KRITIK
AL-GHAZALI TERHADAP FILOSUF
Makalah
Disajikan
dalam Forum Diskusi Kelas
Pada
Mata Kuliah
Sejarah
Pemikiran Islam
Oleh :
Taufiqurrahman : 11.0212.0816
Bahruddin
Noor : 11.0212.0819
Ahmad Sayuti : 11.0212.0824
Dosen Pengampu
Dr. Hadariansyah AB, MA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
PROGRAM PASCASARJANA
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
BANJARMASIN
2011
KRITIK AL-GHAZALI
TERHADAP FIlOSUF
A. PENDAHULUAN
Kawasan
Iraq sebagai pusat pemerintahan kekuasaan Islam pada zaman pertengahan,
merupakan muara pertemuan beraneka ragam budaya, peradaban dan agama. Tak
kurang, kultur bangsa Persia, India, Suryani, serta penganut Yahudi dan
Nasrani, ditambah dengan tradisi pemikiran rasional bangsa Yunani, berasimilasi
dengan budaya Islam berbasis semenanjung Arab. Latar belakang sosial dan budaya
yang heterogen ini memunculkan iklim keilmuan yang berkembang pesat. Kemajuan
ilmu pengetahuan yang bukan saja terkonsentrasi pada keilmuan syari’at, tetapi
juga merambah pada bidang sains dan teknologi, diklaim sebagai masa keemasan
dan kejayaan Islam. Di satu sisi, situasi semacam ini mendorong terjadinya
lompatan-lompatan pemikiran hingga melampaui batas doktrin konvensional ajaran
Islam.
Di tengah munculnya gejala
pembelokan ajaran agama inilah, dunia Islam perlu bersyukur karena pada abad
kelima hijriyah (kira-kira satu generasi setelah Ibnu Sina) tampil al-Ghazali
seorang pemikir yang dengan dahsyat dan tandas mengkritik filsafat, khususnya
mengkritik Al-Farabi dan Ibnu Sina dalam bukunya yang berjudul tahafut al falasifah. Beliau diakui sebagai salah seorang pemikir yang paling
hebat tidak saja dalam Islam tapi juga dalam sejarah intelektual manusia.
Al-Ghazali, di mata banyak sarjana modern muslim maupun bukan muslim, adalah orang
yang sangat berpengaruh dalam perkembangan ajaran Islam. Namanya menjulang
karena ketinggian pengetahuan, kedalaman pemahaman, kekuatan argumentasi serta
ketajaman analisisnya, hingga dijuluki sebagai Hujjat al-Islam,
sekaligus pembaharu abad kelima.
B. RIWAYAT HIDUP AL-GHAZALI
Bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i dilahirkan
pada tahun 450/1050 M di kota Tus – Khurasan, Persia. Gelar ayahnya yang
bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di
Bandar Thus, Khurasan. Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa beliau
bermazhab Syafi'i. Ia berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai
cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Menjelang akhir hayatnya, dia menitipkan kedua anaknya
kepada seorang karibnya dengan pesan agar kedua anaknya dididik dengan baik
sampai harta peninggalannya habis. Pesan tersebut dilaksanakan, dan setelah
harta itu habis, mereka disarankan untuk tetap menuntut ilmu sebanyak-banyaknya.
Al Ghazali menuntut ilmu pada salah satu madrasah di Tus. Di sini
ia belajar fiqh kepada Ahmad bin Muhammad Al Razikani. Setelah menamatkan
pendidikan dasarnya di sana, ia melanjutkan sekolahnya ke Jurjan, ketika itu ia
masih berusia di bawah dua puluh tahun. Di sini ia tidak lagi hanya mendapat
pelajaran dasar dalam agama islam, seperti yang diterima di Tus itu, tetapi
telah mulai pula mendalami pelajaran dalam bahasa Arab dan bahasa Persi dari
gurunya Al Imam Abu Nasir al Isma’ili.
Merasa tidak puas terhadap pengetahuan-pengetahuan yang didapat di
Tus dan Jurjan, Al Ghazali pergi ke Naisabur. Di kota ini, ia belajar kepada
Imam al-Haramain, Diya’uddin al Juwaini. Disinilah mulai langkah penting dari
riwayat hidup Al Ghazali untuk memenuhi kehausannya akan ilmu pengetahuan yang
selama ini menjadi idam-idamannya. Perhatiannya ditumpahkannya untuk mendalami
berbagai cabang ilmu, seperti ilmu usul, mantiq, retorika, logika dan ilmu
kalam. Beliau juga mulai belajar falsafah. Itu semuanya dikuasainya dalam waktu
singkat, sehingga ia menjadi seorang ilmuwan yang paling pintar di zamannya.[1]
Setelah Al-juawaini wafat (478/1085 M), Al Ghazali pindah ke
Mu’askar dan menetap di sana selama lebih kurang lima tahun. Dalam setiap
kesempatan, beliau selalumenghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan di
istana wazir (perdana menteri) Nizamul Mulk, seorang negarawan Bani Saljuk yang
ketika itu adalah penguasa dalam pemerintahan yang berpusat di Baghdad. Melalui
pertemuan-pertemuan ilmiah itu, Al Ghazali lalu muncul sebagai seorang ulama
yang berpengatahuan luas dan dalam, sehingga pada tahun 484/1091 M, dalam usia
34 tahun ia diangkat oleh Nizamul Mulk menjadi guru besar di Perguruan
nizamiyah Baghdad. Di kota ini, ia menjadi populer, halqah pengajiannya semakin
luas, dan ia pun banyak menulis, seperti : al-Basit, al-Wasit, al-Wajiz,
Al-Khulasah fi ‘ilmil Fiqh, Al-Munqil fi ‘ilmil Jidal, Ma’khadul Khilaf,
Lubabun Nazar, Tahsinul Ma’akhiz, dan Al-Mabadi’ wal Gayah fi Fannil Khilaf.
Pada tahun 1095 M, Al Ghazali meninggalkan kedudukannya yang
tinggi di madrasah Al-Nizamiyah – Baghdad dan pergi ke Damaskus, bertapa di
salah satu menara masjid umawi yang ada di sana. Beliau bosan dengan kehidupan
di Baghdad, bosan terhadap pangkat yang diperolehnya. Kebosanan itu berpangkal
pada kejengkelannya terhadap dirinya sampai terjadi krisi kejiwaan yang
memaksanya menjauhi manusia dan berbuat zhuhud serta meninggalkan sifat-sifat
sombong dan kemasyhuran untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kesucian
jiwa; usaha mencapai kebenaran di tengah pendapat-pendapat yang bertentangan
satu sama lain. Pada masa inilah dia menulis buku-buku yang berusaha membela
keagungan Islam dan kelebihannya dibanding dengan agama-agama lain. Dan
disaat-disaat seperti ini pulalah timbul kritiknya terhadap filosof.
Setelah
tinggal di Damaskus selama sepuluh tahun Al Ghazali menyelesaikan tulisannya
kemudian kembali ke Bagdad, dia kemudian mengajarkan isi kitabnya di
majlis-majlis taklim. Karna mengetahui Al Ghazali sudah kembali ke Bagdad,
Muhammad penguasa pada saat itu meminta Al Ghazali untuk kembali ke Naisabur
dan mengajar di perguruan Nizamiyah. Dia mengajar di sana selama dua tahun,
setelah itu dia pulang dan kembali ke kampung halamannya di Thus. Al
Ghazali kemudian mendirikan sebuah sekolah untuk mendidik para pukaha’
dan mutahawwifin (orang yang ahli dalam bidang tasawuf). Di kampung halamannya inilah
Al Ghazali meninggal dunia, pada tahun 505 H/ 1111 M. pada usia 55 tahun.
Al
ghazali adalah pengagum Francis Bacon, ini dapat di lihat dari kata-kata yang
di kutip nya sesaat sebelum meninggal._ Sesaat sebelum meninggal, beliau sempat
mengucapkan kata yang diucapka oleh Prancis Bacon_ filsuf Inggris yaitu :
kuletakkan arwah ku di hadapan Allah dan tanamkanlah jasadku dilipatan bumi
yang sunyi senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir
umat manusia dimasa yang akan datang.[2]
C. Kritik Terhadap Filosof
Al Ghazali mempelajari terhadap segala pengetahuan, sebagai sarana
untuk meraih petunjuk dan juga sebagai upaya untuk mencari suatu kebenaran.
Beliau mempelajari fiqh cukup lama. Namun, justru dia tidak menemukan kepuasan.
Dia tidak puas oleh perdebatan-perdebatan etimologik maupun tekstualitas yang
kaku. Al Ghazali tidak merasakan bahwa kalbu para ahli fiqh
tergetar terhadap apa yang mereka tulis.Kemudian Al Ghazali mendalami ilmu
kalam, dengan harapan sampai kepada Allah. Sebagai diketahui dalam ilmu kalam
terdapat beberapa aliran yang saling bertentangan. Timbul pertanyaan dalam
dirinya aliran manakah yang betul-betul benar di antara semua aliran itu ? menurutnya,
kebenaran haqiqi adalah pengetahuan yang diyakini betul kebenarannya. Tak
terdapat sedikitpun keraguan di dalamnya. Dia berkata: “jika kuketahui bahwa
sepuluh adalah lebih banyak dari tiga dan ada yang mengatakan sebaliknya dengan
bukti tongkat bisa diubah menjadi ular dan itu memang terjadi dan kusaksikan
sendiri; hal itu tidak akan membuat aku ragu akan pengetahuanku. Aku hanya
merasa kagum terhadap kemampuan orang itu, tanpa aku ragu terhadap
pengetahuanku”.
Al Ghazali juga mengkaji filsafat, kelihatannya hal itu untuk
menyelediki apakah pendapat-pendapat yang diajukan filosof-filosof itu
merupakan kebenaran. Baginya, ternyata bahwa argumen-argumen yang mereka ajukan
tidak kuat dan menurut keyakinannya ada yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.
Beliau mendiskusikan dan membatalkan pemikiran-pemikiran filosof serta
menjelaskan kelemahan-kelemahannya.[3]
Al-Ghazali memulai kitabnya dengan mengarahkan kritik tajam
terhadap Aristoteles, guru pertama dan pemuka para filosof. Tetapi bukan
Aristoteles satu-satunya yang menjadi sasaran kritiknya. Dia juga menyerang
kebanyakan orang Yunani yang tidak memeluk agama samawi, dan karena itu, umat
Islam menganggap mereka kafir, dan orang yang mengikuti pemikiran mereka, juga
akan menjadi kafir. Karena Al Ghazali telah bertekad memerangi kekufuran,
maka salah satu sebab kekufuran yang dilihatnya ialah dari mulai adanya
pengagungan oleh kalangan umat Islam terhadap pemikiran-pemikiran Socrates,
Plato, Aristoteles dan sebagainya.
Sebab haqiqi yang mendorongnya menyerang Aristoteles adalah
perkataannya: bahwa alam ini qadim (tidak bermula). Dan ini adalah masalah
pertama dalam “Tahafut al Falasifah”. Oleh karena para filosof islam, atau
seperti yang disebut oleh Al Ghazali “para pemilsafat dalam Islam” (almutafalsifah
fi al islam), telah mengangkat filsafat Aristoteles,
sehingga Al Farabi digelar orang “guru kedua”, dan kemudian Ibnu Sina
menempuh jalan serupa, dan dengan usaha dan kerja keduanya filsafat islam
menjadi lebih sempurna, maka tidaklah heran jika serangan Al-Ghazali terpusat
pada dua tokoh (Aristoteles dan Ibnu Sina) tersebut. [4]
D. Kitab Tahafut Al
Falasifah
Kitab yang dikarang Al Ghazali pada tahun 488 H ini terdiri atas
empat mukadimah, 20 masalah dan penutup (al-khatimah). Mukadimah pertama ia
mengarahkan kritik tajam terhadap Aristoteles. Disini ia menolak pemikiran para
filosof, malah terhadap guru Aristoteles sendiri.
Kedua, beberapa pemikiran para filosof yang tidak bertentangan
dengan agama seperti ilmu matematika dan fisika. Dua jenis ilmu ini sangat
berguna bagi peradaban manusia dan agama pun mengajarkan orang untuk
mempelajarinya. Ketiga, penjelasan tentang keruntuhan (tahafut) para filosof,
yaitu menyanggah pemikiran mereka. Keempat, kendatipun para filosof
mempergunakan matematika dan logika sebagai metode berfikir tetai itu tidak
perlu bagi seorang teolog walaupun keabsahan matematika tidak dapat diingkari.
Sedangkan logika, maka ilmu ini sangat perlu karena dia alat berfikir yang
dipergunakan para filosof dan manusia lainnya. Ilmu ini tidak asing bagi islam
dan mereka menyebutnya ilmu penalaran (nazar) dan ilmu debat (jedal).[5]
Dalam bukunya yang sangat populer dalam dunia Filsafat islam di
zaman pertengahan ini juga memuat kritiknya terhadap para filosof dalam 20
permasalahan. Secara rinci ke-20 masalah tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Pendapat mereka tentang:
a. Alam qadim (tidak
bermula)
b. Alam kekal (tidak
berakhir)
c. Tuhan tidak mempunyai
sifat
d. Tuhan tidak dapat diberi
sifat al-jins (jenis) dan al-fasl (diferensia)
e. Tuhan tidak mempunyai
mahiah (hakekat)
f. Tuhan tidak mengetahui
juz’iat
g. Planet-planet adalah
bintang yang bergerak dengan kemauan.
h. Jiwa-jiwa planet
mengetahui smua juz’iat
i.
Hukum alam tidak berubah
j.
Jiwa manusia adalah substansi yang berdiri sendiri, bukan tubuh
dan bukan pula ‘ard (accident)
k. Mustahilnya hancur jiwa
manusia
l.
Tidak adanya pembangkitan jasmani
m. Adanya tujuan bagi gerak
planet-planet
Al Ghazali khawatir
bahwa apa yang dikatakan oleh para filosof matematika dalam masalah ketuhanan
dapat diyakini kebenarannya seperti halnya matematika itu sendiri.
2.
Ketidaksanggupan mereka membuktikan:
a.
Bahwa Tuhan adalah pencipta alam dan alam adalah ciptaan tuhan.
b.
Adanya Tuhan
c.
Mustahilnya ada dua Tuhan.
d.
Bahwa Tuhan bukanlah tubuh
e.
Bahwa Tuhan mengetahui wujud lain
f.
Bahwa Tuhan mengetahui essensinya
g.
Bahwa alam yang qadim mempunyai pencipta.
Pada bagian penutup, Al Ghazali mengkafirkan para filosof dalam
tiga masalah yaitu kekadiman alam dalam arti tak bermula. Allah tidak
mengetahui yang rinci (juz’iyyat),dan tidak adanya pembangkitan jasmani.
Dalam masalah-masalah ini katanya adalah“jelas kekufurannya yang tidak satu
golonganpun dari umat Islam menganutnya”. Adapun pendapat mereka yang lain,
kata Al Ghazali, maka mazhab mereka itu lebih dekat kepada mazhab pembawa
bid’ah dalam islam. Dan barang siapa yang berpendapat bahwa pembawa bid’ah dari
golongan Islam itu kafir, maka mereka itu juga kafir; dan jika mereka menahan
diri dari mengkafirkan mereka itu, maka kekafirannya terbatas pada
masalah-masalah ini saja.
Aristoteles adalah filosof pertama yang mengatakan bahwa “cosmos”
ini adalah qadim, yakni telah ada sejak azali, tidak bermula. Para filosof
terdahulu berpendapat bahwa alam ini dijadikan dari materi pertama atau ia
adalah suatu lingkaran silsilah alam yang telah ada dan musnah.[6] Ketika munculnya para
filosof Islam dan mereka menganut falsafat Aristoteles dan neo platonisme,
mereka pun bernalar terhadap Tuhan sebagai ‘yang pertama”, seperti pendapat
Al-Farabi, yakni sebab pertama bagi seluruh semesta ini; atau Tuhan sebagai “al
wajib’, seperti dalam teori Ibnu Sina, yakni wajib wujud zati, yakni pembagian
wujud kepada wajib daruri dan mumkin, yaitu alam ini.
Para
filosof berkata: “mustahil secara mutlak yang baru keluar dari qadim”. Mereka
ini mengikuti kias kebalikan (qias al khulf), mengandaikan kebalikan yang
dimaksud, yaitu bila alam ini baharu sedangkan Allah qadim, maka mustahil
keluarnya yang baharu dari yang qadim. Jika proposisi ini benar, maka pastilah
alam ini qadim, mustahil baharu. Pendapat ini ditentang oleh Al Ghazali dan
para teolog Islam. Menurut pendapat mereka, bahwa alam ini dijadikan dari tidak
ada. Allah telah ada lebih dahulu daripada adanya alam ini. Dalil mereka yang
terkenal ialah : alam ini baru, dan setiap yang baru mesti ada pembaharunya.
Jadi pembaharu alam ini ialah Allah. Jika alam ini tidak baharu, maka ia qadim;
sedang yang qadim hanya Allah. Oleh karena itu, perlu dibela akidah Islam dalam
masalah ini dengan membatalkan teori kekadiman alam. Pendapat bahwa Tuhan tidak
mengetahui yang juz’iyat, jelas bertentangan dengan teks-teks ayat-ayat
al-qur’an. Seperti: surat al Hujurat ayat 16; dan surat Yunus ayat 61 yang
artinya:
Artinya : Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan
kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan
apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?" (QS. Al-Hujurat: 16)
Artinya : Kamu tidak berada dalam suatu Keadaan dan tidak
membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan,
melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. tidak luput
dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di
langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu,
melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Yunus: 61)
Sedang pendapat tentang tidak adanya pembangkitan jasmani,
juga jelas bertentangan dengan nash ayat al-Qur’an, seperti pada surat Yasin,
ayat 78-79 yang artinya:
Artinya: Dan ia membuat perumpamaan bagi kami; dan Dia lupa
kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang
belulang, yang telah hancur luluh?". Katakanlah: "Ia akan dihidupkan
oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. dan Dia Maha mengetahui
tentang segala makhluk. (QS. Yasin: 78-79)
Hal-hal
pemikiran serupa inilah yang menyebabkan Al Ghazali mengkafirkan orang yang
menganut faham filsafat. Namun harus dijelaskan di sini pendapat Ibnu Rusyd,
seperti dikutip oleh Harun Nasution bahwa pengkafiran Al Ghazali terhadap Al
Farabi dan Ibnu Sina bukan absolut, karena dalam al-Tafriqah, Al Ghazali
menegaskan bahwa pengkafiran atas dasar menentang ijma’ tidak bersifat mutlak.
Dan dalam
bukunya “Al Munqiz minad Dalal” kita dapat menyimpulkan bahwa yang diserang
Al Ghazali dengan nada yang sangat keras ialah aspek metafisika dari filsafat.
Ada tiga proposisi filosof yang diserangnya habis-habisan seperti sudah
diterangkan sebelumnya, dan kata Al Ghazali, tak seorang muslim pun mempercayai
proposisi macam ini. Dari pembicaraan di atas dapatlah dikatakan bahwa
Al-Ghazali pada hakikatnya bukan memusuhi filsafat secara keseluruhan, sebab ia
hanyalah menyerang dengan tuntas aspek metafisik dari filsafat. Al-Farabi dan
Ibnu Sina terutama diserangnya pada aspek metafisik ini. Ia tidak menentang
logika atau penggunaan penalaran. Yang ia tentang adalah kalim akal untuk
mengetahui seluruh kebenaran.[7]
Jadi jelas
bahwa pertentangan yang ada antara Al-Ghazali di satu pihak dan Al-Farabi serta
ibnu Sina di pihak lain, hanyalah perbedaan pendapat atau ijtihad, yang lumrah
di kalangan umat Islam. Baik kaum filosof maupun Al-Ghazali tetap mengakui
Tuhan sebagai pencipta dan alam diciptakan. Kedua pihak mengakui adanya hari
perhitungan dan kedua fihak tetap mengakui bahwa Tuhan mengetahui juz’iyat dan
yang dipersoalkan kaum filosof ialah cara Tuhan mengetahui juz’iyat itu.
Caranya, kata mereka, melalui jalan kulli, apapun artinya kata itu. Yang jelas,
Al Ghazali tidak mengharamkan filsafat karena ia sendiri mempelajarinya.
E. Kesimpulan
Al-Ghazali adalah seorang teolog sekaligus seorang pemikir
Islam yang banyak menyumbangkan pikirannya sampai ke generasi sekarang. Pada
hakikatnya, Al-Ghazali bukanlah mengkritik filsafat secara keseluruhan, tetapi
ia hanya menyerang aspek metafisika dari filsafat. Al Farabi dan Ibnu Sina
terutama diserangnya pada aspek metafisik ini. Ia tidak menentang logika atau
penggunaan penalaran. Yang ia tentang adalah klaim akal untuk mengetahui
kebenaran. Pertentangan antara Al-Ghazali dan kaum filosof, berkisar pada
interpretasi tentang ajaran-ajaran dasar dalam Islam, bukan tentang diterima
atau ditolaknya ajaran-ajaran dasar itu sendiri. Namun demikian,
kritik-kritiknya terhadap filosof merupakan salah satu keberhasilannya dalam
meletakkan dasar-dasar bagi sikap muslim Sunni terhadap filsafat, di samping
keberhasilan-keberhasilan lainnya dalam menghadapi kelompok Syi’ah Ismailiyah serta
menghidupkan tradisi Sufi dalam masyarakat muslim Sunni. Bagaimanapun juga, dia
adalah tokoh pembaharu pada masanya dengan sekian banyak peninggalan karya
tulisnya yang tidak kecil artinya bagi generasi muslim sesudahnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Amsal,
Bakhtiar Dr. MA. Filsafat Islam.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Daudi, Ahmad. Segi-segi Pemikiran Filsafat Dalam Islam.
Bulan Bintang, Jakarta, 1984
Gibb, Har, kramers. J.H, The Encyclopaedia of
Islam. Leiden: E.J. Brill, 1960
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filasafat Islam. Jakarta:
Bulan Bintang, 1990.
Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam.
Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
Madjid, Nucholish. Khazanah Intelektual Islam.
Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Mustofa, Drs.
H. A. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Poerwantana, dkk. Seluk Beluk Filsafat Islam.
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991.
No comments:
Post a Comment