuhan bukanlah tubuh
e.         Bahwa Tuhan mengetahui wujud lain
f.         Bahwa Tuhan mengetahui essensinya
g.        Bahwa alam yang qadim mempunyai pencipta.

Pada bagian penutup, Al Ghazali mengkafirkan para filosof dalam tiga masalah yaitu kekadiman alam dalam arti tak bermula. Allah tidak mengetahui yang rinci (juz’iyyat),dan tidak adanya pembangkitan jasmani. Dalam masalah-masalah ini katanya adalah“jelas kekufurannya yang tidak satu golonganpun dari umat Islam menganutnya”. Adapun pendapat mereka yang lain, kata Al Ghazali, maka mazhab mereka itu lebih dekat kepada mazhab pembawa bid’ah dalam islam. Dan barang siapa yang berpendapat bahwa pembawa bid’ah dari golongan Islam itu kafir, maka mereka itu juga kafir; dan jika mereka menahan diri dari mengkafirkan mereka itu, maka kekafirannya terbatas pada masalah-masalah ini saja.
Aristoteles adalah filosof pertama yang mengatakan bahwa “cosmos” ini adalah qadim, yakni telah ada sejak azali, tidak bermula. Para filosof terdahulu berpendapat bahwa alam ini dijadikan dari materi pertama atau ia adalah suatu lingkaran silsilah alam yang telah ada dan musnah.[6] Ketika munculnya para filosof Islam dan mereka menganut falsafat Aristoteles dan neo platonisme, mereka pun bernalar terhadap Tuhan sebagai ‘yang pertama”, seperti pendapat Al-Farabi, yakni sebab pertama bagi seluruh semesta ini; atau Tuhan sebagai “al wajib’, seperti dalam teori Ibnu Sina, yakni wajib wujud zati, yakni pembagian wujud kepada wajib daruri dan mumkin, yaitu alam ini.
Para filosof berkata: “mustahil secara mutlak yang baru keluar dari qadim”. Mereka ini mengikuti kias kebalikan (qias al khulf), mengandaikan kebalikan yang dimaksud, yaitu bila alam ini baharu sedangkan Allah qadim, maka mustahil keluarnya yang baharu dari yang qadim. Jika proposisi ini benar, maka pastilah alam ini qadim, mustahil baharu. Pendapat ini ditentang oleh Al Ghazali dan para teolog Islam. Menurut pendapat mereka, bahwa alam ini dijadikan dari tidak ada. Allah telah ada lebih dahulu daripada adanya alam ini. Dalil mereka yang terkenal ialah : alam ini baru, dan setiap yang baru mesti ada pembaharunya. Jadi pembaharu alam ini ialah Allah. Jika alam ini tidak baharu, maka ia qadim; sedang yang qadim hanya Allah. Oleh karena itu, perlu dibela akidah Islam dalam masalah ini dengan membatalkan teori kekadiman alam. Pendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyat, jelas bertentangan dengan teks-teks ayat-ayat al-qur’an. Seperti: surat al Hujurat ayat 16; dan surat Yunus ayat 61 yang artinya:

Artinya : Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?" (QS. Al-Hujurat: 16)
Artinya : Kamu tidak berada dalam suatu Keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Yunus: 61)
Sedang pendapat tentang tidak adanya pembangkitan jasmani, juga jelas bertentangan dengan nash ayat al-Qur’an, seperti pada surat Yasin, ayat 78-79 yang artinya:
Artinya: Dan ia membuat perumpamaan bagi kami; dan Dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?". Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. dan Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk. (QS. Yasin: 78-79)
Hal-hal pemikiran serupa inilah yang menyebabkan Al Ghazali mengkafirkan orang yang menganut faham filsafat. Namun harus dijelaskan di sini pendapat Ibnu Rusyd, seperti dikutip oleh Harun Nasution bahwa pengkafiran Al Ghazali terhadap Al Farabi dan Ibnu Sina bukan absolut, karena dalam al-Tafriqah, Al Ghazali menegaskan bahwa pengkafiran atas dasar menentang ijma’ tidak bersifat mutlak.
Dan dalam bukunya “Al Munqiz minad Dalal” kita dapat menyimpulkan bahwa yang diserang Al Ghazali dengan nada yang sangat keras ialah aspek metafisika dari filsafat. Ada tiga proposisi filosof yang diserangnya habis-habisan seperti sudah diterangkan sebelumnya, dan kata Al Ghazali, tak seorang muslim pun mempercayai proposisi macam ini. Dari pembicaraan di atas dapatlah dikatakan bahwa Al-Ghazali pada hakikatnya bukan memusuhi filsafat secara keseluruhan, sebab ia hanyalah menyerang dengan tuntas aspek metafisik dari filsafat. Al-Farabi dan Ibnu Sina terutama diserangnya pada aspek metafisik ini. Ia tidak menentang logika atau penggunaan penalaran. Yang ia tentang adalah kalim akal untuk mengetahui seluruh kebenaran.[7]
Jadi jelas bahwa pertentangan yang ada antara Al-Ghazali di satu pihak dan Al-Farabi serta ibnu Sina di pihak lain, hanyalah perbedaan pendapat atau ijtihad, yang lumrah di kalangan umat Islam. Baik kaum filosof maupun Al-Ghazali tetap mengakui Tuhan sebagai pencipta dan alam diciptakan. Kedua pihak mengakui adanya hari perhitungan dan kedua fihak tetap mengakui bahwa Tuhan mengetahui juz’iyat dan yang dipersoalkan kaum filosof ialah cara Tuhan mengetahui juz’iyat itu. Caranya, kata mereka, melalui jalan kulli, apapun artinya kata itu. Yang jelas, Al Ghazali tidak mengharamkan filsafat karena ia sendiri mempelajarinya.



E.     Kesimpulan
Al-Ghazali adalah seorang teolog sekaligus seorang pemikir Islam yang banyak menyumbangkan pikirannya sampai ke generasi sekarang. Pada hakikatnya, Al-Ghazali bukanlah mengkritik filsafat secara keseluruhan, tetapi ia hanya menyerang aspek metafisika dari filsafat. Al Farabi dan Ibnu Sina terutama diserangnya pada aspek metafisik ini. Ia tidak menentang logika atau penggunaan penalaran. Yang ia tentang adalah klaim akal untuk mengetahui kebenaran. Pertentangan antara Al-Ghazali dan kaum filosof, berkisar pada interpretasi tentang ajaran-ajaran dasar dalam Islam, bukan tentang diterima atau ditolaknya ajaran-ajaran dasar itu sendiri. Namun demikian, kritik-kritiknya terhadap filosof merupakan salah satu keberhasilannya dalam meletakkan dasar-dasar bagi sikap muslim Sunni terhadap filsafat, di samping keberhasilan-keberhasilan lainnya dalam menghadapi kelompok Syi’ah Ismailiyah serta menghidupkan tradisi Sufi dalam masyarakat muslim Sunni. Bagaimanapun juga, dia adalah tokoh pembaharu pada masanya dengan sekian banyak peninggalan karya tulisnya yang tidak kecil artinya bagi generasi muslim sesudahnya.



DAFTAR PUSTAKA

Amsal, Bakhtiar Dr. MA. Filsafat Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Daudi, Ahmad. Segi-segi Pemikiran Filsafat Dalam Islam. Bulan Bintang, Jakarta, 1984
Gibb, Har, kramers. J.H, The Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1960
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filasafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
Madjid, Nucholish. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Mustofa, Drs. H. A. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Poerwantana, dkk. Seluk Beluk Filsafat Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991.


[1] Gibb, Har, Kramers, J.H, The Encyclopaedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1960), hlm. 1038.
[2] Drs. H. A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 216.

[3] Hilmi El Angga, ‘Pemikiran Filsafat Al-Ghazali’, www.hilmigangga.com/page1/2010
[4] Ibid.
[5] Ihsan Maulana, ‘Sekilas Tentang Al-Ghazali’, www.bilikfalsafah.com/page1/2010
[6] Ahmad Daudi, Segi-segi Pemikiran Filsafat Dalam Islam, (Bulan Bintang, Jakarta, 1984), hlm. 67.
[7] Bakhtiar Amsal, Dr. MA, Filsafat Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 51.

No comments: