Efek

Wednesday, February 2, 2011

KONTROVERSI YASINAN KAPAN BERAKHIR

KONTROVERSI YASINAN KAPAN BERAKHIR

Menurut sejarah, lahirnya tradisi  membaca Yaasin dan Tahlil berangkat dari akulturasi budaya Islam dengan Jawa yang bernuansa Hindu-Budha. Islam ketika masuk ke tanah Jawa, pada masa awal penyebarannya dilakukan melalui dakwah kultural. Hal ini dimotori oleh Wali Songo di antaranya adalah Sunan Kalijaga yang juga seorang budayawan muslim ketika itu.
Pada saat itu, kebiasaan lek-lekan (kumpul malam hari) sepeninggalnya seseorang dulunya diisi dengan kegiatan-kegiatan yang kurang Islami, main kartu, minum-minuman, dan sebagainya. Kemudian sedikit demi sedikit tradisi lek-lekan itu dikawinkan dengan nilai-nilai Islam melalui acara membaca surat  Yaasin dan Tahlil. Akhirnya, mitong dino, matang puluh dino, mendhak sepisan dan seterusnya. Sampai saat ini dapat kita saksikan dalam acara perkumpulan membaca Yaasin dan Tahlil, yang kemudian  sekarang orang jawa menyebutnya sebagai yasinan dan tahlilan.  Sebutan ini adalah ‘penjawaan’  dari kata tahlil dan yasin. Dakwah semacam itu cukup efektif yang menjadikan Islam membesar di tanah Jawa.
Pada sisi lain, seperti tradisi Halal bi Halal sendiri, tradisi Yaasinan dan Tahlilan hanya di kenal di Indonesia, dari sisi namanya. Akan tetapi acara yang semacam ini juga ada di negara-negara lain seperti Yaman, Malaysia, Thailand , Mesir, Bangladesh, Maroko dan masih banyak lagi. Hanya namanya bukan yasinan atau tahlilan. Khususnya di Indonesia, tidak salah jika beberapa intelektual muslim berpendapat bahwa Islam di Indonesia adalah unik, memiliki rasa dan tidak gersang seperti di Timur Tengah atau negara lainnya. Sehingga ada yang lebih suka menyebutnya dengan ‘Islam Indonesia’, bukan Islam di Indonesia.
Sedangkan mengapa sampai saat ini NU masih tetap melestarikan tradisi Yaasinan dan Tahlilan? Ya sebabnya bukan hanya karena kegiatan Yaasinan dan Tahlilan adalah salah satu modal sosial, tetapi juga karena secara hukum adalah sah. Tidak ada dalam teks Al-Quran pun Hadist yang secara qoth’iy (pasti) mengharamkan atau melarangnya. Sedangkan, kelompok modernis Islam yang dulu pernah dimotori oleh Muhammadiyyah dan kini diteruskan oleh Salafy Wahabi, menghukumi tradisi Yaasinan dan Tahlilan sebagai bid’ah yang didasarkan pada Hadist yang berbunyi, “Kullu bid’atun dlolaalatun”.
Sayangnya Hadits tersebut salah dipahami dengan memaknainya sebagai “Setiap bid’ah adalah buruk”. Yang semestinya lafadl (kata) ‘kullu’ pada Hadits di atas dimaknai ‘sebagian’ (bi ma’na ba’dli). Artinya, memang benar ada bid’ah yang dlolaalah (buruk) dan pada sisi lain ada juga bid’ah yang hasanah (baik). Sayangnya, pada term yang terakhir kita jarang menyebutnya dengan bid’ah hasanah tetapi lebih sering dengan sebutan ijtihad.
Saya akan menawarkan beberapa fakta yang mungkin akan membuat Anda berfikir ulang tentang bid’ah. Mungkin sampai saat ini Anda masih mendefinisikan bid’ah sebagai tata cara ibadah atau ibadah (‘ubudiyyah) yang sebenarnya tidak pernah digariskan oleh Allah dalam Al-Quran dan Hadits. Singkatnya tata cara ibadah atau ibadah yang mengada-ada. Jika Anda tahu, sampai sekarang ini pemerintah Saudi Arabia telah melakukan perombakan-perombakan syariah haji (tata cara);  seperti perluasan batas geografi Arafah dan Mina, perluasan Safa-Marwah, pengaturan penyembelihan hewan kurban, dan yang paling mutakhir, memperlebar ukuran Jamarat dari hanya tiang kecil menjadi tembok selebar tujuh meter. Hal tersebut dilakukan karena semakin membludaknya jamaah haji pertahunnya.
Jika Anda masih konsisten dengan definisi bid’ah di atas bahwa setiap bid’ah sesat, maka apakah Anda bisa mengatakan kebijakan pemerintah Saudi Arabia yang mengkreasi sedemikian rupa syariah haji akan Anda sebut juga sebagai bid’ah yang bermakna sesat (dlolaalah)? Saya yakin, pada fakta di atas Anda akan cenderung menyebutnya sebagai proses ijtihad dalam rangka mengurangi kecelakaan yang terjadi akibat penumpukan jemaah. Nah, logika semacam itu juga berlangsung dalam tradisi Yasinan dan Tahlian, sebagai bentuk ijtihad dalam rangka dakwah kultural. Hanya saja kita —sekali lagi— alergi untuk menyebutnya dengan bid’ah hasanah. Karena term ‘bid’ah’ sudah kadung peyoratif dalam katalog kata kita.
Saya membaca bahwa Yasinan dan Tahlilan sebagai bentuk ijtihad dalam rangka melakukan kodifikasi (pengumpulan-pelembagaan) dari bacaan surat Yasin, dzikir dan do’a yang kemudian diacarakan. Hal ini saya pandang sejajar dengan kumpulan do’a-do’a, dzikir yang dikeluarkan oleh Ulama tertentu untuk pengikutnya. Seperti kumpulan do’a, dzikir dan sebagainya dalam, dalam kumpulan do’a  al-ma’tsurat,  Majmu’ Assyarif atau majmu’-majmu’ lainnya.
Saya kembali ingat, ada kaidah Fiqih yang berbunyi, “Al ‘adaatul muhakkamah”. Artinya, “Adat atau kebiasaan bisa ditetapkan sebagai hukum”. Kontekstualisasi dari kaidah ini, bahwa kebiasaan atau tradisi yang secara esensial berisi nilai-nilai Islami dapat ditetapkan hukumnya menjadi sah atau boleh. Hal semacam ini dilakukan tidak semata-mata sebagai strategi an sich melainkan juga dalam kerangka penghormatan terhadap budaya tradisi yang nota benenya adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang memuat nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan.
Mujamil Qomar dalam disertasinya menulis, bahwa penghormatan pada tradisi yang baik ini pada akhirnya memuncak dengan memosisikannya sebagai hukum. Kalangan NU mengikuti kaidah Al ‘adaatul muhakkamah. Penetapan ini tidak sekedar berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sosial-kultural, tetapi juga memiliki sandaran teologis yang bersalil, baik Al-Quran maupun Hadist yang mendasari bangunan kaidah tersebut sehingga merasa haqqul yaqiin dalam menerapkannya. Sandaran teologis yang dimaksud tepatnya adalah Hadist yang berbunyi, “Maa roohul muslimuuna hasanan fahuwa ‘indallahi hasanun”. Yang artinya, “Apapun yang menurut kaum muslimin pada umumnya baik, maka baik pula bagi Allah”.
Dengan penjelasan ini setidaknya saya berharap bisa menjadi referensi timbangan yang adil dalam menilai amalan-amalan muslimin. Sehingga segala kontroversi yang belakangan ini bermunculan kembali setelah tiarap panjangnya akan segera berakhir. Dengan demikian kaum muslimin kembali tenteram dengan amal ibadahnya tanpa teror fitnah kebid’ahan dan lain-lain. Wallahu A’lam.
Sumber:
http://ahmadibanjarnegara.blogspot.com/2009/05/kontroversi-yasinan.html
http://ummatiummati.wordpress.com/2010/02/19/kontroversi-yasinan-kapan-berakhir/#comment-4451

Fakta Wahabi: Peran Hempher dan Campur Tangan Inggris Di Balik Kelahiran Wahabisme

Fakta Wahabi: Peran Hempher dan Campur Tangan Inggris Di Balik Kelahiran Wahabisme

WahhabiDi blog UMMATI PRESS pernah ada komentar dari pengunjung ASWAJA yang mengatakan bahwa pencetus nama WAHHABI adalah Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab, kakak dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Tapi pernyataan ini dibantah dengan tegas oleh pengikut WAHHABI, bahwa yang benar sebagai pecetus nama Wahhabi adalah Inggris. Anda bisa cek bantahan pengikut WAHABI tersebut di link ini, silahkan KLIK DISINI. Ketahuilah bahwa ternyata bantahan pengikut WAHHABI tersebut adalah terbukti benar juga. Ya, pencetus pertamakali sebutan nama WAHHABI adalah seorang bernama MR. Hempher, dialah mata-mata kolonial Inggris yang ikut secara aktif menyemai dan membidani kelahiran sekte WAHHABI. Tujuannya adalah untuk menghancurkan kekuatan ajaran Islam dari dalam, dengan cara menyebarkan isu-isu kafir-musyrik dan bid’ah.
Dengan fakta ini maka terbongkarlah misteri SIKAP WAHHABI yang keras permusuhannya kepada kaum muslimin yang berbeda paham. Itulah sebabnya kenapa ajaran Wahhabi penuh kontradiksi di berbagai lini keilmuan, dan kontradiksi itu akan semakin jelas  manakala dihadapkan dengan paham Ahlussunnah Waljama’ah. Walaupun begitu, ironisnya mereka tanpa risih mengaku-ngaku sebagai kaum ASWAJA. Atas klaim sebagai ASWAJA itu, lalu  ada pertanyaan yang muncul, sejak kapan WAHHABI berubah jadi Ahlussunnah Waljama’ah? Wajar jika pertanyaan itu muncul, sebab bagaimanapun mereka memakai baju Ahlussunnah Waljama’ah, ciri khas ke-wahabiannya tidak menjadi samar. Untuk lebih jelas dalam mengenali apa, siapa, kenapa, darimana WAHABISME, sebaiknya kita terlebih dulu mengetahui latar belakang sejarahnya. Mari kita ikuti bersama….. 

LATAR BELAKANG BERDIRINYA KERAJAAN SAUDI ARABIA DAN PAHAM WAHABI
Dr. Abdullah Mohammad Sindi *], di dalam sebuah artikelnya yang berjudul : Britain and the Rise of Wahhabism and the House of Saud menyajikan tinjauan ulang tentang sejarah Wahabisme, peran Pemerintah Inggeris di dalam perkembangannya, dan hubungannya dengan peran keluarga kerajaan Saudi. “Salah satu sekte Islam yang paling kaku dan paling reaksioner saat ini adalah Wahabi,” demikian tulis Dr. Abdullah Mohammad Sindi dalam pembukaan artikelnya tersebut. Dan kita tahu bahwa Wahabi adalah ajaran resmi Kerajaaan Saudi Arabia, tambahnya.
Wahabisme dan keluarga Kerajaan Saudi telah menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan sejak kelahiran keduanya. Wahabisme-lah yang telah menciptakan kerajaan Saudi, dan sebaliknya keluarga Saud membalas jasa itu dengan menyebarkan paham Wahabi ke seluruh penjuru dunia. One could not have existed without the other – Sesuatu tidak dapat terwujud tanpa bantuan sesuatu yang lainnya.
Wahhabisme memberi legitimasi bagi Istana Saud, dan Istana Saud memberi perlindungan dan mempromosikan Wahabisme ke seluruh penjuru dunia. Keduanya tak terpisahkan, karena keduanya saling mendukung satu dengan yang lain dan kelangsungan hidup keduanya bergantung padanya.
Tidak seperti negeri-negeri Muslim lainnya, Wahabisme memperlakukan perempuan sebagai warga kelas tiga, membatasi hak-hak mereka seperti : menyetir mobil, bahkan pada dekade lalu membatasi pendidikan mereka.
Juga tidak seperti di negeri-negeri Muslim lainnya, Wahabisme :
- melarang perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw
- melarang kebebasan berpolitik dan secara konstan mewajibkan rakyat untuk patuh   secara mutlak kepada pemimpin-pemimpin mereka.
- melarang mendirikan bioskop sama sekali.
- menerapkan hukum Islam hanya atas rakyat jelata, dan membebaskan hukum atas kaum   bangsawan, kecuali karena alasan politis.
- mengizinkan perbudakan sampai tahun ’60-an.
Mereka juga menyebarkan mata-mata atau agen rahasia yang selama 24 jam memonitor demi mencegah munculnya gerakan anti-kerajaan.
Wahabisme juga sangat tidak toleran terhadap paham Islam lainnya, seperti terhadap Syi’ah dan Sufisme (Tasawuf). Wahabisme juga menumbuhkan rasialisme Arab pada pengikut mereka. 1] Tentu saja rasialisme bertentangan dengan konsep Ummah Wahidah di dalam Islam.
Wahhabisme juga memproklamirkan bahwa hanya dia saja-lah ajaran yang paling benar dari semua ajaran-ajaran Islam yang ada, dan siapapun yang menentang Wahabisme dianggap telah melakukan BID’AH dan KAFIR!
LAHIRNYA AJARAN WAHABI:
Wahhabisme atau ajaran Wahabi muncul pada pertengahan abad 18 di Dir’iyyah sebuah dusun terpencil di Jazirah Arab, di daerah Najd.
Kata Wahabi sendiri diambil dari nama pendirinya, Muhammad Ibn Abdul-Wahhab (1703-92). Laki-laki ini lahir di Najd, di sebuah dusun kecil Uyayna. Ibn Abdul-Wahhab adalah seorang mubaligh yang fanatik, dan telah menikahi lebih dari 20 wanita (tidak lebih dari 4 pada waktu bersamaan) dan mempunyai 18 orang anak. 2]
Sebelum menjadi seorang mubaligh, Ibn Abdul-Wahhab secara ekstensif mengadakan perjalanan untuk keperluan bisnis, pelesiran, dan memperdalam agama ke Hijaz, Mesir, Siria, Irak, Iran, dan India.

Hempher mata-mata Inggris
Walaupun Ibn Abdul-Wahhab dianggap sebagai Bapak Wahabisme, namun aktualnya Kerajaan Inggeris-lah yang membidani kelahirannya dengan gagasan-gagasan Wahabisme dan merekayasa Ibn Abdul-Wahhab sebagai Imam dan Pendiri Wahabisme, untuk tujuan menghancurkan Islam dari dalam dan meruntuhkan Daulah Utsmaniyyah yang berpusat di Turki. Seluk-beluk dan rincian tentang konspirasi Inggeris dengan Ibn Abdul-Wahhab ini dapat Anda temukan di dalam memoar Mr. Hempher : “Confessions of a British Spy” 3]
Selagi di Basra, Iraq, Ibn Abdul-Wahhab muda jatuh dalam pengaruh dan kendali seorang mata-mata Inggeris yang dipanggil dengan nama Hempher yang sedang menyamar (undercover), salah seorang mata-mata yang dikirim London untuk negeri-negeri Muslim (di Timur Tengah) dengan tujuan menggoyang Kekhalifahan Utsmaniyyah dan menciptakan konflik di antara sesama kaum Muslim. Hempher pura-pura menjadi seorang Muslim, dan memakai nama Muhammad, dan dengan cara yang licik, ia melakukan pendekatan dan persahabatan dengan Ibn Abdul-Wahhab dalam waktu yang relatif lama.
Hempher, yang memberikan Ibn Abdul-Wahhab uang dan hadiah-hadiah lainnya, mencuci-otak Ibn Abdul-Wahhab dengan meyakinkannya bahwa : Orang-orang Islam mesti dibunuh, karena mereka telah melakukan penyimpangan yang berbahaya, mereka – kaum Muslim – telah keluar dari prinsip-prinsip Islam yang mendasar, mereka semua telah melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah dan syirik.
Hempher juga membuat-buat sebuah mimpi liar (wild dream) dan mengatakan bahwa dia bermimpi Nabi Muhammad Saw mencium kening (di antara kedua mata) Ibn Abdul-Wahhab, dan mengatakan kepada Ibn Abdul-Wahhab, bahwa dia akan jadi orang besar, dan meminta kepadanya untuk menjadi orang yang dapat menyelamatkan Islam dari berbagai bid’ah dan takhayul.
perintis WahabiSetelah mendengar mimpi liar Hempher, Ibn Abdul-Wahhab jadi ge-er (wild with joy) dan menjadi terobsesi, merasa bertanggung jawab untuk melahirkan suatu aliran baru di dalam Islam yang bertujuan memurnikan dan mereformasi Islam.
Di dalam memoarnya, Hempher menggambarkan Ibn Abdul-Wahhab sebagai orang yang berjiwa “sangat tidak stabil” (extremely unstable), “sangat kasar” (extremely rude), berakhlak bejat (morally depraved), selalu gelisah (nervous), congkak (arrogant), dan dungu (ignorant).
Mata-mata Inggeris ini, yang memandang Ibn Abdul-Wahhab sebagai seorang yang bertipikal bebal/dungu (typical fool), juga mengatur pernikahan mut’ah bagi Ibn Abdul Wahhab dengan 2 wanita Inggeris yang juga mata-mata yang sedang menyamar.
Wanita pertama adalah seorang wanita beragama Kristen dengan panggilan Safiyya. Wanita ini tinggal bersama Ibn Abdul Wahhab di Basra. Wanita satunya lagi adalah seorang wanita Yahudi yang punya nama panggilan Asiya. Mereka menikah di Shiraz, Iran. 4]
KERAJAAN SAUDI-WAHHABI PERTAMA : 1744-1818
Setelah kembali ke Najd dari perjalanannya, Ibn Abdul-Wahhab mulai “berdakwah” dengan gagasan-gagasan liarnya di Uyayna. Bagaimana pun, karena “dakwah”-nya yang keras dan kaku, dia diusir dari tempat kelahirannya. Dia kemudian pergi berdakwah di dekat Dir’iyyah, di mana sahabat karibnya, Hempher dan beberapa mata-mata Inggeris lainnya yang berada dalam penyamaran ikut bergabung dengannya. 5]
Dia juga tanpa ampun membunuh seorang pezina penduduk setempat di hadapan orang banyak dengan cara yang sangat brutal, menghajar kepala pezina dengan batu besar 6]
Padahal, hukum Islam tidak mengajarkan hal seperti itu, beberapa hadis menunjukkan cukup dengan batu-batu kecil. Para ulama Islam (Ahlus Sunnah) tidak membenarkan tindakan Ibn Abdul-Wahhab yang sangat berlebihan seperti itu.
Walaupun banyak orang yang menentang ajaran Ibn Abdul-Wahhab yang keras dan kaku serta tindakan-tindakannya, termasuk ayah kandungnya sendiri dan saudaranya Sulaiman Ibn Abdul-Wahhab, – keduanya adalah orang-orang yang benar-benar memahami ajaran Islam -, dengan uang,  mata-mata Inggeris telah berhasil membujuk Syeikh Dir’iyyah, Muhammad Saud untuk mendukung Ibn Abdul-Wahhab. 7]
Ibnu Sa'udPada 1744, al-Saud menggabungkan kekuatan dengan Ibn Abdul-Wahhab dengan membangun sebuah aliansi politik, agama dan perkawinan. Dengan aliansi ini, antara keluarga Saud dan Ibn Abdul-Wahhab, yang hingga saat ini masih eksis, Wahhabisme sebagai sebuah “agama” dan gerakan politik telah lahir!
Dengan penggabungan ini setiap kepala keluarga al-Saud beranggapan bahwa mereka menduduki posisi Imam Wahhabi (pemimpin agama), sementara itu setiap kepala keluarga Wahhabi memperoleh wewenang untuk mengontrol ketat setiap penafsiran agama (religious interpretation).
Mereka adalah orang-orang bodoh, yang melakukan kekerasan, menumpahkan darah, dan teror untuk menyebarkan paham Wahabi (Wahhabism) di Jazirah Arab. Sebagai hasil aliansi Saudi-Wahhabi pada 1774, sebuah kekuatan angkatan perang kecil yang terdiri dari orang-orang Arab Badui terbentuk melalui bantuan para mata-mata Inggeris yang melengkapi mereka dengan uang dan persenjataan. 8]
Sampai pada waktunya, angkatan perang ini pun berkembang menjadi sebuah ancaman besar yang pada akhirnya melakukan teror di seluruh Jazirah Arab sampai ke Damaskus (Suriah), dan menjadi penyebab munculnya Fitnah Terburuk di dalam Sejarah Islam (Pembantaian atas Orang-orang Sipil dalam jumlah yang besar).
Dengan cara ini, angkatan perang ini dengan kejam telah mampu menaklukkan hampir seluruh Jazirah Arab untuk menciptakan Negara Saudi-Wahhabi yang pertama.
Sebagai contoh, untuk memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai syirik dan bid’ah yang dilakukan oleh kaum Muslim, Saudi-Wahhabi telah mengejutkan seluruh dunia Islam pada 1801, dengan tindakan brutal menghancurkan dan menodai kesucian makam Imam Husein bin Ali (cucu Nabi Muhammad Saw) di Karbala, Irak. Mereka juga tanpa ampun membantai lebih dari 4.000 orang di Karbala dan merampok lebih dari 4.000 unta yang mereka bawa sebagai harta rampasan. 9]
Sekali lagi, pada 1810, mereka, kaum Wahabi dengan kejam membunuh penduduk tak berdosa di sepanjang Jazirah Arab. Mereka menggasak dan menjarah banyak kafilah peziarah dan sebagian besar di kota-kota Hijaz, termasuk 2 kota suci Makkah dan Madinah.
Di Makkah, mereka membubarkan para peziarah, dan di Madinah, mereka menyerang dan menodai Masjid Nabawi, membongkar makam Nabi, dan menjual serta membagi-bagikan peninggalan bersejarah dan permata-permata yang mahal.
Para teroris Saudi-Wahhabi ini telah melakukan tindak kejahatan yang menimbulkan kemarahan kaum Muslim di seluruh dunia, termasuk Kekhalifahan Utsmaniyyah di Istanbul.
Sebagai penguasa yang bertanggung jawab atas keamanan Jazirah Arab dan penjaga masjid-masjid suci Islam, Khalifah Mahmud II memerintahkan sebuah angkatan perang Mesir dikirim ke Jazirah Arab untuk menghukum klan Saudi-Wahhabi.
Pada 1818, angkatan perang Mesir yang dipimpin Ibrahim Pasha (putra penguasa Mesir) menghancurkan Saudi-Wahhabi dan meratakan dengan tanah ibu kota Dir’iyyah .
Imam kaum Wahhabi saat itu, Abdullah al-Saud dan dua pengikutnya dikirim ke Istanbul dengan dirantai dan di hadapan orang banyak, mereka dihukum pancung. Sisa klan Saudi-Wahhabi ditangkap di Mesir.
KERAJAAN SAUDI-WAHHABI KE-II : 1843-1891
“Walaupun kebengisan fanatis Wahabisme berhasil dihancurkan pada 1818, namun dengan bantuan Kolonial Inggeris, mereka dapat bangkit kembali. Setelah pelaksanaan hukuman mati atas Imam Abdullah al-Saud di Turki, sisa-sisa klan Saudi-Wahhabi memandang saudara-saudara Arab dan Muslim mereka sebagai musuh yang sesungguhnya (their real enemies) dan sebaliknya mereka menjadikan Inggeris dan Barat sebagai sahabat sejati mereka.” Demikian tulis Dr. Abdullah Mohammad Sindi *]
Maka ketika Inggeris menjajah Bahrain pada 1820 dan mulai mencarai jalan untuk memperluas area jajahannya, Dinasti Saudi-Wahhabi menjadikan kesempatan ini untuk memperoleh perlindungan dan bantuan Inggeris.
Pada 1843, Imam Wahhabi, Faisal Ibn Turki al-Saud berhasil melarikan diri dari penjara di Cairo dan kembali ke Najd. Imam Faisal kemudian mulai melakukan kontak dengan Pemerintah Inggeris. Pada 1848, dia memohon kepada Residen Politik Inggeris (British Political Resident) di Bushire agar mendukung perwakilannya di Trucial Oman. Pada 1851, Faisal kembali memohon bantuan dan dukungan Pemerintah Inggeris. 10]
Dan hasilnya, Pada 1865, Pemerintah Inggeris mengirim Kolonel Lewis Pelly ke Riyadh untuk mendirikan sebuah kantor perwakilan Pemerintahan Kolonial Inggeris dengan perjanjian (pakta) bersama Dinasti Saudi-Wahhabi.
Untuk mengesankan Kolonel Lewis Pelly bagaimana bentuk fanatisme dan kekerasan Wahhabi, Imam Faisal mengatakan bahwa perbedaan besar dalam strategi Wahhabi : antara perang politik dengan perang agama adalah bahwa nantinya tidak akan ada kompromi, kami membunuh semua orang . 11]
Pada 1866, Dinasti Saudi-Wahhabi menandatangani sebuah perjanjian “persahabatan” dengan Pemerintah Kolonial Inggeris, sebuah kekuatan yang dibenci oleh semua kaum Muslim, karena kekejaman kolonialnya di dunia Muslim.
Perjanjian ini serupa dengan banyak perjanjian tidak adil yang selalu dikenakan kolonial Inggeris atas boneka-boneka Arab mereka lainnya di Teluk Arab (sekarang dikenal dengan : Teluk Persia).
Sebagai pertukaran atas bantuan pemerintah kolonial Inggeris yang berupa uang dan senjata, pihak Dinasti Saudi-Wahhabi menyetujui untuk bekerja-sama/berkhianat dengan pemerintah kolonial Inggeris yaitu : pemberian otoritas atau wewenang kepada pemerintah kolonial Inggeris atas area yang dimilikinya.
Perjanjian yang dilakukan Dinasti Saudi-Wahhabi dengan musuh paling getir bangsa Arab dan Islam (yaitu : Inggeris), pihak Dinasti Saudi-Wahhabi telah membangkitkan kemarahan yang hebat dari bangsa Arab dan Muslim lainnya, baik negara-negara yang berada di dalam maupun yang diluar wilayah Jazirah Arab.
Dari semua penguasa Muslim, yang paling merasa disakiti atas pengkhianatan Dinasti Saudi-Wahhabi ini adalah seorang patriotik bernama al-Rasyid dari klan al-Hail di Arabia tengah dan pada 1891, dan dengan dukungan orang-orang Turki, al-Rasyid menyerang Riyadh lalu menghancurkan klan Saudi-Wahhabi.
Bagaimanapun, beberapa anggota Dinasti Saudi-Wahhabi sudah mengatur untuk melarikan diri; di antara mereka adalah Imam Abdul-Rahman al-Saud dan putranya yang masih remaja, Abdul-Aziz. Dengan cepat keduanya melarikan diri ke Kuwait yang dikontrol Kolonial Inggeris, untuk mencari perlindungan dan bantuan Inggeris.
KERAJAAN SAUDI-WAHHABI KE III (SAUDI ARABIA) : Sejak 1902
Ketika di Kuwait, Sang Wahhabi, Imam Abdul-Rahman dan putranya, Abdul-Aziz menghabiskan waktu mereka “menyembah-nyembah” tuan Inggersi mereka dan memohon-mohon akan uang, persenjataan serta bantuan untuk keperluan merebut kembali Riyadh. Namun pada akhir penghujung 1800-an, usia dan penyakit nya telah memaksa Abdul-Rahman untuk mendelegasikan Dinasti Saudi Wahhabi kepada putranya, Abdul-Aziz, yang kemudian menjadi Imam Wahhabi yang baru.
Melalui strategi licin kolonial Inggeris di Jazirah Arab pada awal abad 20, yang dengan cepat menghancurkan Kekhalifahan Islam Utsmaniyyah dan sekutunya klan al-Rasyid secara menyeluruh, kolonial Inggeris langsung memberi sokongan kepada Imam baru Wahhabi Abdul-Aziz.
Dibentengi dengan dukungan kolonial Inggeris, uang dan senjata, Imam Wahhabi yang baru, pada 1902 akhirnya dapat merebut Riyadh. Salah satu tindakan biadab pertama Imam baru Wahhabi ini setelah berhasil menduduki Riyadh adalah menteror penduduknya dengan memaku kepala al-Rasyid pada pintu gerbang kota. Abdul-Aziz dan para pengikut fanatik Wahhabinya juga membakar hidup-hidup 1.200 orang sampai mati. 12]
Imam Wahhabi Abdul-Aziz yang dikenal di Barat sebagai Ibn Saud, sangat dicintai oleh majikan Inggerisnya. Banyak pejabat dan utusan Pemerintah Kolonial Inggeris di wilayah Teluk Arab sering menemui atau menghubunginya, dan dengan murah-hati mereka mendukungnya dengan uang, senjata dan para penasihat.  Sir Percy Cox, Captain Prideaux, Captain Shakespeare, Gertrude Bell, dan Harry Saint John Philby (yang dipanggil “Abdullah”) adalah di antara banyak pejabat dan penasihat kolonial Inggeris yang secara rutin mengelilingi Abdul-Aziz demi membantunya memberikan apa pun yang dibutuhkannya.
Dengan senjata, uang dan para penasihat dari Inggeris, berangsur-angsur Imam Abdul-Aziz dengan bengis dapat menaklukkan hampir seluruh Jazirah Arab di bawah panji-panji Wahhabisme untuk mendirikan Kerajaan Saudi-Wahhabi ke-3, yang saat ini disebut Kerajaan Saudi Arabia.
Ketika mendirikan Kerajaan Saudi, Imam Wahhabi, Abdul-Aziz beserta para pengikut fanatiknya, dan para “tentara Tuhan”, melakukan pembantaian yang mengerikan, khususnya di daratan suci Hijaz. Mereka mengusir penguasa Hijaz, Syarif, yang merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw.
Pada May 1919, di Turbah, pada tengah malam dengan cara pengecut dan buas mereka menyerang angkatan perang Hijaz, membantai lebih 6.000 orang.
Dan sekali lagi, pada bulan Agustus 1924, sama seperti yang dilakukan orang barbar, tentara Saudi-Wahabi mendobrak memasuki rumah-rumah di Hijaz, kota Taif, mengancam mereka, mencuri uang dan persenjataan mereka, lalu memenggal kepala anak-anak kecil dan orang-orang yang sudah tua, dan mereka pun merasa terhibur dengan raung tangis dan takut kaum wanita. Banyak wanita Taif yang segara meloncat ke dasar sumur air demi menghindari pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan tentara-tentara Saudi-Wahhabi yang bengis.
Tentara primitif Saudi-Wahhabi ini juga membunuhi para ulama dan orang-orang yang sedang melakukan shalat di masjid; hampir seluruh rumah-rumah di Taif diratakan dengan tanah; tanpa pandang bulu mereka membantai hampir semua laki-laki yang mereka temui di jalan-jalan; dan merampok apa pun yang dapat mereka bawa. Lebih dari 400 orang tak berdosa ikut dibantai dengan cara mengerikan di Taif. 11]
The end
http://sk-sk.facebook.com/topic.php?uid=80383792636&topic=11768
http://kommabogor.wordpress.com/2007/12/22/latar-belakang-berdirinya-kerajaan-   saudi-arabia-dan-paham-wahabi-bag-i/
________________________________________
* Dr. Abdullah Mohammad Sindi adalah seorang profesor Hubungan Internasional (professor of International Relations) berkebangsaan campuran Saudi-Amerika. Dia memperoleh titel BA dan MA nya di California State University, Sacramento, dan titel Ph.D. nya di the University of Southern California. Dia juga seorang profesor di King Abdulaziz University di Jeddah, Saudi Arabia. Dia juga mengajar di beberapa universitas dan college Amerika termasuk di : the University of California di Irvine, Cal Poly Pomona, Cerritos College, and Fullerton College. Dia penulis banyak artikel dalam bahasa Arab maupun bahasa Inggeris. Bukunya antara lain : The Arabs and the West: The Contributions and the Inflictions.
Catatan Kaki :
[1] Banyak orang-orang yang belajar Wahabisme (seperti di Jakarta di LIPIA) yang     menjadi para pemuja syekh-syekh Arab, menganggap bangsa Arab lebih unggul dari     bangsa lain. Mereka (walaupun bukan Arab) mengikuti tradisi ke-Araban atau         lebih tepatnya Kebaduian (bukan ajaran Islam), seperti memakai jubah panjang,       menggunakan kafyeh, bertindak dan berbicara dengan gaya orang-orang Saudi.
[2] Alexei Vassiliev, Ta’reekh Al-Arabiya Al-Saudiya [History of Saudi Arabia],     yang diterjemahkan dari bahasa Russia ke bahasa Arab oleh Khairi al-Dhamin dan     Jalal al-Maashta (Moscow: Dar Attagaddom, 1986), hlm. 108.
[3] Untuk lebih detailnya Anda bisa mendownload “Confessions of a British Spy” :     http://www.ummah.net/Al_adaab/spy1-7.html
Cara ini juga dilakukan Imperialis Belanda ketika mereka menaklukkan kerajaan-    kerajaan Islam di Indonesia lewat Snouck Hurgronje yang telah belajar lama di   Saudi  Arabia dan mengirinmnya ke Indonesia. Usaha Snouck berhasil gemilang,   seluruh kerajaan Islam jatuh di tangan Kolonial Belanda, kecuali Kerajaan Islam  Aceh. Salah satu provokasi Snouck yang menyamar sebagai seorang ulama Saudi         adalah menyebarkan keyakinan bahwa hadis Cinta pada Tanah Air adalah lemah!         (Hubbul Wathan minal Iman). Dengan penanaman keyakinan ini diharapkan         Nasionalisme bangsa Indonesia hancur, dan memang akhirnya banyak pengkhianat        bangsa bermunculan.
[4] Memoirs Of Hempher, The British Spy To The Middle East, page 13.
[5] Lihat “The Beginning and Spreading of Wahhabism”, http://www.ummah.net/Al_adaab/wah-36.html
[6] William Powell, Saudi Arabia and Its Royal Family (Secaucus, N.J.: Lyle Stuart     Inc., 1982), p. 205.
[7] Confessions of a British Spy.
[8] Ibid.
[9] Vassiliev, Ta’reekh, p. 117.
[10] Gary Troeller, The Birth of Saudi Arabia: Britain and the Rise of the House of      Sa’ud (London: Frank Cass, 1976), pp. 15-16.
[11] Quoted in Robert Lacey, The Kingdom: Arabia and the House of Saud (New York:      Harcourt Brace Jovanovich, 1981), p. 145.
http://ummatiummati.wordpress.com/2011/01/31/fakta-wahabi-peran-hempher-dan-campur-tangan-inggris-di-balik-kelahiran-wahabisme/#comment-4413