Efek

Tuesday, February 24, 2015

TEORI EMANASI AL FARABI (FILSAFAT)

TEORI EMANASI AL FARABI

A.     BIOGRAFI SINGKAT AL FARABI
Nama lengkap beliau adalah Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhn ibn Auzalagh. Dikalangan orang latin abad tengah ia lebih dikenal dengan Abu Nashr (Abunaser). Ia dilahirkan di Wasij, distrik farab sekarang lebih dikenal dengan kota Atrar, di daerah Turkistan  pada 257 H/870 M. ibunya berkebangsaan Turki, sementara  Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia[1]. Sejak kecil ia telah meninggalkan kota kelahirannya. Ia mengembara ke berbagai Negara hingga akhirnya tibalah ia ke kota Baghdat, pusat peradaban saat itu di sana ia memperdalam Filsafat selama dua puluh tahun Ia pernah mengajar dan mengulas beberapa buku-buku filsafat yunani, diantara anak muridnya yang terkenal adalah Yahya Ibn ‘Adi, seorang filosuf kristen.
             Karena kepintaran dan kepakarannya dibidang Filsafat, ia diangkat menjadi seorang ulama istana pada saat pemerintahan Saif al-Daulah al-Hamdani sebuah dinasti Hamdan di Aleppo kota Damaskus. Dengan demikian ia mendapatkan tunjangan yang lumayan besar, namun ia lebih memilih hidup sederhana dengan empat dirham untuk memenuhi hidupnya dalam 1 hari, dan selebihnya ia sedekahkan kepada para fakir miskin di daerah Aleppo dan Damaskus, bahkan diriwayatkan ia sering kelihatan pada waktu malam sedang membaca dan mengarang dibawah sinar lampu penjaga malam[2].
Hampir 10 tahun ia hanya berpindah-pindah dari dua kota itu, yang pada akhirnya hubungan dua kota itu semakin memburuk, alhasil membuat sultan  Saif ad-Daulah menyerbu kota Damaskus dan berhasil menaklukkanya, sementara Al-Farabi diikut sertakan dalam penyerbuan itu. Sampai akhirnya ia menutup mata selama-lamanya di kota itu dalam usia 80 tahun.
B.    Peran Al-Farabi Dalam Filsafat
Al-Farabi merupakan Filusuf yang pertama yang berhasil memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh seperti di dalam kitab karangannya yang berjudul Ihsha’u al-‘Ulum” yang memandang Filsafat secara utuh dan sempurna serta membahasnya secara mendetail[3].
ia juga sangat terkenal akan kepakarannya dalam hal filsafat Aristoteles sehingga ia dikenal dengan sebutan Mu’allim Tsani (Guru kedua)
[4].
Selain itu lewat usahanya pula perdebatan antara Filsafat Plato dan Aristoteles akhirnya berakhir. Ia berhasil menyatukan kedua filsafat tersebut lewat karyanya “Al-Jam’u baina Ra’yay al-Hakimain Alfathun wa Aristhu”  yang sering menjadi rujukan para filosuf sesudahnya seperti Ibnu Rusdy dan Ibnu Sina[5].

Dalam karyanya ini ia berhasil memadukan pemikiran kedua Filsafat ini yakni Plato dan Aristoteles.dalam temuannya ini dikenal dengan istilah “Pemaduan Falsafah” (al-falsafah at-Taufiqiyyah) salah satu contohnya adalah teori simbol dan gaya bahasa[6].  Dalam memahami pemikiran Plato dalam setiap karangannya maka akan menemukan kesulitan dalam memahaminya karena Plato lebih banyak menggunakan gayabahasa yang sulit serta kiasan-kiasan yang sulit dimengerti. Hal ini terkadang membuat penafsiran yang berbeda mengenai pemikirannya. Gaya bahasa serta kiasan-kiasan yang dibuat Plato dalam setiap karangannya karena menurutnya Filsafat hanya bisa dipahami oleh orang-orang tertentu saja. Hal ini sungguh berbeda sekali dengan Aristoteles yang menggunakan gaya bahasa yang sistematis dan mudah difahami. Namun dalam beberapa hal terdapat juga pembahasan yang sulit dipahami seperti dalam hal akhlaq, ilmu fisika dan metafisika. Karena memang Aristoteles memang membatasi hal ini hanya untuk orang-orang tertentu saja. Dan Ibnu Farabi menetapkan bahwa hakekatnya kedua Filosuf ini (Platod dan Aristoteles) membatasi Filsafat hanya untuk orang-orang tertentu saja. Tidak untuk semua orang[7].

Alfarabi berkesimpulaan bahwa Aristoteles dan Plato memiliki tujuan yang sama yakni mencari sebuah kebenaran, keduanya bertemu dan berjalan seiringan, Alfarabi menamakannya Neo Plato (Neo Platonisme). Keduanya berjalan seiringan hingga akhirnya tiba di dalam Islam, yakni keyakinan Islam[8].

C. Pemikiran Ibnu Farabi Dalam Filsafat
Dalam membahas pemikiran Ibnu Farabi ini kami membagi pemikirannya menjadi beberapa segi diantaranya, metafisika, akhlaq, jiwa dan lain sebagainya.
    I.        Metafisika
Pembahasan mengenai Metafisika ini al-Farabi memulai bahasan mengenai masalah wujud Allah. Al-Farabi mengemukakan dalil dalam falsafah yang dikenal dengan dalil (Ontologi) : Dalil yang berpijak pada konsep wajib dan Mungkin[9]. Menurut Al-Farabi wujud ada dua macam :
a)    Mumkin Wujud, adanya wujud yang nyata karena ada yang lainnya. Seperti wujud cahaya yang tidak akan ada, kalau sekiranya tidak ada matahari.
b)   Wajibul Wujud Lidzatihi, adanya wujud yang nyata dengan terjadi dengan sendirinya. Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujudnya. Ia adalah sebab yang pertama bagi semua wujud[10].
c)    Kata al-Farabi untuk mengetahui Tuhan dapat dibuktikan dengan adanya bukti dari teori gerak. Semua yang terdapat dialam semesta selalu bergerak yang pada gilirannya bermuara pada satu hal yang pasti, yaitu adanya sesuatu yang  tidak bergerak tetapi bertindak sebagai penggerak[11].
             Kemudian pada masalah lainya seperti zat Tuhan, Bagi Al-Farabi tuhan adalah aql murni, Ia esa adanya dan yang menjadi objek pemikirannya hanya substansi-Nya. Jadi tuhan adalah ’aql, ‘aqil, dan ma’qul (akal, substansi yang berfikir dan substansi yang difikirkan)[12].
 Tuhan yang digambarkan oleh Al-Farabi adalah tuhan yang jauh dari makhluq-Nya, dan ia tidak dicapai kecuali dengan jalan renungan dan amalan serta pengalaman-pengalaman tasawuf[13].
Kemudian mengenai penciptaan alam semesta, Al-Farabi yang ingin mengselaraskan filsafat Yunani dengan Islam sehingga cendrung menggunakan teori Emanasi yang diusung Platonisme [14], menurutnya tuhan menciptakan sesuatu dengan bahan yang sudah ada secara pancaran[15]. Pancaran (emanasi) alam dari tuhan terjadi sebagai akibat aktivitas tuhan memikirkan (berta’aqul terhadap) diri-Nya. Aktivitas memikirkan itu menjadi sebab bagi pemancaran segenap alam ciptaan-Nya. Seperti pemancaran sinar dari matahari[16]. Perbedaan teori Emanasi yang dianut Platonisme Yunani dengan Emanasi Al-Farabi terletak pada asal dari pancaran tersebut. Menurut filsafat Platonisme bahwa asal pancaran itu bukanlah tuhan, akan tetapi bagi filsafat yunani tuhan bukan pencipta alam, melainkan sebagai penggerak pertama (Prima Causa). Sementara Al-Farabi menyatakan bahwa asal dari pancaran tersebut adalah Tuhan (pencipta)[17]

D. Teori Emanasi menurut Al-Farabi
Teori emanasi sering disebut sebagai teori urut-urutan wujud, yaitu tentang keluarnya sesuatu wujud yang mungkin atau makhluk dari Dzat yang wajib wujud-Nya atau Zat yang mesti adanya yaitu Tuhan.
Melalui teori emanasi ini, AL-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang beraneka ragam (makhluk) dapat timbul dari yang Esa, tidak berubah, jauh dari benda, karena Akal yang merupakan substansi Tuhan tidak memerlukan benda, jauh dari arti banyak, karena Tuhan itu tunggal adanya, Maha Sempurna dan Terlepas dari sesuatu yang lain. Berpijak dari keyakinan bahwa Tuhan adalah Akal yang berpikir tentang diriNya dan dari pemikiran itu timbul suatu keadaan yang lain dari diri-Nya.
Sebenarnya, pemikiran Al-Farabi ini mengambil pendapat Aristoteles. Menurut Aristoteles, Tuhan adalah Akal yang berpikir. Kemudian untuk menjelaskan terjadinya makhluk dipinjamlah teori emanasi ciptaan Plotinus. Hal ini dikemukakan Drs. H. Hasbullah Bakry SH.
Dalam soal kejadian alam dan bagaimana hubungan antara Khalik dan makhluk, Al-Farabi seperti juga Al-Kindi menyetujui teori emanasi Neo Platonisme. Bahkan lebih jauh dari Al-Kindi, Al-Farabi lebih memperinci teori emanasi yang dinamakannya Nadzaratul Faidh (teori perlimpahan) itu dengan penguraian sendiri.
Menurut Al-Farabi segala sesuatu keluar dari Tuhan, karena Tuhan mengetahui zat (substansi) Nya. Ilmu-Nya tersebut telah menjadi sebab begi sesuatu yang mungkin adanya.
Segala sesuatu yang ada (makhluk), terjadinya disebabkan Akal semata-mata, yaitu sesuatu yang mungkin keluar dari Tuhan tanpa gerak. Akan tetapi, adanya alam itu tidaklah memberikan kesempurnaan bagi Tuhan, sebab Tuhan sendiri tidak memerlukannya, juga bukan merupakan tujuan bagi Tuhan dan adanya Tuhan bukan karena sebab yang lain.
1.      Proses Pelimpahan
Berpangkal dari Tuhan yang memikirkan substansi-Nya, timbul suatu wujud baru yang keluar dari Tuhan yang disebut akal pertama (al-Aqlul Awwal). Akal pertama ini kemudian ber-taaqqul pula, memikirkan akal Tuhan dan memikirkan dirinya sendiri. Dengan ta’aqqul, Tuhan melimpahakan akal kedua (al-aqlusstani) dan ta’aqqul sendiri menimbulkan langit yang paling luar beserta jiwanya (al-falaq al-aqsha’). Dari sejak ini lah mulai sifat kejamakan dari alam (makhluk).
Seterusnya dari akal kedua timbullah akal ketiga (Al-aqlusstalist) yang bersama langit kedua atau wakibisttaslist dengan cara yang sama seperti terjadinya pada akal pertama.
Dari akal ketiga muncullah akal keempat (al-Aqlurrabi’) yang disertai planet saturnus bersama jiwanya (zuhal). Kemudian dari akal keempat melimpah akal kelima( al-aqlulkhamis) dan planet zupiter dengan jiwanya (al-musytari).
Dari akal kelima melimpah akal keenam (al-Aqlussadis) yang bersama dengan planet mars serta jiwanya (mirrih).
Lalu melimpah akal ketujuh (al-Aqlussabi’) dari akal keenam disertai matahari dengan jiwanya (as-syams).
Dari akal ketujuh timbul  kedelapan (al-aqlusstamin) bersama planet venus dengan jiwanya (az-zuhrah). Seterusnya dari akal kedelapan melimpahlah akal kesembilan (al-aqluttasi’) bersama pula planet merkerius dengan jiwanya (utharid). Akhirnya, akal kesembilan melimpahkan akal kesepuluh (al-aqlulasyir) atau al-aqlul fa’al beserta bulan (qamar) dengan jiwanya. Pada akal kesepuluh berhentilah melimpahnya atau timbulnya akal-akal tersebut. Tetapi dari akal kesepuluh ini keluar lah bumi serrta roh-roh dan materi asal (materi pertama) yang menjadikan dasar dari keempat unsur: api, udara, air dan tanah.
2.      Asal Manusia
Manusia adalah termasuk dalam wujud yang mungkin (makhluk). Dengan proses pelimpahan, melalui akal fa’al (akal kesepuluh) Tuhan mengeluarkan materi pertama juga jiwa. Jiwa manusia sebagaimana halnya dengan materi memancar dari akal kesepuluh.
Melalui pelimpahan seperti tertulis di atas, sebenarnya tubuh manusia berasal dari materi pertama (materi asal) yang menjadi dasar dari 4 unsur itu yaitu api, udara, air dan tanah. Keempat unsur tersebut adalah bahan-bahan pembentuk tubuh manusia atau manusia dari segi jasmaninya. Kemudian jasad manusia yang telah terbentuk itu memerlukan roh (jiwa) untuk dapat hidup, sehingga terwujudlah manusia hidup dengan pengertian manusia yang terjadi dari jiwa dan raga.
Jiwa yang diperlukan untuk melengkapi tubuh manusia itu pun berasal dari akal kesepuluh (akal fa’al), seperti halnya materi asal pembentuk tubuh. Maka dengan melalui proses demikian itu, manusia menurut al-Farabi berasal dari Tuhan, tetapi bukan berarti sesuatu ciptaan dalam arti sekaligus langsung jadi, sebab terbentuknya manusia telah melalui suatu proses emanasi atau pelimpahan tadi. Jadi, manusia berasal dari Tuhan yang terbentuk secara tidak langsung melalui akal kesepuluh (akal fa’al).
3.      Terjadinya Alam
Dalam filsafat Islam, masalah qadim atau tidak qadimnya alam banyak dibicarakan oleh para pemikir Islam, termasuk juga pengertian qadim itu sendiri yang berarti sudah semenjak semula jadi, tidak berawal. Begitu pula di dalam filsafatnya, AL-Farabi membicarakannya:
“Alam terjadi melalui ciptaan sekaligus tanpa waktu oleh Tuhan Yang Maha Agung”.
Dari pendapat yang diucapkan oleh Al-Farabi tersebut, timbulah penafsiran yang berbeda mengenai pendapatnya tentang baharu atau kidamnya alam ini.
Sebagian berpendapat, bahwa menurut Al-Farabi, alam ini baru, sedangkan sebagian lainnya berpendapat bahwa menurut Al-Farabi alam ini tidak bermula. Di antara dua pendapat tersebut, A. Hanafi, MA menullis di dalam bukunya Pengantar Filsafat Islam mengatakan bahwa alam ini adalah qadim: “Dalam soal qadimnya alam, Al-Farabi mengikuti Aristoteles. Untuk tidak keluar dari ajaran agama Islam, ia mempertemukan pendapat Aristoteles dengan ketetuan Islam mengenai “khalq (penciptaan)”, dengan mengatakan bahwa akal-akal benda langit diciptakan oleh Tuhan, meskipun tidak dalam waktu.”
Di lain pihak, pendapat kedua dikemukakan oleh MM. Sharis di dalam bukunya Alam Pikiran Islam: “Tetapi Al Farabi tidak percaya akan kekekalan alam, yang menurut pendapat Aristoteles alam itu adalah kekal. Menurut Al Farabi, alam ini mempunyai pangkal dan ujung (awal dan akhir)”.
Dari dua pendapat tersebut, yang pertama mengatakan Al Farabi mengikuti Aristoteles, berarti Al Farabi berpendapat bahwa alam ini kekal. Sedangkan kedua mengatakan bahwa Al Farabi menolak pendapat Aristoteles tentang kekekalan alam, berarti Al Farabi berpendapat bahwa alam ini tidak kekal (qadim).
Apabila kita menilik ajaran Al Farabi mengenai emanasi, bahwa alam ini keluar dari pelimpahan, maka berarti alam diciptakan (baru). Sedangkan dengan pendapat bahwa alam ini qadim (kekal), maka berarti akan mengingkari Tuhan sebagai sebab pertama. Yang menjadi masalah sebenarnya adalah soal waktu. Namun yang jelas materi asal (pertama) berasal dari tuhan atau materi asal pembentukan alam adalah melimpah dari.wujud.Tuhan[18].

E. SIMPULAN
Teori emanasi ini lahir dilatar belakangi oleh pertanyaan tentang bagaimana alam yang materiil dan beragam ini bisa tercipta dari Allah yang Esa dan immateri. Maka di sini lah Al-Farabi mencoba menjelaskan proses penciptaan tersebut dengan teori emanasi atau yang disebut dengan proses pelimpahan. Jadi menurutnya alam ini tidak lahir secara langsung melainkan melalui proses pelimpahan atau urutan-urutan wujud. Di sini, Allah berperan sebagai akal (akal murni), aqil (yang berpikir tentang dirinya sendiri), dan ma’qul (karena merupakan objek yang dipikirkan akal-akal hasil proses pelimpahan). Lebih jelasnya, proses emanasi/pelimpahan tersebut adalah sebagai berikut:
Berpangkal dari Tuhan yang memikirkan substansi-Nya, timbul suatu wujud baru yang keluar dari Tuhan yang disebut akal pertama (al-Aqlul Awwal). Akal pertama ini kemudian ber-taaqqul pula, memikirkan akal Tuhan dan memikirkan dirinya sendiri. Dengan ta’aqqul, Tuhan melimpahakan akal kedua (al-aqlusstani) dan ta’aqqul sendiri menimbulkan langit yang paling luar beserta jiwanya (al-falaq al-aqsha’). Dari sejak ini lah mulai sifat kejamakan dari alam (makhluk).
Seterusnya dari akal kedua timbullah akal ketiga (Al-aqlusstalist) yang bersama langit kedua atau wakibisttaslist dengan cara yang sama seperti terjadinya pada akal pertama.
Dari akal ketiga muncullah akal keempat (al-Aqlurrabi’) yang disertai planet saturnus bersama jiwanya (zuhal). Kemudian dari akal keempat melimpah akal kelima( al-aqlulkhamis) dan planet zupiter dengan jiwanya (al-musytari).
Dari akal kelima melimpah akal keenam (al-Aqlussadis) yang bersama dengan planet mars serta jiwanya (mirrih).
Lalu melimpah akal ketujuh (al-Aqlussabi’) dari akal keenam disertai matahari dengan jiwanya (as-syams).
Dari akal ketujuh timbul  kedelapan (al-aqlusstamin) bersama planet venus dengan jiwanya (az-zuhrah). Seterusnya dari akal kedelapan melimpahlah akal kesembilan (al-aqluttasi’) bersama pula planet merkerius dengan jiwanya (utharid). Akhirnya, akal kesembilan melimpahkan akal kesepuluh (al-aqlulasyir) atau al-aqlul fa’al beserta bulan (qamar) dengan jiwanya. Pada akal kesepuluh berhentilah melimpahnya atau timbulnya akal-akal tersebut. Tetapi dari akal kesepuluh ini keluar lah bumi serrta roh-roh dan materi asal (materi pertama) yang menjadikan dasar dari keempat unsur: api, udara, air dan tanah.



Daftar Pustaka

Aceh, Abu Bakar, “Sejarah Filsafat Islam”, Sala: CV. Ramadhani, Cet. II,  1982.

Dahlan, Abdul Aziz. Pemikiran Filsafat dalam Islam, Padang: IAIN IB PRESS, 2000,

Drajat, Amroeni “Filsafat Islam Buat Yang Pingin Tahu,”, Jakarta: Gelora Aksara  
Pratama, 2006

Hanafi, Ahmad, “Pengantar Filsafat Islam,” Bulan Bintang, Jakarta: cet.VI , 1996

Jamia’ah Arraniry,Proyek pembinaan Perguruan Tinggi Agama Iain ,“Filsafat Islam” 

Nasution, Hasyimsyah, “Filsafat Islam”, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. III,  2002.

Nasution,Harun, “Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam”, Jakarta: Pt Bulan Bintang, Cet.
X, 1999
Sudarsono, Drs SH M.si , llmu Filsafat Suatu pengantar, Rineka Cipta, h: 353-357














Catatan Kaki:

[15] Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 37

[16] Abdul Aziz Dahlan, “Pemikiran Filsafat Dalam Islam”, Padang: Iain Ib Press, 2000, Cet. II, Hal. 65

[17]  “Ibid”

[18]
llmu Filsafat Suatu pengantar, Drs Sudarsono SH M.si , Rineka Cipta (H: 353-357


[1] Hasyimsyah Nasution, “Filsafat Islam”, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, Cet. III,  Hal. 32
[2] Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Iain Jamia’ah Arraniry, “Filsafat Islam” ,Hal. 35
[3] Ibid”., Hal. 35
[4] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, Cet. VI, Hal. 82
[5] Hasyimsyah Nasution. “Op. Cit”., Hal. 33
[6]Iain Jami’ah Arraniry, “Op. Cit”., Hal. 42
[7] Ibid”., Hal. 42-43
[8] Abu Bakar Aceh, “Sejarah Filsafat Islam”, Sala: CV. Ramadhani, 1982. Cet 2. Hal 51
[9]  Iain Jami’ah Arraniry, “Op. Cit”.,Hal. 45
[10]  Ahmad Hanafi, “Op. Cit”., Hal.90
[11]  Amroeni Drajat, “Filsafat Islam Buat Yang Pingin Tahu,”, Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2006, Hal. 32
[12]  Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 36
[13]  Ahmad Hanafi, “Op. Cit”., Hal. 91
[14]  Jami’ah Arraniry, “Op. Cit”., Hal. 52
[15]  Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 37
[16]  Abdul Aziz Dahlan, “Pemikiran Filsafat Dalam Islam”, Padang: Iain Ib Press, 2000, Cet. II, Hal. 65
[17]  “Ibid”
[18] Sudarsono, Drs SH M.si , llmu Filsafat Suatu pengantar, Rineka Cipta (H: 353-357

No comments: