Efek

Saturday, February 12, 2011

Adz Dzahabi Menohok Ajaran Wahabi [[[ Masalah Tabarruk ]]]

Lihat ini kitab berjudul:
Mu'jam asy Syuyukh
Karya adz Dzahabi; salah seorang murid Ibnu Taimiyah


Ini terjemah yang ditandai:

"Imam Ahmad pernah ditanya tentang mengusap makam nabi dan menciumnya; dan beliau melihat bahwa melakukan perkara itu bukan suatu masalah (artinya boleh)".

"Jika dikatakan: Bukankah para sahabat tidak pernah melakukan itu? Jawab: Karena mereka melihat langsung Rasulullah dan bergaul dengannya, mereka mencium tangannya, bahkan antar mereka hampir "ribut" karena berebut sisa/tetesan air wudlunya, mereka membagi-bagikan rambut Rasulullah yang suci pada hari haji akbar, bahkan apa bila Rasulullah mengeluarkan ingus maka ingusnya tidak akan pernah jatuh kecuali di atas tangan seseorang (dari sahabatnya) lalu orang tersebut menggosok-gosokan tangannya tersebut ke wajahnya".

"Tidakkah engkau melihat apa yang dilakukan oleh Tsabit al Bunani?, beliau selalu mencium tangan Anas ibn Malik dan meletakannya pada wajahnya, beliau berkata: Inilah tangan yang telah menyentuh tangan Rasulullah. Perkara-perkara semacam ini tidak akan terjadi pada diri seorang muslim kecuali karena dasar cintanya kepada Rasulullah".

Semoga kita dikupulkan bersama Rasulullah dan para sahabatnya kelak. Amin. 

http://www.facebook.com/notes.php?id=351534640896&s=30#!/note.php?note_id=157534327596818

Lagi (Bag. 2); adz Dzahabi Menohok Ajaran Sesat Wahabi [[[ Masalah Tabarruk ]]]

oleh AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT pada 09 September 2010 jam 16:23
Lihat, kitab ini berjudul:
Siyar A'lam an-Nubala'
Karya adz Dzahabi; salah seorang murid Ibnu Taimiyah, yang seringkali menjadi rujukan Wahabi


Ini terjemah yang ditandai:

"Abdullah bin Ahmad (anak Imam Ahmad ibn Hanbal) berkata: Saya telah melihat ayahku (Imam Ahmad ibn Hanbal) mengambil sehelai rambut dari rambut-rambut Rasulullah, lalu ia meletakan rambut tersebut di mulutnya; ia menciuminya. Dan aku juga melihatnya meletakan rambut tersebut di matanya, dan ia juga mencelupkan rambut tersebut pada air lalu meminumnya untuk tujuan mencari kesembuhan dengannya.
Aku juga melihat ayahku mengambil wadah (bejana/piring) milik Rasulullah, beliau memasukannya ke dalam dalam air, lalu beliau minum dari air tersebut. Aku juga melihatnya meminum dari air zamzam untuk mencarikesembuhan dengannya, dan dengan air zamzam tersebut ia mengusap pada kedua tangan dan wajahnya.

Aku (adz Dzahabi) katakan: Mana orang yang keras kepala mengingkari Imam Ahmad?? Padahal telah jelas bahwa Abdullah (putra Imam Ahmad) telah bertanya kepada ayahnya sendiri (Imam Ahmad) tentang orang yang mengusap-usap mimbar Rasulullah dan ruang (makam) Rasulullah; lalu Imam Ahmad menjawab: "Aku tidak melihat itu suatu yang buruk (artinya boleh)". Semoga kita dihindarkan oleh Allah dari faham-faham sesat Khawarij dan para ahli bid'ah".

Anda tahu? Sebenarnya yang ahli bid'ah itu adalah kaum Wahhabi, karena mereka memandang sesat terhadap sesuatu yang telah disepakati kebaikannya.... tabarruk ko dibilang bid'ah; tabarruk itu dari zaman Rasulullah masih hidup sudah ada.
http://www.facebook.com/notes.php?id=351534640896&s=30#!/note.php?note_id=157798184237099

Membasmi Atau Menyuburkan "TBC"?! Ziarah Kubur Kok Dibilang "TBC"?! Kalau Bgtu Ajarannya, Bukan "Salafi" Tapi "Talafi"!!

Membasmi Atau Menyuburkan "TBC"?! Ziarah Kubur Kok Dibilang "TBC"?! Kalau Bgtu Ajarannya, Bukan "Salafi" Tapi "Talafi"!!

oleh AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT pada 16 September 2010 jam 23:56
Kelompok yang membawa jargon "Berantas TBC"  (Tahayul, Bid'ah, Churafat) yang belakangan semakin menyebar di masyarakat benar-benar tidak dapat ditolerir. Masa orang yang ziarah kubur mereka klaim sebagai ahli bid'ah, sesat, musyrik dan kafir?!!! Ya kalau begitu namanya bukan memberantas TBC, tapi membuat TBC-TBC baru. Dan pengakuan bahwa mereka sebagai "Salafi" jauh panggang dari api, mereka lebih cocok disebut "Talafi" (Kaum Perusak).

Kita dudukan persoalan ziarah kubur ini dengan sedikit dalil saja. Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa di antara doa Nabi Musa yang ia pintakan kepada Allah:

" رَبِّ أَدْنِنِيْ مِنَ الأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ".

"Ya Allah dekatkanlah (makam) aku ke Tanah Bayt al Maqdis meskipun sejauh lemparan batu". Kemudian Rasulullah bersabda :

"وَاللهِ لَوْ أَنِّيْ عِنْدَهُ لَأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَنْبِ الطَّرِيْقِ عِنْدَ الكَثِيْبِ الأَحْمَرِ" أخرجه البخاريّ ومسلم

"Demi Allah, jika aku berada di dekat kuburan Nabi Musa niscaya akan aku perlihatkan kuburannya kepada kalian di samping jalan di daerah al Katsib al Ahmar" (H.R. al Bukhari dan Muslim)

Faedah Hadits:

Tentang hadits ini al Imam al Hafizh Waliyyuddin al 'Iraqi berkata dalam kitabnya “Tharh at-Tatsrib”:

"Dalam hadits ini terdapat dalil kesunnahan untuk mengetahui kuburan orang-orang yang saleh untuk berziarah ke sana dan memenuhi hak-haknya".

Dan dengan dasar hadits ini, juga berbagai hadits lainnya, menjadi tradisi di kalangan para ulama Salaf dan Khalaf bahwa ketika mereka menghadapi kesulitan atau ada keperluan mereka mendatangi kuburan orang-orang saleh untuk berdoa di sana dan mengambil berhaknya dan setelahnya permohonan mereka dikabulkan oleh Allah. Al Imam asy-Syafi’i ketika ada keinginan yang ingin terkabul seringkali mendatangi kuburan Abu Hanifah dan berdoa di sana hingga dikabulkan doanya oleh Allah. Al Imam Abu Ali al Khallal seringkali mendatangi makam al Imam Musa ibn Ja’far as-Shadiq. Al Imam Ibrahim al Harbi dan al Imam al Mahamili mendatangi kuburan al Imam Ma’ruf al Karkhi sebagaimana diriwayatkan oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi dalam kitabnya “Tarikh Baghdad”. Karena itu para ahli hadits seperti al Hafizh Syamsuddin Ibn al Jazari mengatakan dalam kitabnya yang berjudul 'Uddah al Hishn al Hashin :

"وَمِنْ مَوَاضِعِ إِجَابَةِ الدُّعَاءِ قُبُوْرُ الصَّالِـحِيْنَ".

"Di antara tempat dikabulkannya doa adalah kuburan orang-orang yang saleh ".

Al Hafizh Ibn al Jazari sendiri sering mendatangi kuburan Imam Muslim ibn al Hajjaj, penulis Sahih Muslim dan berdoa di sana sebagaimana disebutkan oleh Syekh Ali al Qari dalam Syarh al Misykat.


al Imam al Hafizh as Sulthan al Walyy as Shaleh Abu Abdirrahman Abdullah al Harari (Rahimahullah)
http://www.facebook.com/notes.php?id=351534640896&s=20#!/note.php?note_id=159746074042310

Kaum Wahabi Telah Mengoyak Kitab al Adzkar Karya Imam An Nawawi (Mengungkap Kejahatan Wahabi)

Bismillah, as Shalat wa as salam ala Rasululillah,
Kaum wahabi benar-benar kaum Talafi (pengganti Salafi), kaum PERUSAK.
Silahkan anda lihat bukti scan ini untuk menunjukan demikian BURUK-nya mereka; menyebarkan kebohongan untuk tujuan menebar AJARAN SESAT; mereka merubah kitab-kitab ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah supaya sejalan dengan "perut" dan hawa nafsu mereka. Bukti scan ini dari tulisan (pengakuan) Syekh Abdul Qadir al Arna'uth yang telah melakukan tahqiq terhadap kitab karya Imam an Nawawi; "al Adzkar". Ternyata hasil tahqiq-nya tersebut "digondol" (dicuri) oleh gerombolan Wahabi dari Riyadl Saudi yang menamakan diri mereka sebagai "LAJNAH AL BUHUTS AL ILMIYYAH WA AD DA'WAH WA AL IRSYAD".

Anda tahu apa yang dilakukan oleh lajnah al buhuts at takfiriyyah ini???? Mereka "mengoyak" tulisan Imam an Nawawi; lihat.. sebuah bab semula berjudul:

فصل في زيارة قبر رسول الله صلي الله عليه وسلم
[[[[[ Pasal: Dalam menjelaskan tentang ziarah ke makam Rasulullah ]]]]]

(Anda tahu; kandungan makna dari penamaan bab ini?? adalah berisi ungkapan betapa besar Imam an Nawawi mencintai dan mengagungkan Rasulullah....!!!)
Tapiiii.... ternyata; kaum Wahabiyyah Talafiyyah telah merubah judul bab tersebut menjadi:

فصل في زيارة مسجد رسول الله صلي الله عليه وسلم
[[[[ Pasal: Dalam menjelaskan ziarah ke masjid Rasulullah ]]]]

(Anda tahu dengan pemalsuan tangan-tangan jahat Wahabi ini betapa besar "luka" yang ditorekan mereka kepada "hati" seorang Imam terkemuka sekelas Imam an Nawawi??? Apakah anda tidak merasakan bahwa tangan-tangan jahat tersebut tidak hanya melukai seorang Imam an Nawawi... tapi; PERHATIKAN... bukankah itu melukai Rasulullah???? Lalu apakah anda sebagai umat Rasulullah tidak merasa dilukai ketika Rasulullah dilukai oleh tangan-tangan jahat itu???
Apakah anda tahu bahwa Rasulullah besabda:

من زار قبري وجبت له شفاعتي / رواه البزار وغيره

"Barangsiapa yang datang berziarah ke makamku maka wajiblah ia mendapatkan syafa'atku" (HR. al Bazzar dan lainnya) 
????????????????????????????????????????????????????
Orang-orang Wahabi yang tidak tahu diri itu harus menjawab "pertanyaan panjang" ini, dan harus mempertanggungjawabkan itu semua di hadapan Rasulullah kelak; [ ]

Thursday, February 10, 2011

Dalil Kebolehan Mencium Makam Rasulullah Atau Orang-orang Saleh Dari Kitab Wafa' al Wafa (Menohok Ajaran Sesat Wahabi)

oleh AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT pada 21 September 2010 jam 9:34

Terjemah teks yang diberi garis bawah:


Wafa al Wafa Bi Akhbar Dar al Musthafa
Karya Imam as Samhudi (W 911 H)

Al Izz bin al Jama’ah berkata: “Dalam kitab al Ilal dan kitab Su’alat Abdullan bin Ahmad bin Hanbal; (Kitab berisi pertanyaan-pertanyaa yang ditanyakan oleh Abdullah kepada ayahnya sendiri; yaitu Imam Ahmad bin Hanbal), sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ali bin as Shuf dari Abdullah, bahwa Abdullah berkata: Saya telah bertanya kepada ayahku tentang orang yang mengusap mimbar Rasulullah untuk tujuan mendapatkan berkah, menciuminya, lalu melakukan hal yang sama terhadap makam Rasulullah supaya mendapatkan pahala dari Allah; ia (Imam Ahmad bin Hanbal) menjawab: Tidak masalah (boleh)”.

As Subki (Imam Taqiyyuddin Ali bin Abdil Kafi as Subki) dalam risalah bantahannya terhadap Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa larangan mengusap makam Rasulullah bukan perkara yang telah disepakati para ulama. Telah meriwayatkan Abul Husain Yahya bin al Husain ---- dengan sanadnya -----, berkata: Ketika Marwan bin al Hakam (salah seorang khalifah Bani Umayyah) mendatangi makam Rasulullah ia mendapati seseorang tengah duduk di hadapan makam tersebut. Marwan memagang tengkuk orang itu, berkata: Apakah sadar apa yang engkau lakukan ini? Orang itu berbalik menghadap, menjawab: Iya, (saya sadar) saya tidak mendatangi (berhadapan) sebongkah batu dan tembok, saya mendatangi Rasulullah. (saya mendengar Rasulullah bersabda): “Janganlah kalian tangisi jika agama ini dipimpin oleh ahlinya, tapi tangisilah jika agama ini dipimpin oleh orang yang bukan ahlinya”. (artinya; engkau wahai Marwan bukan seorang yang ahli dalam memimpin agama ini). Orang tersebut ternyata adalah sahabat Rasulullah; yaitu Abu Ayyub al Anshari.

Kemudian sahabat Bilal bin Rubah ketika datang dari Syam (sekarang Lebanon, Siria, Yordani, dan Palestina) ke Madinah untuk tujuan ziarah ke makam Rasulullah maka ia langsung mendatangi makam, menangis di hadapannya, dan membolak-balikan wajahnya di atas makam tersebut. Sanad riwayat ini baik.

Setelah Rasulullah dimakamkan maka datanglah Fatimah (putri Rasulullah), ia berdiri di hadapan makam, lalu mengambil segenggam tanah dari makam tersebut, ia letakan pada kedua matanya, ia menangis lalu berkata:

Apa yang akan diraih oleh orang yang mencium tanah Muhammad; adalah bahwa ia tidak akan penah mencium sepanjang masanya sesuatu yang lebih berharga dari pada tanah tersebut.
Telah ditimpakan kepadaku berbagai musibah (termasuk wafatnya Rasulullah); yang musibah-musibah jika tersebut ditimpakan pada siang maka ia seluruh siang akan menjadi malam (artinya musibah tersebut sangat berat).

Al Khathib bin Hamalah menyebutkan bahwa sahabat Abdullah bin Umar bin khattab telah meletakan tangan kanannya di makam mulia Rasulullah. Lalu Bilal bin Rubah juga telah meletakan kedua pipinya di atas makam Rasulullah. al Khathib juga telah menyebutkan riwayat dari kitab Su’alat Abdullah bin Ahmad (sebagaimana yang telah kita sebutkan di atas). Ia (al Khathib) berkata: Tidak diragukan lagi bahwa tenggelam dalam rasa cinta menjadikan itu (mengusap makam) perkara yang boleh. Tujuan dari pada itu semua adalah untuk penghormatan dan memuliakan. Sungguh derajat manusia itu bertingkat, sebagaimana dahulu di masa Rasulullah masih hidup manusia itu bertingkat (berbeda-beda); ada sebagian mereka ketika melihat Rasulullah mereka tidak dapat menahan dirinya (karena cinta) maka langsung “memburu” Rasulullah, ada sebagian lainnya yang “kalem (berhati-hati; tidak grasa-grusu)” maka mereka dapat menahan dirinya. Yang jelas semua itu adalah baik”.

Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani berkata: “Sebagian ulama dalam mengambil kesimpulan/intisari (istinbath) tentang mengapa disyari’atkan mencium hajar aswad adalah dengan dengan dasar kebolehan mencium segala sesuatu yang berhak untuk dimuliakan; baik manusia atau lainya. Adapun tentang anjuran mencium tangan manusia (yang mulia) penjelasannnya telah lalu bahwa termasuk bentuk adab. Sementara anjuran terhadap selain manusia adalah dengan dasar (di antaranya) riwayat bahwa Imam Ahmad ditanya tentang mencium mimbar Rasulullah dan makamnya; beliau memandang itu bukan masalah (artinya boleh)”.  

Sementara kaum Wahabi berkata bahwa orang yang ziarah ke makam para wali Allah adalah orang-orang musyrik (dalam istilah buruk mereka "Quburiyyun")... terlebih lagi yang mencium makam mereka!!!!

Lebih parah lagi, "imam besar tanpa tanding" mereka; Ibnu Taimiyah, mengatakan bahwa perjalanan ziarah ke makam Rasulullah untuk tujuan ziarah adalah perjalanan maksiat; tidak boleh mengqasar shalat dalam perjalanan tersebut.... nau'dzu billah!!!!

heh... wahabi khabits...!!! Lihat; sahabat Abdullah bin Umar bin Khattab meletakan tangan di atas tanah makam Rasulullah....!!! lihat; sahabat Bilal bin Rubah meletakan ke dua pipinya di atas tanah makam Rasulullah...!!!! apakah kalian akan mengatakan dua sahabat mulia ini orang-orang musyrik??????
?????????????????????????????????????????????????????????????????????????
 http://www.facebook.com/note.php?note_id=160954943921423

Ibn al Jawzi Dalam Sifat as Shofwah Menganjurkan Ziarah Ke Makam Orang2 Saleh Dan Tawassul, Sementara Wahabi Mengatakan Syirik

oleh AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT pada 28 September 2010 jam 12:43


Shifat ash Shafwah
Karya al Imam al Hafizh Abu al Faraj Abdurrahman Ibn al Jauzi (w 597 H)  salah seorang ulama Ahlussunnah terkemuka bermadzhab Hanbali; hidup jauh sebelum Ibnu Taimiyah

berikut ini adalah terjemahan dari yang digaris bawahi:

Dia (Imam Ma’ruf al Karkhi) adalah obat yang mujarab, karenanya siapa yang memiliki kebutuhan maka datanglah ke makamnya dan berdoalah (meminta kepada Allah) di sana; maka keinginannya akan terkabulkan InsyaAllah.

Makam beliau (Imam Ma’ruf al Karkhi) sangat terkenal di Baghdad; yaitu tempat untuk mencari berkah. Adalah Imam Ibrahim al Harbi berkata: Makam Imam Ma’ruf al Karkhi adalah obat yang mujarab”.

Orang-orang Wahabi membawa ajaran baru dan aneh. Pengakuan mereka sebagai pengikut madzhab Hanbali adalah BOHONG BESAR. Mereka bukan para pengikut madzhab Hanbali; baik dalam aqidah maupun fiqih. Madzhab mereka adalah madzhab WAHABI.

Lihat kutipan scan di atas, salah seorang ulama terkemuka di kalangan Ahlussunnah bermadzhab Hanbali membolehkan tabarruk (mencari berkah) dengan ziarah ke makam orang-orang saleh, sementara Wahabi berkata perbuatan tersebut adalah: "SYIRIK, KUFUR, BID'AH, TAHAYUL, KHURAFAT, SESAT" dan label penyesatan lainnya.

Setelah mereka melihat scan ini; kita sodorkan pertanyaan kepada mereka: "Yang sesat itu Ibnul Jauzi atau kalian"????????????????????????????????????????????????????????????
Pertanyaan ini harus mereka pertanggungjawabkan..........
http://www.facebook.com/notes.php?id=351534640896&s=10#!/note.php?note_id=162824827067768

Imam Syafi'i Setiap Hari Ziarah Ke Makam Imam Abu Hanifah Dan Tawassul Dengannya, Sementara Wahabi Mengatakan Syirik Dan Kufur



Tarikh Baghdad
Karya al Imam al Hafizh Abu Bakr Ahmad bin Ali; yang lebih dikenal dengan al Khathib al Baghdadi  (w 463 H)

Berikut ini adalah terjemahan yang di tandai:

--- dengan sanadnya ----  berkata: Aku mendengar Imam asy Syafi’i berkata: Sesungguhnya saya benar-benar melakukan tabarruk (mencari berkah) kepada Imam Abu Hanifah, aku mendatangi makamnya setiap hari untuk ziarah, jika ada suatu masalah yang menimpaku maka aku shalat dua raka’at dan aku mendatangi makam Imam Abu Hanifah, aku meminta kepada Allah agar terselesaikan urusanku di samping makam beliau, hingga tidak jauh setelah itu maka keinginanku telah dikabulkan”.

Disebutkan bahwa di sana (komplek makam Imam Abu Hanifah) terdapat makam salah seorang anak Sahabat Ali bin Abi Thalib, dan banyak orang menziarahinya untuk mendapatkan berkah di sana.

Imam Ibrahim al Harbi berkata: “Makam Imam Ma’ruf al Karkhi adalah obat yang mujarab”.

Dalam lembaran scan ke tiga disebutkan beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa di komplek pemakaman tempat Imam Abu Hanifah dikuburkan (Kufah) terdapat salah salah seorang anak cucu dari Imam Ali bin Abi Thalib yang sering dijadikan tempat ziarah dan mencari berkah oleh orang-orang Islam.

Lagi-lagi fakta ini menohok Wahabi yang mengatakan tawassul dengan orang yang sudah meninggal sebagai perbuatan syirik dan kufur. Anda tanya orang-orang Wahabi itu: Siapa di antara kalian yang berani mengkafirkan Imam Syafi'i???????????????????????????????

Mereka mati kutu ga punya jawaban..............!!!!
http://www.facebook.com/notes.php?id=351534640896&s=20#!/note.php?note_id=162829053734012

Wednesday, February 9, 2011

Ingatkan Saudara2 Kita Yg Berangkat Haji: "Awas Salah Tempat Sa'i, Harus Di Tempat Sa'i Yang Lama" ((( Sangat Penting )))

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu tercurah atas Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya.

Kaum Wahabi tidak merasa cukup hanya dengan berusaha merusak aqidah orang-orang Islam, selain itu  mereka juga merusak ibadah haji orang-orang Islam yang tengah mereka kerjakan.

Sesungguhnya semenjak zaman Rasulullah seluruh orang Islam melakukan ibadah sa’i antara Shafa dan Marwah di tempat khusus yang telah ditetapkan oleh Raslullah. Dalam sebuah hadits Rasulullah memberikan pelajaran tentang tata cara berhaji, beliau bersabda:

خذوا عني مناسِككم
“Ambilah dariku tata cara ibadah haji kalian”.

Rasulullah tidak perah berkata: “Ambilah tata cara ibadah kalian dari para penguasa wahabi”.

Tepatnya tanggal 24 Februari 2008 kaum Wahabi memulai proyek pelebaran tempat ibadah sa’i yang sebelumnya telah mereka rencanakan. Mereka ingin “dikenang sejarah” agar dicatat bahwa pelebaran tempat ibada sa’i telah dibangun oleh “tangan mereka”, tidak peduli walaupun itu menyalahi ketentuan-ketentuan syari’at.

Lebar tampat ibadah sa’i sebenarnya adalah sekitar 35 hasta; atau sekitar 17,5 meter. Namun sekarang telah dirubah oleh dinasti Wahabi menjadi 55 meter, dengan menambahkan sekitar 38 meter dari yang telah ditentukan oleh Rasulullah. Proyek pelebaran ini tidak lain hanya untuk “memenuhi keinginan perut dan kekuasaan” mereka.

Al Imam al Hafizh an Nawawi dalam kitab al Majmu’, juz. 2, hlm. 77, meriwayatkan perkataan Imam asy Syafi’i, menuliskan: “Imam asy Syafi’i berkata: Jika seseorang melakukan sa’i di suq al ath-tharin maka sa’i-nya tersebut tidak sah”.

Suq al ath-tharin di masa Imam asy Syafi’i adalah adalah tempat yang menempel di sisi tempat sa’i yang telah ditentukan oleh Rasulullah. Lihat gambar berikut ini, di bagian belakang peralatan berat adalah tempat sa’i lama (tempat yang telah ditentukan oleh Rasulullah). Kemudian sedikit di arah depan peralatan berat tersebut adalah Suq al Al ath-tharin (menempel dengan tempat sa’i lama). Lalu di depannya lagi ke arah luar (dengan tanda panah yang banyak) adalah pelebaran yang tempat sa’i yang prakarsai Wahabi.


((foto ini menunjukan pengerjaan proyek pelebaran tempat Sa’i yang di mulai tahun 2008)))

Syekh Mulla Ali al Qari, salah seorang ulama terkemuka madzhab Hanafi, berkata: “Jika seseorang melakukan sa’i di luar tempat yang telah disepakati maka ibadah sa’i-nya tidak sah. Orang tersebut jika telah pulang (dari Mekah) maka wajib ia kembali (ke Mekah) untuk melakukan sa’i sesuai tempat aslinya”.

Apa yang dikutip oleh Syekh Mulla al Qari ini adalah konsensus (Ijma’) ulama tentang keharusan melakukan sa’i sesuai dengan tempat yang telah ditetapkan oleh Rasulullah. Perkara ini telah disepakati oleh seluruh ulama.

Namun lihat, apa yang sekarang terjadi...!!! Suq al Ath-tharin yang menempel ke tempat sa’i lama yang oleh Imam Syafi’i tidak boleh dijadikan tempat sa’i; sekarang malah jauh lebih keluar dan lebih melebar. Hasbunallah.

Ingatkan saudara-saudar kita yang berangkat haji; YANG MELAKUKAN SA’I DI LUAR TEMPAT SA’I YANG LAMA MAKA SA’I-NYA TIDAK SAH”.


Lihat gambar di atas, garis dengan warna merah adalah tempat sa’i lama yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah, garis biru adalah wilayah Suq al Ath-tharin, dan garis kuning (termasuk yang diarsir) adalah tempat sa’i baru prakarsa Wahabi. Sa’i yang dikerjakan di wilayah warna biru dan kuning ini tidak sah. Ibadah sa’i antara Shofa dan Marwah harus dilakukan ditempat sa’i lama.

Perhatikan.... Seorang yang melaksanakan sa’i (baik untuk haji atau untuk umrah) pertama-tama ia memulainya dari Shafa, lalu berjalan ke arah Marwah; harus ia lakukan pada bagian yang lebih dekat ke arah ka’bah, (pada gambar di atas di garis warna merah). Kemudian ketika memutar balik dari arah Marwah untuk kembali ke arah Shafa harus pada tempat yang sama; jangan sampai melebar ke arah yang ditunjukan dengan warna biru dan warna kuning.

*****************************************************************

Masalah: “Jika dikatakan bahwa tujuan pelebaran itu adalah untuk meringankan jumlah jama’ah yang sangat banyak”.

Jawab: “Ada cara untuk tujuan itu yang sesuai dengan tuntunan syari’at, yaitu dengan membuat beberapa lantai baik ke arah atas atau ke arah bawah. Seandainya dibangun ke arah atas walaupun hingga 10 lantai, dan atau ke arah bawah walaupun hingga 10 lantai dengan tetap memelihara panjang dan lebarnya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah; termasuk menjaga posisi tinggi dan rendahnya antara dua bukit Shafa dan Marwah tersebut, sesuai dengan pola tempat sa’i yang lama; maka sa'i-nya dianggap sah. Oleh karena Siti Hajar dahulu naik bukit Shafa, lalu turun, lalu naik ke bukit Marwah, lalu turun, lalu kembali naik ke bukit Shafa, dan demikian seterusnya.

Kaum Wahabi MEMBUAT BOHONG BESAR dalam masalah ini, mereka mengatakan bahwa masalah tempat sa’i adalah masalah yang masih diperselisihkan (khilafiyyah). Catat, pernyataan mereka ini BOHONG BESAR.

Sebenarnya, dahulu para pemuka ajaran Wahabi sendiri mengharamkan melakukan sa’i di luar batas yang telah ditetapkan oleh Rasulullah --seperti yang akan anda lihat dalam bukti scan di bawah ini--, hanya kemudian makin ke belakang ini di antara mereka terdapat perbedaan pendapat. Catat, PERBEDAAN PENDAPAT INI HANYA DI ANTARA MEREKA; antara yang mau mangikuti “nafsu kekuasaan raja mereka” dan antara mengikuti ketetapan tampat sa’i yang lama.

Sekali lagi CATAT…., yang dimaksud “perbedaan pendapat” (khilafiyyah) oleh mereka adalah perbedaan di kalangan orang-orang Wahabi sendiri, bukan ulama kita; ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Seandainya sa'i dapat dilakukan di luar tempat yang telah ditetapkan oleh Rasulullah --seperti ketetapan ajaran baru kaum Wahabi ini; maka berarti sa'i dapat dilakukan di mana-pun. Na'udzu billah.

Mereka dahulu tidak pernah berani mengeluarkan pendapat yang menyesatkan ini; sebelum kemudian datang proyek pelebaran tersebut dari “tuan-tuan raja mereka sendiri”. Bahkan dahulu mereka mengingkari orang-orang yang melakukan sa’i di luar batas/tempat yang telah ditetapkan dalam syari’at. Namun setelah “ketetapan” penguasa mereka datang; akhirnya fatwa-fatwa kaum Wahabi satu sama lainnya saling bertentangan; sesuai kepentingan “FULUS”.

Perhatikan ketetapan para ulama Wahabi dalam scan berikut, mereka melarang pelebaran tempat sa’i dari yang telah ditetapkan oleh Rasulullah, mereka hanya membolehkan membangun lantai bertingkat jika memang itu dibutuhkan.


Ini bunyi teks yang beri tanda panah dan garis merah:

أن العمارة الحالية للمسعى شاملة لجميع أرضه , ومن ثم فإنه ((لا يجوز توسعتها)) , و يمكن عند الحاجة (حل المشكلة رأسياً) , بإضافة بناء فوق المسعى

[[ Terjemah ]] : "Bangunan tempat sa'i yang ada sekarang sudah mencakup keseluruhan area tanahnya (artinya sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam Syari'at), oleh karena itu tidak boleh diperlebar. Tapi dimungkinkan --bila dibutuhkan-- untuk memecahkan masalah (terlalu banyak jama'ah) dengan menambah bangunan di atas tempat sa'i (yang ada)".

Bahkan, "Imam terkemuka rujukan Wahabi"; al Mujassim IBNU TAIMIYAH mengatakan bahwa sa'i yang dilakukan diluar tempat yang telah disepakati maka sa'i-nya tidak sah. Dalam "Syarh al 'Umdah", juz 3, hlm 599, IBNU TAIMIYAH berkata: "Jika seseorang melakukan sa'i ditempat yang berdekatan dengan tempat sa'i yang telah ditentukan, ia tidak melakukan sa'i di tempat antara Shafa dan Marwah; maka sa'i-nya tidak sah".

Lebih jauh lagi, IBNU TAIMIYAH mengatakan jika seseorang berjalan naik turun di antara dua gunung dan ia menganggap apa yang dilakukannya ini sebagai bentuk ibadah sebagaimana ibadah sa'i antara Shafa dan Marwah; maka perbuatannya ini HARAM, bahkan pelakunya harus diminta untuk bertaubat, dan jika ia tidak mau bertaubat maka ia dihukum BUNUH. (Lihat karya Ibnu Taimiyah berjudul MAJMU' FATAWA, juz. 11, hlm. 632)

Tempat sa'i yang kita lihat sekarang dengan nama "AL MAS'A AL JADID" (Tempat Sa'i Baru) adalah jelas tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah.

Heh.... Wahabi!!! Mengapa kalian tidak menamakan "PEKERJAAN" kalian tersebut sebagai bid'ah?????? Bukankah itu nyata bid'ah yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dalam praktek ibadahnya??????????? Tidakkah kalian BUNUH DIRI saja agar sesuai dengan fatwa "Imam" kalian; Ibnu Taimiyah al Mujassim yangtelah mengatakan demikian?????

???????????????? pertanyaan panjang ????????????????????

Lebih luas tentang ketetapan para ulama tentang ibadah sa'i tidak boleh di luar tempat yang telah ditetapkan oleh Rasulullah (harus di AL MAS'A AL QADIM = harus di tempat sa'i yang lama); buka link berikut:
http://www.facebook.com/note.php?note_id=493291026728&id=100000512761714

Cukup bagi kita bahwa Rasulullah telah bersabda:
خذوا عني مناسِككم
“Ambilah dariku tata cara ibadah haji kalian”.

Tuesday, February 8, 2011

Bantahan Terhadap Kelompok Wahabi Yang Anti Tasawuf

 Kaum sufi adalah salah satu kelompok dalam Islam yang sangat banyak mendapatkan tantangan. Secara garis besar, tasawuf setidaknya menghadapi dua tantangan besar. Pertama; serangan dari dalam. Kedua; serangan dari luar, yaitu dari kelompok-kelompok anti tasawuf itu sendiri.

Kelompok pertama; Serangan berasal dari arah dalam layaknya musuh-musuh di dalam selimut. Mereka merusak sendi-sendi tasawuf dari dalam dengan manghancurkan ajaran-ajaran syari’ah dan akidah. Walaupun dalam bentuk pengrusakan yang sangat halus, bahkan mungkin dianggap tidak merugikan, namun kelompok pertama ini lebih berbahaya dari pada kelompok kedua. Jika kelompok kedua; mereka yang menentang tasawuf dapat dilihat secara fisik dan dengan kasat mata, maka kelompok pertama ini mungkin oleh sebagian orang Islam tidak dirasakan, terutama oleh kaum awam.

Karena itu, kelompok pertama ini memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam tercemarnya tasawuf, terutama dalam pengaruh perkembangannya pada masyarakat awam. Masuk dalam daftar kelompok pertama ini adalah faham-faham yang sengaja dimasukkan oleh kaum filsafat ke dalam tasawuf. Di antara akibat yang ditimbulkannya adalah munculnya penamaan tasawuf filosofis yang dilemparkan para kritikus tasawuf. Menurut mereka bahwa tasawwuf filosofis adalah hasil dari persentuhan tasawuf dengan unsur-unsur filsafat Yunani yang dibawa oleh kaum sufi sendiri. Masih menurut sebagian kritikus, tasawuf dalam tataran filosofis ini membawa faham yang sedikit banyak bersebrangan dengan ajaran-ajaran syari’at, dan itu, -menurut mereka-, secara yuridis adalah sesuatu yang legal dan dapat dibenarkan. Klaim ini jelas tidak menguntungkan bagi tasawuf sebagai sebuah disiplin ilmu yang mengajarkan untuk selalu berpegang teguh dengan syari’at Islam.

Masih dalam daftar kelompok pertama, kerugian yang dialami tasawuf dari dalam adalah masuknya faham-faham yang diusung oleh para sufi gadungan. Sebagaimana halnya setiap komunitas disiplin ilmu, ada yang sejati yang benar-benar kompeten dalam bidangnya, namun dan ada pula yang palsu. Demikian pula dalam komunitas tasawuf, ada komunitas sufi sejati (ash-Shûfiyyah al-Muhaqqiqûn), dan ada pula komunitas sufi gadungan (al-Mutashawwifah al-Dajjâlûn). Di antara faham-faham yang diusung oleh kaum sufi gadungan ini adalah keyakinan hulûl dan wahdah al-wujûd. Kenyataan ini jelas tidak hanya mencederai tasawuf tapi juga merusak ajaran Islam secara keseluruhan. Belum lagi termasuk penampilan fisik dan pakaian para sufi gadungan tersebut yang sulit dibedakan dari kaum sufi sejati, hal ini ikut memberikan pengaruh dan citra buruk yang cukup besar terhadap tasawuf, terutama implikasinya terhadap kalangan awam.

Adapun kerugian yang dialami tasawuf dari luar adalah dalam bentuk serangan-serangan dari kaum anti tasawuf itu sendiri. Kebencian kelompok kedua ini terhadap tasawuf sangat membabi buta, hingga tidak jarang mereka melemparkan klaim kafir terhadap para pengikut tarekat atau para pengikut tasawuf. Walau tasawuf itu sendiri tidak terpengaruh oleh gugatan-gugatan mereka, namun pengaruhnya pada orang-orang awam cukup berarti. Termasuk kelompok kedua yang merupakan tantangan bagi tasawuf dari luar adalah faham-faham yang disebarkan oleh sebagian golongan bahwa para ulama sufi tidak sejalan dengan ulama syari’ah. Pemerian dikotomi antara ilmu tasawuf dan ilmu syari’at semacam ini jelas tidak memiliki dasar sama sekali. Biasanya serangan semacam ini dilemparkan oleh orang-orang yang tidak paham benar hakekat tasawuf. Tudingan ini biasa dilemparkan oleh orang-orang yang secara gelap mata membenci tasawuf dan para ulamanya. Yang ada pada hati para pembenci tasawuf ini tidak lain hanya keinginan untuk memberangus tasawuf. Kebencian mereka sangat jelas dalam ungkapan-ungkapan mulut dan tulisan-tulisan mereka[1].

Kita katakan kepada mereka, para ulama sufi tidak lain adalah para ulama syari’ah, dan sebaliknya para ulama syari’ah tidak lain adalah para ulama sufi sendiri. Hampir semua kitab yang ditulis tentang biografi kaum sufi nama-nama yang dikutip di dalamnya tidak lain adalah para ulama syari’ah. Misalkan seperti Imam Muhammad Ibn Idris asy-Syafi’i; perintis madzhab Syafi’i, Abu Hanifah al-Nu’man Ibn Tsabit; perintis madzhab Hanafi, Malik Ibn Anas; perintis madzhab Maliki dan Ahmad Ibn Hanbal; perintis madzhab Hanbali dan para ulama syari’ah lainnya, tidak lain mereka adalah juga para ulama sufi[2].

Kita katakan pula kepada para pembenci tasawuf tersebut, pemimpin tertinggi kalian yang kalian anggap sebagai Imam; Ahmad Ibn Taimiyah al-Harrani sangat menghormati al-Junaid al-Baghdadi. Ia menyebut al-Junaid sebagai “Imâm al-Hudâ”. Lalu siapakah al-Junaid?! Semua orang terpelajar sudah pasti tahu bahwa beliau adalah seorang sufi besar, bahkan pemuka kaum sufi.

Kemudian Imam Ahmad Ibn Hanbal, yang kalian anggap dengan kedustaan kalian sebagai Imam madzhab bagi kalian, sama sekali tidak membeci para ulama sufi, bahkan menghormati mereka. Bila Imam Ahmad menghadapi suatu masalah maka ia akan meminta komentar dari Abu Hamzah dengan berkata: “Bagaimana pendapatmu wahai sufi?” [3].

Dari sini kita katakan kepada para pembenci tasawuf, siapakah yang kalian ikuti?! Apakah kalian bersama Ibn Taimiyah atau bersama Imam Ahmad Ibn Hanbal?! Atau memang kalian membawa ajaran dan keyakinan sendiri?! Bahaya apakah bagi syari’at Islam dari penamaan tasawuf, atau menamakan seorang yang saleh dengan sufi?! Ibn Hibban dalam kitab Shâhîh-nya (al-Ihsân Bi Tartîb Shâhîh Ibn Hibban) banyak mengambil periwayatan haditsnya dari orang-orang yang dikenal sebagai kaum sufi. Demikian pula Imam Ahmad dalam Musnad-nya, beberapa periwayatan haditsnya mengambil dari kaum sufi. Lalu Imam al-Baihaqi, beliau banyak sekali mengambil periwayatan haditsnya dari Abu ‘Ali ar-Raudzabari yang notabene seorang sufi terkemuka. Bahkan orang disebut terakhir ini adalah salah seorang pemuka dan pemimpin kaum sufi, beliau adalah murid dari al-Junaid al-Baghdadi.

Kemudian jika para pembenci tasawuf tersebut mengingkari istilah “sufi” atau “tasawuf” dari segi panamaan belaka karena dianggap tidak pernah ada sebelumnya (bid’ah), maka kita katakan kepada mereka: “Di dalam Islam banyak sekali nama-nama atau istilah-istilah yang dahulu tidak pernah ada, seperti istilah “Syaikh” bagi seorang yang alim, atau “Syaikh al-Islâm” atau apapun namanya yang bahkan kalian sendiri mempergunakannya. Demikian pula penamaan disiplin-disiplin ilmu, seperti Ilmu Sharaf, Ilmu Nahwu, Ilmu Balghah, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits dan lainnya, nama-nama tersebut adalah sesuatu yang tidak pernah dikenal sebelumnya”.

Kemudian jika para pembenci tasawuf tersebut mengingkari tasawuf dan orang-orang sufi hanya karena bahwa mereka meninggalkan kesenangan-kesenangan duniawi, maka berarti mereka telah mengingkari keteladanan-keteladanan yang dicontohkan oleh para Rasul bagi umatnya. Bukankah Rasulullah mencontohkan hidup zuhud?! Bukankah hal itu juga diajarkan oleh seluruh para nabi Allah?! Lihat misalkan perjalanan hidup nabi Isa yang dipenuhi dengan perjuangan dalam menegakan tauhid dan menjauhi kesenangan-kesenangan duniawi. Diriwayatkan bahwa nabi Isa tidak memiliki harta benda, rumah, keluarga, bahkan makanan yang beliau makan hanya berasal dari daun-daunan, dan pakaian yang beliau pakai hanya berasal dari bulu binatang yang kasar. Lihat pula keteladanan yang dicontohkan nabi kita; nabi Muhammad, rumah beliau hanya terbuat dari kayu atau batang kurma yang sangat sederhana, beliau tidur dengan hanya dengan beralaskan pelepah-pelepah kurma kering, dapur beliau terkadang satu bulan hingga dua bulan tidak pernah tersentuh api karena tidak ada bahan yang hendak dimasaknya, makanan yang seringkali  beliau makan hanyalah air putih dan kurma saja. Demikian pula dengan seluruh para Nabi Allah tidak ada seorangpun dari mereka yang mementingkan kesenangan duniawi.

Firman Allah yang sering disalahartikan oleh para penyerang tasawuf:

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ (الأعراف: 32)

“Katakanlah wahai Muhammad: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan bagi para hamba-Nya dan siapakah yang mengharamkan kebaikan-kebaikan dari rizki-Nya?!”. (QS. al-A’raf: 32)

Ayat ini seringkali dijadikan dalil oleh mereka untuk menyerang kaum sufi yang meninggalkan kesenangan dunia tersebut. Pemahaman mereka terhadap ayat ini jelas salah kaprah dan sangat keliru. Kita harus membedakan antara pemahaman “mengharamkan sesuatu yang halal” dan “meninggalkan sesuatu yang halal”. Para ulama sufi sejati tidak seorangpun dari mereka yang mengharamkan sesuatu yang nyata halal di dalam syari’at. Namun mereka hanya meninggalkan kebanyakan perkara-perkara halal, untuk tujuan meneladani apa yang telah dicontohkan para nabi, karena meninggalkan kesenangan dunia akan sangat membantu dalam meningkatkan ketakwaan kepada Allah, melatih kesabaran, mendidik sikap ridla dengan segala ketentuan Allah, serta banyak faedah-faedah lainnya. Lebih dari cukup bagi kita sebagai bukti bahwa meninggalkan kesenangan duniawi adalah keteladanan yang telah contohkan oleh Rasulullah.

Imam Abu Nashr as-Sarraj dalam al-Luma’ membuat sebuah sub judul bantahan terhadap pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf tidak memiliki landasan al-Qur’an dan Sunnah. Beliau menyebutkan bahwa dalam al-Qur’an dan Hadits banyak ditemukan teks-teks yang dapat dijadikan dalil bahwa tasawuf memiliki landasan yang sangat kuat. Dalam al-Qur’an disebutkan kata-kata seperti ash-Shadiqîn, al-Qânitîn, al-Khâsyi’în, al-Muqinîn, al-Mukhlishîn, al-Khâ’ifîn, al-Muhsinîn, al-‘Abidin, al-Sâ’ihîn, al-Shâbirîn, al-Mutawakkilîn, al-Mukhbitîn, al-Muqarrabîn, al-Abrâr, al-Auliyâ’ dan lainnya. Kemudian dalam banyak hadits juga disebutkan beberapa sifat dari kalangan sahabat dan dari kalangan tabi’in. Seperti sahabat ‘Umat Ibn al-Khaththab yang oleh Rasulullah disabdakan:

إنّ مِنْ أُمّتِي مُكَلَّمِيْنَ وَمُحَدَّثِيْنَ، وَإنّ عُمَرَ مِنْهُمْ

“Sesungguhnya dari umatku terdapat Mukallamin dan Muhaddatsin [diberi karunia oleh Allah untuk mengetahui beberapa rahasiah], dan sesungguhnya ‘Umar adalah termasuk dari mereka”.

Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda:

رُبَّ أشْعَثَ أغْبَرَ مَدْفُوْعٌ إلَى الأبْوَابِ لَوْ أقْسَمَ عَلَى اللهِ لَأَبَرَّهُ. (رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي الصّحِيْح)

“Berapa banyak orang yang berpenampilan lusuh, compang-camping dan berdebu, terusir dari pintu-pintu, padahal bila mereka bersumpah kepada Allah maka Allah akan mengabulkannya”. (HR. Muslim dalam kitab Shâhîh-nya)
Tentang seorang manusia terbaik dikalangan tabi’in bernama Uwais al-Qarani, Rasulullah menggambarkannya dalam sebuah hadits:

يَدْخُلُ بِشَفَاعَةِ رَجُلٍ مِنْ أمّتِي الْجَنَّةَ مِثْلُ رَبِيْعَةَ وَمُضَرٍ، وَيُقَالُ لَهُ أوَيْسٌ القَرَنِيّ

“Akan masuk surga segolongan manusia sejumlah orang-orang dari kabilah Rabi’ah dan kabilah Mudlar dengan hanya syafa’at satu orang dari umatku, orang itu adalah Uwais al-Qarani”.

Teks-teks al-Qur’an dan hadits nabi dalam menyebutkan sifat-sifat di atas, dan beberapa teks lainnya yang cukup banyak jumlahnya, semuanya membicarakan tentang satu golongan dari umat Muhammad ini yang tidak lain mereka adalah kaum sufi. Sudah barang tentu orang-orang yang digambarkan dalam teks-teks hadits tersebut bukan isapan jempol belaka, dan orang-orang yang disinggung di dalamnya bukan sosok-sosok fiktif. Namun itu semua adalah gambaran nyata tentang sifat-sifat kaum sufi. Dan oleh karena sifat-sifat semacam itu merupakan teladan yang diajarkan oleh Rasulullah maka usaha-usaha untuk meraihnya akan terus ada dalam setiap zamannya, sesuai dengan keberlangsungan berlakunya ajaran-ajaran al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah sepanjang masa. Penyebutan sifat mereka dalam al-Qur’an dan hadits inilah yang menjadikan mereka memiliki keistimewaan atas orang-orang mukmin lainnya. Itulah yang dimaksud dengan orang-orang sufi[4].

 *****************  catatan kaki  ***********************

[1] Termasuk dalam daftar pembenci tasawuf adalah kelompok Wahhabiyyah. Secara membabi buta dan dengan emosi serta tanpa alasan yang jelas mereka menyerang tasawuf dari berbagai segi. Ungkapan-ungkapan mereka tidak hanya menyulut permusuhan, tapi juga sangat provokatif, buruk dan norak. Sebagian mereka berkata: “Tidaklah seseorang masuk dalam tasawuf di pagi hari kecuali di sore harinya akan menjadi gila”. Sebagian orang dari kelompok Wahhabiyyah ini menamakan dirinya dengan kelompok Salafi, karena -menurut mereka- membawa misi untuk menghidupkan kembali ajaran-ajaran ulama Salaf. Sebenarnya nama yang pantas untuk mereka adalah kelompok Talafi; kelompok perusak akidah dan syari’ah.

[2] Lihat misalkan dalam ath-Thabaqât al-Kubrâ karya asy-Sya’rani, Hilyah al-Auliyâ’ karya Abu Nu’aim dan lainnya; para ulama syari’at tidak lain adalah para ulama sufi sendiri. Karena itu dalam kebanyakan definisi seorang sufi adalah seorang yang mengetahui ajaran-ajaran syari’at dan konsisten mengamalkannya.

[3] Lihat al-Qusyairi, ar-Risâlah…, h. 395

[4] Penjelasan lebih luas pendapat as-Sarraj lihat al-Luma’…, h. 390-408

************************

Untuk lebih luas ada di buku berikut ini, klik http://www.facebook.com/note.php?note_id=479026878329&id=1789501505&ref=mf


Sufi Besar, al Arif Billah al Allamah as Sayyid Syekh Otsman Sirajuddin; Mursyid at-Thariqah an-Naqsyabandiyyah al-Aliyyah (Rahimahullah wa Afadla Alayna Min Nafahatih)
http://www.facebook.com/notes.php?id=351534640896&notes_tab=app_2347471856#!/note.php?note_id=187054184644832

Bukti Para Ulama Salaf Memberlakukan TAKWIL [[[ Menohok Ajaran Sesat WAHABI MUSYABBIH ]]]

نماذج من تأويل السلف رضي الله عنهم

 

إعلم أخي المسلم أن التأويل التفصيلي وإن كان عادة الخلف فقد ثبت أيضاً عن غير واحد من أئمة السلف وأكابرهم كابن عباس من الصحابة ، ومجاهد تلميذ ابن عباس من التابعين ، والإمام أحمد ممن جاء بعدهم ، وكذلك البخاري وغيره

 

أما ابن عباس فقد قال الحافظ ابن حجر في شرح البخاري ( فتح الباري شرح صحيح البخاري 13 / 428 )

 

" وأما الساق فجاء عن ابن عباس في قوله تعالى : " يوم يكشف عن ساق " سورة القلم 42 قال : عن شدة الأمر ، والعرب تقول قامت الحرب على ساق إذا اشتدت ، وجاء عن أبي موسى الأشعري في تفسيرها : عن نور عظيم ، قال ابن فورك : معناه ما يتجدد للمؤمنين من الفوائد والألطاف ، وقال المهلب : كشف الساق للمؤمنين رحمة ولغيرهم نقمة ، وقال الخطابي ( الأسماء والصفات للبيهقي ص 345 ) ومعنى قول ابن عباس : أن الله يكشف عن قدرته التي تظهر بها الشدة ، وأسند البيهقي الأثر المذكور عن ابن عباس بسندين كل منهما حسن

 

وأما مجاهد فقد قال الحافظ البيهقي ( الأسماء والصفات ص 309 ) 

 

" وأخبرنا أبو عبدالله الحافظ وأبو بكر القاضي قالا : ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ، حدثنا الحسن ابن علي ابن عفان ، ثنا أبو أسامة ، عن النضر ، عن مجاهد في قوله عز وجل : " فأينما تولوا فثم وجه الله " سورة البقرة 115 قال : قبلة الله ، فأينما كنت في شرق أو أو غرب فلا توجهن إلا إليها " اهـ

 

وأما الإمام أحمد فقد روى البيهقي في مناقب أحمد عن الحاكم ، عن أبي عمرو بن السماك ، عن حنبل أن أحمد بن حنبل تأول قول الله تعالى : " وجاء ربك " سورة الفجر 22 ، أنه جاء ثوابه . ثم قال البيهقي : وهذا اسناد لا غبار عليه ، نقل ذلك ابن كثير في تاريخه ( البداية والنهاية 10 / 327 )

 

تأويل الإمام مالك رحمه الله تعالى ,روى الحافظ ابن عبد البر في التمهيد 7/143 وذكر الحافظ الذهبي في (سير أعلام النبلاء) 8/105 أن الإمام مالك أول النزول الوارد في الحديث بنزول أمره وهذا النص من السير: (قال ابن عدي:حدثنا محمد بن هارون بن حسان,حدثنا صالح بن أيوب حدثنا حبيب ابن أبي حبيب حدثني مالك قال: (يتنزل ربنا تبارك وتعالى أمره,فأما هو فدائم لا يزول)قال صالح:فذكرت ذلك ليحيي بن بكير,فقال حسن والله,ولم أسمعه من مالك),ورواية ابن عبد البر من طريق أخرى,وهذا التأويل مشهور عن الإمام مالك غني عن الإسناد فيه ولذلك نقله الإمام النووي في شرح مسلم 6/37 عنه قال الحافظ ابن حجر العسقلاني في شرحه على البخاري" وقال ابن العربي النزول راجع إلى أفعاله لا إلى ذاته بل ذلك عبارة عن مَلَكه الذي ينزل بأمره ونهيه." ثم قال: "والحاصل أنه تأوله بوجهين: إما بأن المعنى ينزل أمره أو الملك بأمره، وإما بأنه استعارة بمعنى التلطف بالداعين والإجابة لهم ونحوه. وحكى ابن فورك أن بعض المشايخ ضبطه بضم أوله على حذف المفعول أي يُنزِل ملَكا قال الحافظ ويقويه ما رواه النسائي من طريق الأغر عن أبي هريرة وأبي سعيد )) أن الله يمهل حتى يمضي شطر الليل الأول ثم يأمر مناديا يقول هل من داع فيستجاب له (( الحديث، وحديث عثمان بن أبي العاص عند أحمد ))  ينادي مناد هل من داع يستجاب له ((الحديث، قال القرطبي وبهذا يرتفع الإشكال فتح البارئ شرح صحيح البخاري – المجلد الثالث – كتاب الصلاة: باب الدعاء والصلاة من ءاخر الليل

 

1- تأويل سيدنا ابن عباس رضي الله عنه:1

 قوله تعالى : ( يوم يكشف عن ساق ) فقال رضي الله عنه : " يكشف عن شدة " فأول الساق بالشدة . ذكر ذلك الحافظ ابن حجر في " فتح الباري " ( 13 / 428 ) والحافظ ابن جرير الطبري في تفسيره ( 29 / 38 ) وقال: " قال جماعة من الصحابة والتابعين من أهل التأويل : يبدو عن أمر شديد " اه* . 

 

2- قوله تعالى : ( والسماء بنيناها بأيد وإنا لموسعون) قال رضي الله عنه : "بقوة " نقله الحافظ ابن جرير الطبري ( 7 / 27 ) .

وقد نقل الحافظ ابن جرير في تفسيره ( 7/27) تأويل لفظة ( أيد ) الواردة في قوله تعالى :

( والسماء بنيناها بأيد وإنا لموسعون ) بالقوة أيضا عن جماعة من أئمة السلف منهم : مجاهد وقتادة ومنصور وابن زيد وسفيان . 

 

3- وأول أيضا سيدنا ابن عباس " حبر الأمة و ترجمان القرآن "

النسيان الوارد في قوله تعالى : ( فاليوم ننساهم كما نسوا لقاء يومهم هذا ) "بالترك"،كما في تفسير الحافظ الطبري ( جزء 8 / ص 201 ) . 

 

4- تأويل الإمام أحمد بن حنبل رضي الله عنه :1

- نقل الحافظ ابن كثير في " البداية والنهاية " ( 10 / 327 ) فقال : " روى البيهقي عن الحاكم عن أبي عمرو بن السماك عن حنبل أن أحمد بن حنبل تأول قول الله تعالى : ( وجاء ربك ) أنه : جاء ثوابه . . ثم قال البيهقي : وهذا إسناد لا غبار عليه " .

 

5- قال الحافظ الذهبي في " سير أعلام النبلاء " ( 10 / 578 ) :

( قال أبو الحسن عبد الملك الميموني : قال رجل لابي عبد الله - أحمد بن حنبل - : ذهبت إلى خلف البزار أعظه ، بلغني أنه حدث بحديث عن الاحوص عن عبد الله - بن مسعود - قال : " ما خلق الله شيئا أعظم من آية الكرسي . . . " وذكر الحديث ، فقال أبو عبد الله - أحمد بن حنبل - : ما كان ينبغي أن يحدث بهذا في هذه الايام - يريد زمن المحنة - والمتن : " ما خلق الله من سماء ولا أرض أعظم من آية الكرسي " وقد قال أحمد بن حنبل لما أوردوا عليه هذا يوم المحنة : إن الخلق واقع ههنا على السماء والارض وهذه الاشياء ، لا على القرآن ) . اه

 

6- روى الخلال بسنده عن حنبل عن عمه الامام أحمد بن حنبل أنه سمعه يقول :

( احتجوا علي يوم المناظرة ، فقالوا : " تجئ يوم القيامة سورة البقرة . . . . " الحديث ، قال : فقلت لهم : إنما هو الثواب ) اه* .

 

7 - - تأويل الامام البخاري رضي الله عنه:1

 

1- نقل الحافظ البيهقي في " الاسماء والصفات " ص ( 470 ) عن البخاري أنه قال :

" معنى الضحك الرحمة " اه* .

 

2- وقد نقل الحافظ ابن حجر " فتح الباري " ( 6 / 40 ) :

أول الامام البخاري رحمه الله تعالى الضحك بالرحمة.

 

8- تأويل الحافظ ابن حبان رضي الله عنه:

 

أول الحافظ ابن حبان في صحيحه ( 1 / 502 ) حديث :

" حتى يضع الرب قدمه فيها - أي جهنم - " فقال : " هذا الخبر من الاخبار التي أطلقت بتمثيل المجاورة ، وذلك أن يوم القيامة يلقى في النار من الامم والامكنة التي يعصى الله عليها ، فلا تزال تستزيد حتى يضع الرب جل وعلا موضعا من الكفار والامكنة في النار فتمتلئ ، فتقول : قط قط ، تريد : حسبي حسبي ، لان العرب تطلق في لغتها اسم القدم على الموضع .

 

قال الله جل وعلا : ( لهم قدم صدق عند ربهم ) يريد : موضع صدق ، لا أن الله جل وعلا يضع قدمه في النار ، جل ربنا وتعالى عن مثل هذا وأشباهه " اه*

 

9 - تأويل الامام مالك رحمه الله تعالى : وذكر الحافظ الذهبي في " سير أعلام النبلاء " ( 8 / 105 ): " قال ابن عدي : حدثنا محمد بن هارون بن حسان ، حدثنا صالح بن أيوب حدثنا حبيب بن أبي حبيب حدثني مالك قال :

" يتنزل ربنا تبارك وتعالى أمره ، فأما هو فدائم لا يزول " قال صالح : فذكرت ذلك ليحيى بن بكير ، فقال حسن والله ، ولم أسمعه من مالك " .

 

10- تأويل الحافظ الترمذي رحمه الله تعالى : ذكر الحافظ الترمذي في سننه ( 4 / 692 )

بعد حديث الرؤية الطويل الذي فيه لفظة " فيعرفهم نفسه " فقال : " ومعنى قوله في الحديث : فيعرفهم نفسه يعني يتجلى لهم " اه*

 

11- تأويل الامام سفيان الثوري رحمه الله تعالى :

 

ذكر الحافظ الذهبي في سير أعلام النبلاء ( 7 / 274 ) في ترجمة سيد الحفاظ في زمانه الامام الثوري أن معدان سأل الامام الثوري عن قوله تعالى : ( وهو معكم أينما كنتم ) قال : بعلمه.

 

قال الإمام الترمذي في حديث : (( .. لو انكم دليتم بحبل إلى الأرض السفلى لهبط على الله ، ثم قرأ ( هو الأول والآخر والظاهر والباطن وهو بكل شيء عليم ) [ قال الإمام الترمذي ] : هذا حديث غريب من هذا الوجه .. وفسر بعض أهل العلم هذا الحديث فقالوا : (( إنما هبط على علم الله وقدرته وسلطانه ، وعلم الله وقدرته وسلطانه في كل مكان وهو على العرش كما وصف في متابه )) اهـ كلام الإمام الترمذي من كتاب ( تحفة الأحوذي ) طبعة قرطبة ـ الجلد التاسع ـ صفحة 187 .

 

الإمام الترمذي من السلف الصالح ، وصاحب السنن التي هي أحد الكتب الستة ، وهو يفسر هذا الحديث كما ترون ، بل وينقله عن غيره من أهل العلم

 

 اسمعوا كلام ابن تيمية : وهذا الكلام نقله ابن القيم في الصواعق 2/275 مقرا لشيخه

 

 المثال الثاني

 

روى الإمام البخاري في خلق أفعال العباد ص61 ونقله الحافظ أيضا في فتح الباري 13/477 قال

 

(( حدثنا محمد أنا عبدالله أنا محمد بن بشار عن قتادة عن صفوان بن محرز عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : بينما أنا أمشي معه إذ جاء رجل فقال : يا ابن عمر ، كيف سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يذكر في النجوي ؟ قال : سمعته يقول : يدنو من ربه حتى يضع عليه كنفه ...... [ ثم قال البخاري ] قال ابن المبارك : كنفه يعني ستره )) اهـ باختصار

 

الإمام السلفي الكبير المجاهد الحافظ عبدالله بن المبارك يؤول ( الكنف ) يقول : يعني الستر

 

 

قال محقق كتاب ( النقض على بشر المريسي ) الدكتور : رشيد بن حسن الألمعي والذي قدم له عبدالعزيز بن عبدالله الراجحي يقول في ص748 بعد أن ذكر تأويل ابن المبارك 

 

(( والصواب في هذه المسألة ـ والله أعلم ـ أن الكنف صفة من صفات الله كسائر صفاته لا يعلم كيفيته إلا هو ، فهو على ظاهره دون تأويل كما نقل ذلك ابن حامد عن الإمام أحمد )) اهـ

 

فهذا عبدالله بن المبارك إمام جليل من أئمة السلف يقول بهذا التأويل فيأتي هذا الغلام الخلفي من سلفية القرن الحادي والعشرين ليعلم الإمام ما هو الصواب ، بل ويلزمه بقول من هو من تلاميذ تلاميذه مما ينقله غير مأمون !!! فمن هو السلفي الآن ؟؟!!

 

المثال الثالث

 

لما روى الإمام الترمذي حديث إتيان البقرة وآل عمران كأنهما غمامتان قال

 

(( هذا حديث حسن غريب ، ومعنى هذا الحديث عند أهل العلم أنه يجيء ثواب قراءته ، كذا فسر بعض أهل العلم هذا الحديث وما يشبه هذا من الأحاديث أنه يجيء ثواب قراءة القرآن ، وفي حديث النوانس بن سمعان عن النبي صلى الله عليه وسلم ما يدل على ما فسروا إذ قال النبي صلى الله عليه وسلم : وأهله الذين يعملون به في الدنيا ، ففي هذا دلالة أنه يجيء ثواب العمل وأخبرني محمد بن إسماعيل أخبرنا الحميدي قال : قال سفيان بن عيينة في تفسير حديث عبدالله بن مسعود : ما خلق الله من سماء ولا أرض أعظم من آية الكرسي ، قال سفيان : لأن آية الكرسي هو كلام الله ، وكلام الله أعظم من خلق الله من السماء والرض )) ( تحفة الأحوذي 8 / 193 )

 

فهل استسلم الشيخ المباركفوري ( السلفي ) لكلام هذين الإمامين من أئمة السلف بلا شك ؟؟ لا بل قال متعقبا الإمام الترمذي بما نصه

 

(( في هذه الدلالة خفاء كما لا يخفى ) !!

 

وقال متعقبا سفيان بن عيينة بما نصه

 

(( وفي قول سفيان هذا نظر فإنه يلزم على هذا ألا تكون هذه الفضيلة مختصة بآية الكرسي بل تعم كل آية من آي القرآن لأن كلا منها كلام الله تعالى )) اهـ

 

فهذا المباركفوري الذي يدعى عليه بأنه سلفي صار يناقش السلف في استدلالاتهم وتوجيهاتهم وتأويلاتهم في العقيدة ومع هذا هو سلفي !!

 

 

المثال الرابع

 

روى الإمام الترمذي في جامعه الحديث المشهور : (( أنا عند ظن عبدي بي ... وإن أتاني يمشي أتيته هرولة )) ثم قال بعده

 

(( هذا حديث حسن صحيح ، ويروى عن الأعمش في تفسير هذا الحديث : ( من تقرب مني شبرا تقربت منه ذارعا ) : يعني بالمغفرة والرحمة ، وهكذا فسر بعض أهل العلم هذا الحديث قالوا إنما معناه يقول : إذا تقرب إلي العبد بطاعتي وبما أمرت تسارع إليه مغفرتي ورحمتي )) اهـ كلام الإمام الترمذي

( تحفة الأحوذي 10/64 )

 

إذن فالترمذي ـ وهو إمام من أئمة السلف بلا شك ـ يؤول الهرولة والإتيان والتقرب في هذا الخبر بأنه بالمغفرة والرحمة ، هذا قوله رحمه الله وتأويله وهو ينقله عن بعض أهل العلم ممن تقدمه منهم الإمام سليمان بن مهران الأعمش وهؤلاء من أئمة السلف بلا شك ،وقد تبع الإمام الترمذي والأعمش من أهل العلم ثلة : يقول العلامة أبو العلى المباركفوري رحمه الله في تحفته في ذكرهم :

 

(( وكذا قال الطيبي ، والحافظ العيني ، وابن بطال ، وابن التين ، وصاحب المشارق ، والراغب وغيرهم من العلماء .... وكذا فسره النووي وغيره كما عرفت )) اهـ

 

والآن من السلفي ؟؟ الذي يتبع السلف على الحقيقة ؟؟ ؟؟؟

 

ورحم الله اللقاني صاحب الجوهرة إذ يقول

 

وكل خير في اتباع من سلف ** وكل شر في ابتداع من خلف

 

 


View Original Article

Blogged with the Flock Browser

Monday, February 7, 2011

Supaya Jangan Sembarangan Mengklaim Ahli Bid'ah Kepada Orang Lain (Hakekat Bid'ah Lengkap)

Pengertian Bid’ah
Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah:

مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ
“Sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”.

Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:

اَلإِبْدَاعُ إِنْشَاءُ صَنْعَةٍ بِلاَ احْتِذَاءٍ وَاقْتِدَاءٍ. وَإِذَا اسْتُعْمِلَ فِيْ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ إِيْجَادُ الشَّىْءِ بِغَيْرِ ءَالَةٍ وَلاَ مآدَّةٍ وَلاَ زَمَانٍ وَلاَ مَكَانٍ، وَلَيْسَ ذلِكَ إِلاَّ للهِ. وَالْبَدِيْعُ يُقَالُ لِلْمُبْدِعِ نَحْوُ قَوْلِهِ: (بَدِيْعُ السّمَاوَاتِ وَالأرْض) البقرة:117، وَيُقَالُ لِلْمُبْدَعِ –بِفَتْحِ الدَّالِ- نَحْوُ رَكْوَةٍ بَدِيْعٍ. وَكَذلِكَ الْبِدْعُ يُقَالُ لَهُمَا جَمِيْعًا، بِمَعْنَى الْفَاعِلِ وَالْمَفْعُوْلِ. وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل) الأحقاف: 9، قِيْلَ مَعْنَاهُ: مُبْدَعًا لَمْ يَتَقَدَّمْنِيْ رَسُوْلٌ، وَقِيْلَ: مُبْدِعًا فِيْمَا أَقُوْلُهُ.اهـ
“Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat. Kata Ibda’ dalam makna ini hanya berlaku bagi Allah saja. Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang baru). Seperti dalam firman (Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl), artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”. Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis). Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”. Demikian juga kata al-Bid'u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’, artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek). Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul), menurut satu pendapat maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (artinya penggunaan dalam makna Maf’ul)”, menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya penggunaan dalam makna Fa’il)” (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).

Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:

اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ.
“Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, j. 1, h. 278)

Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:

لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ.
“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.

Macam-Macam Bid’ah

Bid’ah terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: Bid’ah Dlalalah. Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau Sunnah Sayyi-ah. Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah.
Kedua: Bid’ah Huda atau disebut juga dengan Bid’ah Hasanah atau Sunnah Hasanah. Yaitu perkara baru yang sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah.

Al-Imam asy-Syafi’i berkata :

الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)
“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).

Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:

اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)

Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.
Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua: Bid’ah Mahmudah (bid’ah terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).
Pembagian bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.
Bid’ah dilihat dari segi wilayahnya terbagi menjadi dua bagian; Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan bid’ah dalam cabang-cabang agama, yaitu bid’ah dalam Furu’, atau dapat kita sebut Bid’ah ‘Amaliyyah. Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) adalah perkara-perkara baru dalam masalah akidah yang menyalahi akidah Rasulullah dan para sahabatnya.

Dalil-Dalil Bid’ah Hasanah

Al-Muhaddits al-‘Allamah as-Sayyid ‘Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani dalam kitab Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, menuliskan bahwa di antara dalil-dalil yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah adalah sebagai berikut (Lihat Itqan ash-Shun’ah, h. 17-28):

1. Firman Allah dalam QS. al-Hadid: 27:

وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ (الحديد: 27)
“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)

Ayat ini adalah dalil tentang adanya bid’ah hasanah. Dalam ayat ini Allah memuji ummat Nabi Isa terdahulu, mereka adalah orang-orang muslim dan orang-orang mukmin berkeyakinan akan kerasulan Nabi Isa dan bahwa berkeyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Allah memuji mereka karena mereka kaum yang santun dan penuh kasih sayang, juga karena mereka merintis rahbaniyyah. Praktek Rahbaniyyah adalah perbuatan menjauhi syahwat duniawi, hingga mereka meninggalkan nikah, karena ingin berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah.
Dalam ayat di atas Allah mengatakan “Ma Katabnaha ‘Alaihim”, artinya: “Kami (Allah) tidak mewajibkan Rahbaniyyah tersebut atas mereka, melainkan mereka sendiri yang membuat dan merintis Rahbaniyyah itu untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah”. dalam ayat ini Allah memuji mereka, karena mereka merintis perkara baru yang tidak ada nash-nya dalam Injil, juga tidak diwajibkan bahkan tidak sama sekali tidak pernah dinyatakan oleh Nabi ‘Isa al-Masih kepada mereka. Melainkan mereka yang ingin berupaya semaksimal mungkin untuk taat kepada Allah, dan berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada-Nya dengan tidak menyibukkan diri dengan menikah, menafkahi isteri dan keluarga. Mereka membangun rumah-rumah kecil dan sederhana dari tanah atau semacamnya di tempat-tempat sepi dan jauh dari orang untuk beribadah sepenuhnya kepada Allah.

2. Hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم)
“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)

Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah mengatakan: “Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”. Pernyataan Rasulullah ini harus dibedakan dengan pengertian anjuran beliau untuk berpegangteguh dengan sunnah (at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk berpegangteguh dengan sunnah atau menghidupkan sunnah ada hadits-hadits tersendiri yang menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat Imam Muslim ini berbicara tentang merintis sesuatu yang baru yang baik yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna” tidak lain adalah merintis perkara baru, bukan menghidupkan perkara yang sudah ada atau berpegang teguh dengannya.

3. Hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari'at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan tentang adanya bid’ah hasanah. Karena seandainya semua bid’ah pasti sesat tanpa terkecuali, niscaya Rasulullah akan mengatakan “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini apapun itu, maka pasti tertolak”. Namun Rasulullah mengatakan, sebagaimana hadits di atas: “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini yang tidak sesuai dengannya, artinya yang bertentangan dengannya, maka perkara tersebut pasti tertolak”.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkara yang baru itu ada dua bagian: Pertama, yang tidak termasuk dalam ajaran agama, karena menyalahi kaedah-kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang sesuai dengan kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai perkara baru yang dibenarkan dan diterima, ialah yang disebut dengan bid’ah hasanah.

4. Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab secara tegas mengatakan tentang adanya bid’ah hasanah. Ialah bahwa beliau menamakan shalat berjama’ah dalam shalat tarawih di bulan Ramadlan sebagai bid’ah hasanah. Beliau memuji praktek shalat tarawih berjama’ah ini, dan mengatakan: “Ni’mal Bid’atu Hadzihi”. Artinya, sebaik-baiknya bid’ah adalah shalat tarawih dengan berjama’ah.
Kemudian dalam hadits Shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab ini menambah kalimat-kalimat dalam bacaan talbiyah terhadap apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Bacaan talbiyah beliau adalah:

لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ

5. Dalam hadits riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn al-Khaththab menambahkan kalimat Tasyahhud terhadap kalimat-kalimat Tasyahhud yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Dalam Tasayahhud-nya ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ.

Tentang kaliamat tambahan dalam Tasyahhud-nya ini, ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha...”, artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”.

6. ‘Abdullah ibn ‘Umar menganggap bahwa shalat Dluha sebagai bid’ah, karena Rasulullah tidak pernah melakukannya. Tentang shalat Dluha ini beliau berkata:

إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا لَمِنْ أَحْسَنِ مَا أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور بإسناد صحيح)
“Sesungguhnya shalat Dluha itu perkara baru, dan hal itu merupakan salah satu perkara terbaik dari apa yang mereka rintis”. (HR. Sa’id ibn Manshur dengan sanad yang Shahih)

Dalam riwayat lain, tentang shalat Dluha ini sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:

بِدْعَةٌ وَنِعْمَتْ البِدْعَةُ (رواه ابن أبي شيبة)
“Shalat Dluha adalah bid’ah, dan ia adalah sebaik-baiknya bid’ah”. (HR. Ibn Abi Syaibah)

Riwayat-riwayat ini dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari dengan sanad yang shahih.

7. Dalam sebuah hadits shahih, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Lima Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata:

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ

Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata:

رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ
“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.

Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir di dalam shalat yang tidak ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang ma’tsur” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).

7. al-Imam an-Nawawi, dalam kitab Raudlah ath-Thalibin, tentang doa Qunut, beliau menuliskan sebagai berikut:

هذَا هُوَ الْمَرْوِيُّ عَنِ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَزَادَ الْعُلَمَاءُ فِيْهِ: "وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ" قَبْلَ "تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ" وَبَعْدَهُ: "فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ". قُلْتُ: قَالَ أَصْحَابُنَا: لاَ بَأْسَ بِهذِهِ الزِّيَادَةِ. وَقَالَ أَبُوْ حَامِدٍ وَالْبَنْدَنِيْجِيُّ وَءَاخَرُوْنَ: مُسْتَحَبَّةٌ.
“Inilah lafazh Qunut yang diriwayatkan dari Rasulullah. Lalu para ulama menambahkan kalimat: “Wa La Ya’izzu Man ‘Adaita” sebelum “Tabarakta Wa Ta’alaita”. Mereka juga menambahkan setelahnya, kalimat “Fa Laka al-Hamdu ‘Ala Ma Qadlaita, Astaghfiruka Wa Atubu Ilaika”. Saya (an-Nawawi) katakan: Ashab asy-Syafi’i mengatakan: “Tidak masalah (boleh) dengan adanya tambahan ini”. Bahkan Abu Hamid, dan al-Bandanijiyy serta beberapa Ashhab yang lain mengatakan bahwa bacaan tersebut adalah sunnah” (Raudlah ath-Thalibin, j. 1, h. 253-254).


Beberapa Contoh Bid’ah Hasanah Dan Bid’ah Sayyi-ah

Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Hasanah. Di antaranya:

1. Shalat Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh. Orang yang pertama kali melakukannya adalah Khubaib ibn ‘Adiyy al-Anshari; salah seorang sahabat Rasulullah. Tentang ini Abu Hurairah berkata:

فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاريّ)
“Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”. (HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf)

Lihatlah, bagaimana sahabat Abu Hurairah menggunakan kata “Sanna” untuk menunjukkan makna “merintis”, membuat sesuatu yang baru yang belaum ada sebelumnya. Jelas, makna “sanna” di sini bukan dalam pengertian berpegang teguh dengan sunnah, juga bukan dalam pengertian menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan orang.
Salah seorang dari kalangan tabi'in ternama, yaitu al-Imam Ibn Sirin, pernah ditanya tentang shalat dua raka’at ketika seorang akan dibunuh, beliau menjawab:

صَلاَّهُمَا خُبَيْبٌ وَحُجْرٌ وَهُمَا فَاضِلاَنِ.
“Dua raka’at shalat sunnah tersebut tersebut pernah dilakukan oleh Khubaib dan Hujr bin Adiyy, dan kedua orang ini adalah orang-orang (sahabat Nabi) yang mulia”. (Diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr dalam kitab al-Isti’ab) (al-Isti’ab Fi Ma’rifah al-Ash-hab, j. 1, h. 358)

2. Penambahan Adzan Pertama sebelum shalat Jum’at oleh sahabat Utsman bin ‘Affan. (HR. al-Bukhari dalam Kitab Shahih al-Bukhari pada bagian Kitab al-Jum'ah).

3. Pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an oleh Yahya ibn Ya’mur. Beliau adalah salah seorang tabi'in yang mulia dan agung. Beliau seorang yang alim dan bertaqwa. Perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli hadits dan lainnya. Mereka semua menganggap baik pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an tersebut. Padahal ketika Rasulullah mendiktekan bacaan-bacaan al-Qur’an tersebut kepada para penulis wahyu, mereka semua menuliskannya dengan tanpa titik-titik sedikitpun pada huruf-hurufnya.
Demikian pula di masa Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, beliau menyalin dan menggandakan mush-haf menjadi lima atau enam naskah, pada setiap salinan mush-haf-mush-haf tersebut tidak ada satu-pun yang dibuatkan titik-titik pada sebagian huruf-hurufnya. Namun demikian, sejak setelah pemberian titik-titik oleh Yahya bin Ya'mur tersebut kemudian semua umat Islam hingga kini selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf al-Qur’an. Apakah mungkin hal ini dikatakan sebagai bid’ah sesat dengan alasan Rasulullah tidak pernah melakukannya?! Jika demikian halnya maka hendaklah mereka meninggalkan mush-haf-mush-haf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa ‘Utsman.
Abu Bakar ibn Abu Dawud, putra dari Imam Abu Dawud penulis kitab Sunan, dalam kitabnya al-Mashahif berkata: “Orang yang pertama kali membuat titik-titik dalam Mush-haf adalah Yahya bin Ya’mur”. Yahya bin Ya’mur adalah salah seorang ulama tabi'in yang meriwayatkan (hadits) dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar dan lainnya.
Demikian pula penulisan nama-nama surat di permulaan setiap surat al-Qur’an, pemberian lingkaran di akhir setiap ayat, penulisan juz di setiap permulaan juz, juga penulisan hizb, Nishf (pertengahan Juz), Rubu' (setiap seperempat juz) dalam setiap juz dan semacamnya, semua itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Apakah dengan alasan semacam ini kemudian semua itu adalah bid’ah yang diharamkan?!

4. Pembuatan Mihrab dalam majid sebagai tempat shalat Imam, orang yang pertama kali membuat Mihrab semacam ini adalah al-Khalifah ar-Rasyid ‘Umar ibn Abd al-'Aziz di Masjid Nabawi. Perbuatan al-Khalifah ar-Rasyid ini kemudian diikuti oleh kebanyakan ummat Islam di seluruh dunia ketika mereka membangun masjid. Siapa berani mengatakan bahwa itu adalah bid’ah sesat, sementara hampir seluruh masjid di zaman sekarang memiliki mihrab?! Siapa yang tidak mengenal Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz sebagai al-Khalifah ar-Rasyid?!

5. Peringatan Maulid Nabi adalah bid’ah hasanah sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-'Iraqi (W 806 H), al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H), al-Imam Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), Mantan Mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354 H), mantan Mufti Bairut Lebanon Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama terkemuka lainnya.

6. Membaca shalawat atas Rasulullah setelah adzan adalah bid’ah hasanah sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab Musamarah al-Awa-il, al-Hafizh as-Sakhawi dalam kitab al-Qaul al-Badi’, al-Haththab al-Maliki dalam kitab Mawahib al-Jalil, dan para ulama besar lainnya.

7. Menulis kalimat “Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam” setelah menulis nama Rasulullah termasuk bid’ah hasanah. Karena Rasulullah dalam surat-surat yang beliau kirimkan kepada para raja dan para penguasa di masa beliau hidup tidak pernah menulis kalimat shalawat semacam itu. Dalam surat-suratnya, Rasulullah hanya menuliskan: “Min Muhammad Rasulillah Ila Fulan…”, artinya: “Dari Muhammad Rasulullah kepada Si Fulan…”.

8. Beberapa Tarekat yang dirintis oleh para wali Allah dan orang-orang saleh. Seperti tarekat ar-Rifa'iyyah, al-Qadiriyyah, an-Naqsyabandiyyah dan lainnya yang kesemuanya berjumlah sekitar 40 tarekat. Pada asalnya, tarekat-tarekat ini adalah bid’ah hasanah, namun kemudian sebagian pengikut beberapa tarekat ada yang menyimpang dari ajaran dasarnya. Namun demikian hal ini tidak lantas menodai tarekat pada peletakan atau tujuan awalnya.

Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Sayyi-ah. di antaranya sebagai berikut:

1. Bid’ah-bid’ah dalam masalah pokok-pokok agama (Ushuluddin), di antaranya seperti:

A. Bid’ah Pengingkaran terhadap ketentuan (Qadar) Allah. Yaitu keyakinan sesat yang mengatakan bahwa Allah tidak mentaqdirkan dan tidak menciptakan suatu apapun dari segala perbuatan ikhtiar hamba. Seluruh perbuatan manusia, -menurut keyakinan ini-, terjadi dengan penciptaan manusia itu sendiri. Sebagian dari mereka meyakini bahwa Allah tidak menciptakan keburukan. Menurut mereka, Allah hanya menciptakan kebaikan saja, sedangkan keburukan yang menciptakannya adalah hamba sendiri. Mereka juga berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, dan juga bukan seorang kafir, melainkan berada pada posisi di antara dua posisi tersebut, tidak mukmin dan tidak kafir. Mereka juga mengingkari syafa'at Nabi. Golongan yang berkeyakinan seperti ini dinamakan dengan kaum Qadariyyah. Orang yang pertama kali mengingkari Qadar Allah adalah Ma'bad al-Juhani di Bashrah, sebagaimana hal ini telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Yahya ibn Ya'mur.

B. Bid’ah Jahmiyyah. Kaum Jahmiyyah juga dikenal dengan sebutan Jabriyyah, mereka adalah pengikut Jahm ibn Shafwan. Mereka berkeyakinan bahwa seorang hamba itu majbur (dipaksa); artinya setiap hamba tidak memiliki kehendak sama sekali ketika melakukan segala perbuatannya. Menurut mereka, manusia bagaikan sehelai bulu atau kapas yang terbang di udara sesuai arah angin, ke arah kanan dan ke arah kiri, ke arah manapun, ia sama sekali tidak memiliki ikhtiar dan kehendak.

C. Bid’ah kaum Khawarij. Mereka mengkafirkan orang-orang mukmin yang melakukan dosa besar.

D. Bid’ah sesat yang mengharamkan dan mengkafirkan orang yang bertawassul dengan para nabi atau dengan orang-orang saleh setelah para nabi atau orang-orang saleh tersebut meninggal. Atau pengkafiran terhadap orang yang tawassul dengan para nabi atau orang-orang saleh di masa hidup mereka namun orang yang bertawassul ini tidak berada di hadapan mereka. Orang yang pertama kali memunculkan bid’ah sesat ini adalah Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah al-Harrani (W 728 H), yang kemudian diambil oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan para pengikutnya yang dikenal dengan kelompok Wahhabiyyah.

2. Bid’ah-bid’ah 'Amaliyyah yang buruk. Contohnya menulis huruf (ص) atau (صلعم) sebagai singkatan dari “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” setelah menuliskan nama Rasulullah. Termasuk dalam bahasa Indonesia menjadi “SAW”. Para ahli hadits telah menegaskan dalam kitab-kitab Mushthalah al-Hadits bahwa menuliskan huruf “shad” saja setelah penulisan nama Rasulullah adalah makruh. Artinya meskipun ini bid’ah sayyi-ah, namun demikian mereka tidak sampai mengharamkannya. Kemudian termasuk juga bid’ah sayyi-ah adalah merubah-rubah nama Allah dengan membuang alif madd (bacaan panjang) dari kata Allah atau membuang Ha' dari kata Allah.


Kerancuan Pendapat Yang Mengingkari Bid’ah Hasanah

1. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah biasa berkata: “Bukankah Rasulullah dalam hadits riwayat Abu Dawud dari sahabat al-‘Irbadl ibn Sariyah telah bersabda:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)

Ini artinya bahwa setiap perkara yang secara nyata tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits atau tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan atau al-Khulafa' ar-Rasyidun maka perkara tersebut dianggap sebagai bid’ah sesat .

Jawab:
Hadits ini lafazhnya umum tetapi maknanya khusus. Artinya yang dimaksud oleh Rasulullah dengan bid’ah tersebut adalah bid’ah sayyi-ah, yaitu setiap perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, sunnah, ijma' atau atsar. Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah 'Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154).
Kemudian al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi lima macam. Beliau berkata: “Jika telah dipahami apa yang telah aku tuturkan, maka dapat diketahui bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang telah dikhususkan. Demikian juga pemahamannya dengan beberapa hadits serupa dengan ini. Apa yang saya katakan ini didukung oleh perkataan ‘Umar ibn al-Khaththab tentang shalat Tarawih, beliau berkata: “Ia (Shalat Tarawih dengan berjama’ah) adalah sebaik-baiknya bid’ah”.
Dalam penegasan al-Imam an-Nawawi, meski hadits riwayat Abu Dawud tersebut di atas memakai kata “Kullu” sebagai ta’kid, namun bukan berarti sudah tidak mungkin lagi di-takhshish. Melainkan ia tetap dapat di-takhshish. Contoh semacam ini, dalam QS. al-Ahqaf: 25, Allah berfirman:

تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ (الأحقاف: 25)

Makna ayat ini ialah bahwa angin yang merupakan adzab atas kaum 'Ad telah menghancurkan kaum tersebut dan segala harta benda yang mereka miliki. Bukan artinya bahwa angin tersebut menghancurkan segala sesuatu secara keseluruhan, karena terbukti hingga sekarang langit dan bumi masih utuh. Padahal dalam ayat ini menggunakan kata “Kull”.
Adapun dalil-dalil yang men-takhshish hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” riwayat Abu Dawud ini adalah hadits-hadits dan atsar-atsar yang telah disebutkan dalam dalil-dalil adanya bid’ah hasanah.

2. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah biasanya berkata: “Hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim adalah khusus berlaku ketika Rasulullah masih hidup. Adapun setelah Rasulullah meninggal maka hal tersebut menjadi tidak berlaku lagi”.

Jawab:
Di dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:

لاَ تَثْبُتُ الْخُصُوْصِيَّةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ
“Pengkhususan -terhadap suatu nash- itu tidak boleh ditetapkan kecuali harus berdasarkan adanya dalil”.

Kita katakan kepada mereka: “Mana dalil yang menunjukan kekhususan tersebut?! Justru sebaliknya, lafazh hadits riwayat Imam Muslim di atas menunjukkan keumuman, karena Rasulullah tidak mengatakan “Man Sanna Fi Hayati Sunnatan Hasanatan…” (Barangsiapa merintis perkara baru yang baik di masa hidupku…), atau juga tidak mengatakan: “Man ‘Amila ‘Amalan Ana ‘Amiltuh Fa Ahyahu…” (Barangsiapa mengamalkan amal yang telah aku lakukan, lalu ia menghidupkannya…). Sebaliknya Rasulullah mengatakan secara umum: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, dan tentunya kita tahu bahwa Islam itu tidak hanya yang ada pada masa Rasulullah saja”.
Kita katakan pula kepada mereka: Berani sekali kalian mengatakan hadits ini tidak berlaku lagi setelah Rasulullah meninggal?! Berani sekali kalian menghapus salah satu hadits Rasulullah?! Apakah setiap ada hadits yang bertentangan dengan faham kalian maka berarti hadits tersebut harus di-takhshish, atau harus d-nasakh (dihapus) dan tidak berlaku lagi?! Ini adalah bukti bahwa kalian memahami ajaran agama hanya dengan didasarkan kepada “hawa nafsu” belaka.

3. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah terkadang berkata: “Hadits riwayat Imam Muslim: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” sebab munculnya adalah bahwa beberapa orang yang sangat fakir memakai pakaian dari kulit hewan yang dilubangi tengahnya lalu dipakaikan dengan cara memasukkan kepala melalui lubang tersebut. Melihat keadaan tersebut wajah Rasulullah berubah dan bersedih. Lalu para sahabat bersedekah dengan harta masing-masing dan mengumpulkannya hingga menjadi cukup banyak, kemudian harta-harta itu diberikan kepada orang-orang fakir tersebut. Ketika Rasulullah melihat kejadian ini, beliau sangat senang dan lalu mengucapkan hadits di atas. Artinya, Rasulullah memuji sedekah para sahabatnya tersebut, dan urusan sedekah ini sudah maklum keutamaannya dalam agama”.

Jawab:
Dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:

اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
“Yang dijdikan sandaran itu -dalam penetapan dalil itu- adalah keumuman lafazh suatu nash, bukan dari kekhususan sebabnya”.

Dengan demikian meskipun hadits tersebut sebabnya khusus, namun lafazhnya berlaku umum. Artinya yang harus dilihat di sini adalah keumuman kandungan makna hadits tersebut, bukan kekhususan sebabnya. Karena seandainya Rasulullah bermaksud khusus dengan haditsnya tersebut, maka beliau tidak akan menyampaikannya dengan lafazh yang umum. Pendapat orang-orang anti bid’ah hasanah yang mengambil alasan semacam ini terlihat sangat dibuat-buat dan sungguh sangat aneh. Apakah mereka lebih mengetahui agama ini dari pada Rasulullah sendiri?!

4. Sebagian kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bukan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” yang di-takhshish oleh hadits “Man Sanna Fi al-Isalam Sunnatan Hasanah…”. Tetapi sebaliknya, hadits yang kedua ini yang di-takhshish oleh hadits hadits yang pertama”.

Jawab:
Ini adalah penafsiran “ngawur” dan “seenak perut” belaka. Pendapat semacam itu jelas tidak sesuai dengan cara para ulama dalam memahami hadits-hadits Rasulullah. Orang semacam ini sama sekali tidak faham kalimat “’Am” dan kalimat “Khas”. Al-Imam an-Nawawi ketika menjelaskan hadits “Man Sanna Fi al-Islam…”, menuliskan sebagai berikut:

فِيْهِ الْحَثُّ عَلَى الابْتِدَاءِ بِالْخَيْرَاتِ وَسَنِّ السُّنَنِ الْحَسَنَاتِ وَالتَّحْذِيْرِ مِنَ الأَبَاطِيْلِ وَالْمُسْتَقْبَحَاتِ. وَفِيْ هذَا الْحَدِيْثِ تَخْصِيْصُ قَوْلِهِ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ "فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ" وَأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الْمُحْدَثَاتُ الْبَاطِلَةُ وَالْبِدَعُ الْمَذْمُوْمَةُ.
“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memulai kebaikan, dan merintis perkara-perkara baru yang baik, serta memperingatkan masyarakat dari perkara-perkara yang batil dan buruk. Dalam hadits ini juga terdapat pengkhususan terhadap hadits Nabi yang lain, yaitu terhadap hadits: “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah”. Dan bahwa sesungguhnya bid’ah yang sesat itu adalah perkara-perkara baru yang batil dan perkara-perkara baru yang dicela”.

As-Sindi mengatakan dalam kitab Hasyiyah Ibn Majah:

قَوْلُهُ "سُنَّةً حَسَنَةً" أَيْ طَرِيْقَةً مَرْضِيَّةً يُقْتَدَى بِهَا، وَالتَّمْيِيْزُ بَيْنَ الْحَسَنَةِ وَالسَّـيِّئَةِ بِمُوَافَقَةِ أُصُوْلِ الشَّرْعِ وَعَدَمِهَا.
“Sabda Rasulullah: “Sunnatan Hasanatan…” maksudnya adalah jalan yang diridlai dan diikuti. Cara membedakan antara bid’ah hasanah dan sayyi-ah adalah dengan melihat apakah sesuai dengan dalil-dalil syara’ atau tidak”.

Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:

وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ.
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara' berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).

Dengan demikian para ulama sendiri yang telah mengatakan mana hadits yang umum dan mana hadits yang khusus. Jika sebuah hadits bermakna khusus, maka mereka memahami betul hadits-hadits mana yang mengkhususkannya. Benar, para ulama juga yang mengetahui mana hadits yang mengkhususkan dan mana yang dikhususkan. Bukan semacam mereka yang membuat pemahaman sendiri yang sama sekali tidak di dasarkan kepada ilmu.
Dari penjelasan ini juga dapat diketahui bahwa penilaian terhadap sebuah perkara yang baru, apakah ia termasuk bid’ah hasanah atau termasuk sayyi-ah, adalah urusan para ulama. Mereka yang memiliki keahlian untuk menilai sebuah perkara, apakah masuk kategori bid’ah hasanah atau sayyi-ah. Bukan orang-orang awam atau orang yang menganggap dirinya alim padahal kenyataannya ia tidak paham sama sekali.

5. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bid’ah yang diperbolehkan adalah bid’ah dalam urusan dunia. Dan definisi bid’ah dalam urusan dunia ini sebenarnya bid’ah dalam tinjauan bahasa saja. Sedangkan dalam urusan ibadah, bid’ah dalam bentuk apapun adalah sesuatu yang haram, sesat bahkan mendekati syirik”.

Jawab:
Subhanallah al-'Azhim. Apakah berjama'ah di belakang satu imam dalam shalat Tarawih, membaca kalimat talbiyah dengan menambahkan atas apa yang telah diajarkan Rasulullah seperti yang dilakukan oleh sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab, membaca tahmid ketika i'tidal dengan kalimat “Rabbana Wa Laka al-Hamd Handan Katsiran Thayyiban Mubarakan Fih”, membaca doa Qunut, melakukan shalat Dluha yang dianggap oleh sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai bid’ah hasanah, apakah ini semua bukan dalam masalah ibadah?! Apakah ketika seseorang menuliskan shalawat: “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” atas Rasulullah tidak sedang beribadah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya tidak sedang beribadah kepada Allah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an tersebut hanya “bercanda” dan “iseng” saja, bahwa ia tidak akan memperoleh pahala karena membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar yang nyata-nyata dalam shalat, di dalam tasyahhud-nya menambahkan “Wahdahu La Syarika Lahu”, apakah ia tidak sedang melakukan ibadah?! Hasbunallah.
Kemudian dari mana ada pemilahan bid’ah secara bahasa (Bid’ah Lughawiyyah) dan bid’ah secara syara'?! Bukankah ketika sebuah lafazh diucapkan oleh para ulama, yang notebene sebagai pembawa ajaran syari’at, maka harus dipahami dengan makna syar'i dan dianggap sebagai haqiqah syar'iyyah?! Bukankah ‘Umar ibn al-Khatththab dan ‘Abdullah ibn Umar mengetahui makna bid’ah dalam syara', lalu kenapa kemudian mereka memuji sebagian bid’ah dan mengatakannya sebagai bid’ah hasanah, bukankah itu berarti bahwa kedua orang sahabat Rasulullah yang mulia dan alim ini memahami adanya bid’ah hasanah dalam agama?! Siapa berani mengatakan bahwa kedua sahabat agung ini tidak pernah mendengar hadits Nabi “Kullu Bid’ah Dlalalah”?! Ataukah siapa yang berani mengatakan bahwa dua sahabat agung tidak memahami makna “Kullu” dalam hadits “Kullu Bid’ah Dlalalh” ini?!
Kita katakan kepada mereka yang anti terhadap bid’ah hasanah: “Sesungguhnya sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar, juga para ulama, telah benar-benar mengetahui adanya kata “Kull” di dalam hadits tersebut. Hanya saja orang-orang yang mulia ini memahami hadits tersebut tidak seperti pemahaman orang-orang Wahhabiyyah yang sempit pemahamannya ini. Para ulama kita tahu bahwa ada beberapa hadits shahih yang jika tidak dikompromikan maka satu dengan lainnya akan saling bertentangan. Oleh karenanya, mereka mengkompromikan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” dengan hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, bahwa hadits yang pertama ini di-takhshish dengan hadits yang kedua. Sehingga maknanya menjadi: “Setiap bid’ah Sayyi-ah adalah sesat”, bukan “Setiap bid’ah itu sesat”.
Pemahaman ini sesuai dengan hadits lainnya, yaitu sabda Rasulullah:

مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه الترمذيّ وابن ماجه)
“Barangsiapa merintis suatu perkara baru yang sesat yang tidak diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia terkena dosa orang-orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. at-Tirmidzi dan Ibn Majah)

Inilah pemahaman yang telah dijelaskan oleh para ulama kita sebagai Waratsah al-Anbiya’.

6. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah mengatakan: “Perkara-perkara baru tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, dan para sahabat tidak pernah melakukannya pula. Seandainya perkara-perkara baru tersebut sebagai sesuatu yang baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.

Jawab:
Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Jika mereka berkata: Rasulullah melarang secara umum dengan sabdanya: “Kullu Bid’ah Dlalalah”. Kita jawab: Rasulullah juga telah bersabda: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa Ajru Man ‘Amila Biha…”.
Bila mereka berkata: Adakah kaedah syara' yang mengatakan bahwa apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah adalah bid’ah yang diharamkan? Kita jawab: Sama sekail tidak ada.
Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah suatu perkara itu hanya baru dianggap mubah (boleh) atau sunnah setelah Rasulullah sendiri yang langsung melakukannya?! Apakah kalian mengira bahwa Rasulullah telah melakukan semua perkara mubah?! Jika demikian halnya, kenapa kalian memakai Mushaf (al-Qur’an) yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Padahal jelas hal itu tidak pernah dibuat oleh Rasulullah, atau para sahabatnya! Apakah kalian tidak tahu kaedah Ushuliyyah mengatakan:

التَّرْكُ لاَ يَقْتَضِي التَّحْرِيْم
“Meninggalkan suatu perkara tidak tidak menunjukkan bahwa perkara tersebut sesuatu yang haram”.

Artinya, ketika Rasulullah atau para sahabatnya tidak melakukan suatu perkara tidak berarti kemudian perkara tersebut sebagai sesuatu yang haram.
Sudah maklum, bahwa Rasulullah berasal dari bangsa manusia, tidak mungkin beliau harus melakukan semua hal yang Mubah. Jangankan melakukannya semua perkara mubah, menghitung semua hal-hal yang mubah saja tidak bisa dilakukan oleh seorangpun. Hal ini karena Rasulullah disibukan dalam menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berdakwah, mendebat orang-orang musyrik dan ahli kitab, memerangi orang-orang kafir, melakukan perjanjian damai dan kesepakatan gencatan senjata, menerapkan hudud, mempersiapkan dan mengirim pasukan-pasukan perang, mengirim para penarik zakat, menjelaskan hukum-hukum dan lainnya.
Bahkan dengan sengaja Rasulullah kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah karena takut dianggap wajib oleh ummatnya. Atau sengaja beliau kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah hanya karena khawatir akan memberatkan ummatnya jika beliau terus melakukan perkara sunnah tersebut. Dengan demikian orang yang mengharamkan satu perkara hanya dengan alasan karena perkara tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah pendapat orang yang tidak mengerti ahwal Rasulullah dan tidak memahami kaedah-kaedah agama.

Kesimpulan

Dari penjelasan yang cukup panjang ini kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa para sahabat Rasulullah, para tabi'in, para ulama Salaf dan para ulama Khalaf, mereka semuanya memahami pembagian bid’ah kepada dua bagian; bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi-ah. Yang kita sebutkan dalam tulisan ini bukan hanya pendapat dari satu atau dua orang ulama saja, melainkan sekian banyak ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf di atas keyakinan ini. Lembaran buku ini tidak akan cukup bila harus semua nama mereka kita kutip di sini.
Dengan demikian bila ada orang yang menyesatkan pembagian bid’ah kepada dua bagian ini, maka berarti ia telah menyesatkan seluruh ulama dari masa para sahabat Nabi hingga sekarang ini. Dari sini kita bertanya, apakah kemudian hanya dia sendiri yang benar, sementara semua ulama tersebut adalah orang-orang sesat?! Tentu terbalik, dia sendiri yang sesat, dan para ulama tersebut di atas kebenaran. Orang atau kelompok yang “keras kepala” seperti ini hendaklah menyadari bahwa mereka telah menyempal dari para ulama dan mayoritas ummat Islam. Adakah mereka merasa lebih memahami al-Qur’an dan Sunnah dari pada para Sahabat, para Tabi’in, para ulama Salaf, para ulama Hadits, Fikih dan lainnya?! Hasbunallah.
http://www.facebook.com/note.php?note_id=171331573329