Furu'uddin
Apakah Filsafat Puasa? Puasa dalam wujud manusia memiliki berbagai dimensi dan dampak yang begitu banyak, baik dari sisi materi maupun maknawi (spiritual), dan yang paling penting dari semua dimensi yang ada adalah dimensi akhlak dan pendidikannya. Di antara manfaat penting yang ada dalam puasa adalah melembutkan jiwa, menguatkan kehendak yang ada dalam diri, dan menyeimbangkan insting. Seseorang yang melakukan puasa, selain harus merasakan kelaparan dan kehausan dalam wujudnya, ia juga harus menutup matanya dari kelezatan dan kenikmatan biologis, serta membuktikan dengan amal bahwa ia tidaklah seperti hewan yang terkungkung di dalam kandang dan rerumputan. Karena ia mampu menahan diri dari godaan nafsu dan lebih dominan dari hawa nafsu serta syahwatnya. Pada hakiatnya, fisafat terpenting puasa terletak pada dimensi ruhani dan maknawi. Yaitu, seseorang yang memiliki seluruh ikhtiyar dan kewenangan dalam berbagai macam makanan serta minuman, di mana setiap kali merasa lapar dan haus ia langsung bisa menikmati apa yang diinginkannya. Keadaannya sebagaimana pepohonan yang tumbuh menyandar di samping dinding yang terletak di pinggiran sebuah aliran air. Pepohonan semacam ini begitu lembut, kurang mampu bertahan dan sangat rentan terhadap serangan berbagai penyakit, serta tidak mempunyai kekuatan bertahan lama. Apabila beberapa hari saja akarnya tidak menyentuh aliran air, pepohonan ini akan segera layu dan menjadi kering. Lain halnya dengan pepohonan yang tumbuh di sela-sela bebatuan sahara atau yang tumbuh di tengah gunung tandus dan di jalanan yang gersang. Pepohonan yang batang serta dahannya senantiasa dimanjakan oleh angin topan dan teriknya panas matahari yang membakar serta dinginnya angin musim dingin, serta pepohonan yang tumbuh dengan segala kekurangan sejak masa dini pertumbuhannya ini, menjadikannya sebagai sebatang pohon yang tegar, kuat, penuh kemandirian, dan pantang menyerah. Demikianlah halnya dengan puasa. Ia mempengaruhi jiwa manusia seperti ini. Dan pada batasan-batasan tertentu, ia akan memberikan pertahanan dan kekuatan kemauan dan daya dalam melawan segala peristiwa yang sulit. Ketika naluri liarnya telah terkontrol dengan baik, maka puasa ini akan memancarkan pula cahaya dan kejernihan di dalam kalbunya. Ringkasnya, puasa dapat memberikan lompatan yang menakjubkan dari alam hewani menuju ke alam malaikat. Al-Qur’an berfirman, “Supaya Kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183) Ayat ini menjelaskan filsafat diwajibkannya puasa yang mengisyaratkan pada kompleksitas hakikat tersebut. Demikian juga, hadis masyhur “Puasa merupakan perisai dalam menghadapi api neraka” 1 mengisyaratkan pula tentang persoalan ini. Dalam hadis yang lain, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. bertanya kepada Rasulallah saw., “Apa yang harus kita lakukan supaya setan menjauhi kita?” Rasulullah saw. bersabda, “Dengan berpuasa, wajah setan akan berubah menjadi hitam, infak di jalan Allah akan melobangi punggungnya, bersahabat karena Allah dan menjaga amal yang salih akan memotong ekornya, sedangkan beristighfar akan memutuskan urat nadi kalbunya.” 2 Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. dalam Nahjul Balaghah menjelaskan filsafah ibadah. Berkenaan dengan puasa, beliau berkata; “Puasa itu untuk menguji keikhlasan seorang amba.”3 Demikian juga di hadis yang lain, Rasulallah saw. bersabda; “Sesungguhnya surga mempunyai sebuah pintu yang bernama Rayyân.Tidak seorang pun yang melewati pintu itu kecuali orang-orang yang berpuasa.” Almarhum Shaduq r.a. dalam Ma‘ânî Al-Akhbâr-nya ketika menjelaskan hadis tersebut menulis, “Latar belakang pemilihan nama Rayyân untuk salah satu pintu surga ini adalah kesulitan yang biasanya dihadapi oleh orang-orang yang melakukan puasa, yaitu rasa dahaga. Ketika orang-orang yang berpuasa memasuki surga dan melewati pintu ini, mereka akan meneguk air minum yang ada di dalamnya, sehingga setelah itu mereka tidak akan pernah merasa kehausan lagi untuk selamanya.”
Pengaruh Sosial Puasa Telah jelas dan bukan merupakan suatu topik yang tersembunyi bahwa puasa merupakan sebuah pelajaran persamaan dan persaudaraan di antara individu masyarakat. Dengan melakukan ajaran ini secara baik dan benar, orang-orang yang mampu sebagaimana para fakir miskin akan ikut merasakan bagaimana menikmati kelaparan dan juga dengan menghemat penggunaan makanan pada siang dan malam hari, mereka akan bisa bergegas untuk membantu para fakir miskin. Tentunya bisa saja terjadi, dengan hanya menceritakan keadaan orang-orang yang ditimpa kelaparan dan kekurangan ini, orang-orang yang mampu pun akan bisa memberikan atensinya kepada mereka. Tetapi, apabila problem ini dimanifestasikan dalam bentuk praktis, ini akan memberikan kesan yang lebih dalam lagi. Puasa dengan ciri penting seperti ini akan memberikan warna intuitif dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu, dalam hadis masyhur dari Imam Ash-Shadiq a.s. disebutkan bahwa Hisyam bin Hakam bertanya tentang sebab disyariatkannya puasa atas manusia. Beliau menjawab" “Puasa diwajibkan bagi manusia karena di dalamnya terdapat hak persamaan antara orang-orang fakir dengan oang-orang yang cukup. Hal ini dimaksudkan supaya orang-orang yang cukup bisa merasakan bagaimana rasa lapar, sehingga mereka mau memberikan haknya kepada yang fakir. Karena orang-orang yang cukup umumnya bisa mendapatkan apapun yang mereka inginkan, maka Allah swt. menginginkan adanya persamaan di antara hamba-hamba Nya, dan memberikan rasa lapar, lemas, kesakitan, dan kesulitan serta kepayahan kepada golongan yang cukup ini. Pada akhirnya di dalam kalbu-kalbu mereka akan terbentuk rasa iba dan belas kasih kepada orang-orang yang menderita kelaparan.” Sebenarnya, apabila negara-negara kaya di dunia ini melakukan puasa beberapa hari saja dalam setahun dan ikut merasakan rasa lapar, apakah mungkin kelaparan di dunia masih ada?
Pengaruh Puasa Terhadap Kesehatan dan Kesembuhan Dalam ilmu kedokteran masa kini dan masa lalu telah banyak bukti bahwa “imsâk” (menahan lapar) mempunyai pengaruh luar biasa yang tidak bisa dipungkiri dalam penyembuhan berbagai macam penyakit. Hanya sedikit para dokter yang tidak menyinggung kenyataan ini dalam tulisan-tulisannya. Kita mengetahui bahwa penyebab munculnya banyak penyakit adalah karena manusia berlebihan dalam menyantap beragam makanan, karena kelebihan bahan-bahan tidak bisa tercerna dengan baik di dalam pencernaannya, maka bahan ini akan muncul dalam bentuk lemak yang mengganggu bagian-bagian badan atau berubah menjadi lemak serta kelebihan gula yang tertinggal di dalam darah. Bahan-bahan lebih ini berada di sela-sela urat badan, yang pada hakikatnya merupakan lumpur berbau busuk yang sangat efektif sebagai lahan berkembang biaknya berbagai macam mikroba dan penyakit-penyakit infeksi. Dalam keadaan ini, jalan terbaik yang bisa dipergunakan untuk melawan penyakit tersebut adalah menghancurkan dan membersihkan lumpur barbau busuk tersebut dari badan dengan cara imsâk dan puasa. Puasa akan membakar sampah-sampah dan bahan-bahan lebih yang tidak dapat dicerna di dalam badan manusia. Pada dasarnya, dengan melakukan puasa akan terjadi pembaharuan di dalam tubuh manusia. Puasa, selain merupakan waktu istirahat bagi sistem pencernaan yang perlu mendapat perhatian, juga merupakan faktor berpengaruh besar dalam membantu kerja sistem pencernaan. Dan mengingat bahwa sistem ini merupakan sebuah sistem yang paling peka di antara keseluruhan sistem yang ada di dalam tubuh manusia, sementara di sepanjang tahun senantiasa melakukan pekerjaan, istirahat sejenak bagi sistem ini merupakan suatu hal yang lazim dan amat diperlukan. Jelaslah kiranya, bahwa orang-orang yang melakukan puasanya sesuai dengan aturan yang ada dalam Islam, tidak dibenarkan berlebih-lebihan dalam menyantap makanan ketika berbuka puasa dan sahur, agar mereka memperoleh kesehatan maksimal. Jika tidak demikian, maka bisa jadi hasil yang muncul akan berlawanan dengan yang seharusnya. Alex Sufrin, seorang ilmuwan Rusia, dalam bukunya menulis, “Penyembuhan dengan cara berpuasa mempunyai manfaat yang khas untuk penyakit amnesia, diabetes, mata, lemah pernafasan, penyakit jamur yang kronis, luka dalam dan luar, TBC, hydropsy, rematik, kulit yang terkelupas, penyakit kulit, ginjal, liver, dan penyakit-penyakit lainnya. Tetapi, penyembuhan dengan cara berpuasa ini tidak hanya bermanfaat untuk penyakit-penyakit yang tertera di atas, bahkan penyakit-penyakit yang berhubungan langsung dengan jasmani manusia yang bercampur dengan sel-sel badan, seperti kanker, shiphlish, TBC, serta tipes pun bisa disembuhkan dengan melakukan puasa” Dalam sebuah hadis masyhur, Rasulullah saw. bersabda, “Berpuasalah supaya Kamu menjadi sehat.” Dalam hadis terkenal lainnya tertulis, ”Usus besar merupakan sarang penyakit, dan menahan makan merupakan obat paling utama.”
|
Efek
Wednesday, January 7, 2009
Mengapa Kita harus Melakukan Shalat pada Waktu-waktu Tertentu?
Furu'uddin Mengapa Kita harus Melakukan Shalat pada Waktu-waktu Tertentu? Sebagian mengatakan bahwa kami bukannya mengingkari filsafat shalat atau menghilangkan perhatian terhadapnya. Kami tidak pula mengingkari adanya pengaruh-pengaruh konstruktif yang muncul dari pelaksanaan shalat. Tetapi, apa perlunya shalat itu harus dilakukan pada waktu-waktu tertentu? Apakah tidak lebih baik apabila kita memberikan kebebasan saja kepada masyarakat dalam melaksanakan shalat, sehingga mereka bisa melaksanakan kewajiban shalat ketika mereka mempunyai waktu dan kesiapan jiwa?
Jawab Pengalaman membuktikan bahwa apabila masalah-masalah pendidikan tidak didominasi oleh kedisiplinan, keketatan, dan syarat-syarat tertentu, maka sebagiannya akan dilalaikan. Hal ini akan menyebabkan goyahnya pondasi dan akar masalah tersebut. Oleh karena itu, masalah semacam ini harus diatur secara cermat di bawah pengawasan kedisiplinan dan dengan terpenuhinya syarat-syarat tertentu sehingga tidak akan ada alasan yang dibuat-buat, supaya seseorang bisa meninggalkan apa yang telah menjadi kewajibannya. Khusus pada pelaksanaan ibadah ini dalam waktu tertentu, dan khususnya yang dilaksanakan dengan cara berjamaah, mempunyai pengaruh dan keagungan yang sangat khas yang tidak bisa diingkari. Pada hakikatnya, dengan melakukan shalat secara berjamaah, ia akan menciptakan munculnya satu kelas besar untuk pembentukan dan perbaikan diri manusia.1
|
Mengenal Allah
Mengapa kita perlu membahas masalah ma'rifatullah?
Tidak akan ada gerak tanpa motivasi. Tentu saja upaya untuk mengetahui masalah asal-usul keberadaan semesta juga tidak dapat terlaksana tanpa motivasi dan dorongan. Para filsuf dan ilmuwan menyebutkan tiga faktor fundamental dalam rangka mengenal Tuhan. Faktor tersebut senada dengan apa disinggung secara jelas oleh al-Qur'an, antara lain:
a. Motivasi Akal
b. Motivasi Fitri
c. Motivasi Kasih
a. Motivasi Akal
Setiap manusia pecinta kesempurnaan. Kecintaan ini bersifat substansial dan merata. Hanya saja, setiap orang melihat kesempurnaannya pada suatu hal tertentu, lalu mengusahakannya. Ada sekelompok orang yang, alih-alih mengejar air, mengejar kepuasan dan kesempurnaan semu serta mengira bahwa itu adalah realitas. Motivasi ini kerap disebut sebagai "naluri mencari keuntungan dan menghindari kerugian". Lantaran naluri ini, manusia melihat dirinya memiliki tugas untuk menyikapi secara serius hubungannya dengan segala hal yang bertalian dengan nasibnya (dari perspektif untung dan rugi). Akan tetapi, menyebut kecintaan ini sebagai naluri (gharizah) bukanlah suatu hal yang mudah, karena naluri biasanya digunakan pada hal-hal yang memiliki efek tanpa intervensi pemikiran dalam pelbagai perbuatan manusia atau segala makhluk lainya. Atas alasan ini, dalam urusan dunia fauna, istilah ini juga sering dipakai.
Oleh karena itu, lebih baik kita menggunakan istilah "kecendrungan-kecendrungan transendental" yang digunakan oleh sebagian orang dalam masalah ini. Secara umum, cinta pada kesempurnaan dan cenderung kepada keuntungan spiritual dan material serta menghindar dari segala bentuk kerugian mengarahkan seseorang untuk meneliti kemungkinan (ihtimâl) diperoleh atau tidaknya. Yakni, semakin kemungkinan memperoleh keuntungan itu kuat, atau semakin terjadinya kerugian itu besar, penelitian atas masalah ini semakin penting. Adalah mustahil bagi seseorang yang memberikan kemungkinan tentang suatu perkara yang akan menentukan nasibnya, namun ia tidak memandang dirinya bertanggung jawab untuk meneliti perkara tersebut. Dalam kategori ini, iman kepada Allah dan pengkajian agama merupakan perkara yang niscaya. Sebab, teks-teks agama banyak memuat persoalan nasib dan persoalan baik-buruk perilaku manusia yang berhubungan erat dengan iman. Dalam menjelaskan masalah ini, sebagian orang membawakan beberapa perumpamaan. Misalnya, "Anggaplah kita melihat seseorang yang berada di persimpangan dua jalan. Kepada dirinya ia berkata, 'Tinggal di tempat ini sangat berbahaya, dan memilih jalan ini juga berbahaya, sedangkan jalan yang lain adalah jalan keselamatan.' Kemudian, ia menguraikan indikasi-indikasi dan bukti-bukti untuk keduanya. Tentu, ia perlu meneliti dua jalan di hadapannya itu. Mengabaikan kedua-duanya adalah bertentangan dengan akal sehat." Kaidah akal "menghindari kerugian yang mungkin ada" yang popular ini merupakan turunan dari motivasi akal. Kepada Nabi saw., Al-Qur'an menegaskan, "Katakanlah, 'Bagaimanakah pendapat Kamu seandainya Al-Qur'an ini berasal dari sisi Allah, kemudian Kamu mengingkarinya, siapakah yang lebih sesat dari orang yang selalu berada dalam penyimpangan yang jauh?'" (Qs. Fushshilat [41]: 52) Tentu saja, ayat ini tidak ditujukan kepada mereka yang enggan menggunakan argumentasi logis. Sejatinya, bila ayat ini ditujukan kepada orang-orang keras kepala, pongah, dan fanatik, maka ia menyatakan bahwa sekiranya Anda menolak mutlak akan kebenaran Al-Qur'an, Tauhid dan adanya kehidupan setelah kematian (ma'âd), niscaya tidak ada argumentasi yang dapat menafikan semua kebenaran ini. Dengan demikian, kemungkinan yang tersisa adalah bahwa ajakan Al-Qur'an dan perkara hari kebangkitan sungguh sebuah kebenaran. Pada titik ini, pikirkanlah nasib buruk yang kelak akan Anda hadapi akibat kesesatan dan penentangan tak berdasar yang Anda lakukan terhadap ajakan Ilahi ini. Pesan ayat ini serupa dengan apa yang disampaikan oleh para Imam Maksum a.s. dalam menghadapi orang-orang yang keras kepala pada kesempatan terakhir, sebagaimana hadis yang diriwayatkan dalam Al-Kâfî.
Marilah kita simak bersama! Banyak informasi yang telah disampaikan kepada Imam Ash-Shadiq a.s. tentang Ibn Abi Al-Aujah; seorang materialis dan ateis. Sampai akhirnya mereka bertemu di musim haji. Sebagian dari sahabat Imam berkata, "Rupanya Ibn Abi al-Aujah kini telah memeluk Islam". Imam berkata, "Ia kini lebih gelap dan lebih buta hatinya. Ia tidak akan pernah menjadi Muslim". Tatkala melihat Imam, ia berkata, "Salam Sejahtera, wahai Tuanku!" Imam menjawab dengan melontarkan pertanyaan kepadanya, "Untuk apa engkau datang kemari?" Ia menjawab, "Di samping sudah menjadi kebiasaan kami, juga tradisi lingkungan menuntut demikian, aku hendak menyaksikan perbuatan orang-orang ini yang biasa dilakukan oleh para jin; menggundul kepala dan melempar jumrah." Imam berkata, "Engkau masih saja tetap sesat dan keras kepala, Wahai Abdul Karim." Sebelum Ibn Abi al-Aujah menjawab, Imam segera menukas, "Di musim haji ini, bukanlah tempat untuk berdebat!" Lalu beliau menepikan aba'ah-nya seraya berkata, "jika benar seperti yang kau katakan bahwa Allah dan Hari Kiamat itu tidak ada -padahal tidaklah demikian- maka di samping kami adalah orang-orang selamat, engkau juga demikian. Namun, jika benar apa yang kami yakini -dan memang demikian kenyataannya- maka kami termasuk orang-orang selamat, sedangkan engkau pasti binasa." Ibn Abi al-Aujah menatap orang-orang yang menyertainya dan berkata, "Di lubuk hatiku yang paling dalam aku merasakan luka. Bawalah aku kembali!" Mereka membawanya pulang. Tidak lama setelah itu, ia meninggal.
b. Motivasi Kasih
Sebuah pepatah mengatakan, "Al-Insân 'abidul ihsân" (Manusia adalah hamba kebaikan). Dengan kandungan yang sama, Imam Ali a.s. pernah berkata, "Al-Insân 'abdul ihsân" (Manusia adalah hamba kebaikan). Pada hadis lain, ia juga menegaskan, "Bil Ihsân tumlakul qulûb" (Dengan perbuatan baik, hati akan tertaklukkan). Juga sebuah hadis yang dinukil dari Imam Ali a.s. mengatakan: "Wa afdhil man syi'ta takun amîrah(u)" (Lakukan kebaikan kepada siapa saja, niscaya engkau menjadi tuannya). Akar dari semua pesan itu dapat dijumpai pada hadis Rasulullah saw., bahwa "Sesungguhnya Allah Swt. telah menjadikan hati takluk kepada siapa saja yang berbuat baik kepadanya dan murka terhadap siapa saja yang berlaku buruk kepadanya." Kesimpulan dari semua itu ialah; barangsiapa berbuat khidmat atau kebaikan kepada orang lain, niscaya ia (penerima kebaikan itu) memiliki kecendrungan untuk mengenal pelaku kebaikan itu dan berterima kasih kepadanya. Dan semakin tinggi nilai sebuah kebaikan, semakin takluk pula hati penerima dan semakin tinggi keinginannya untuk mengenal pemberi kebaikan itu. Namun, harus diperhatikan bahwa konsep "bersyukur kepada pemberi kebaikan" terlebih dahulu diakui oleh rasa kasih, jauh sebelum dibenarkan oleh akal sehat. Kami ingin mengakhiri bagian ini dengan sebuah syair dari pujangga Arab ternama sebagai sebuah isyarat kecil;
Berbuat baiklah kepada insan,
Niscaya hati mereka takluk kepada tuan,
Demikianlah insan adalah budak ihsan.
Dalam hadis Imam al-Baqir a.s. dikatakan, "Pada suatu malam, Rasulullah saw. berada di rumah 'Aisyah. 'Aisyah bertanya kepada beliau, 'Mengapa Anda begitu bersusah-payah untuk beribadah padahal Allah swt. telah mengampuni segala dosa Anda, baik yang telah terjadi maupun yang akan datang?' Nabi saw. menjawab, 'Apakah tidak pantas aku menjadi hamba yang bersyukur?'"
b. Motivasi Fitrah
Maksud fitrah di sini ialah perasaan-perasaan dan pengetahuan jiwa yang tidak memerlukan penalaran rasional. Ketika kita melihat sebuah pemandangan yang indah, atau sekuntum bunga yang semerbak mewangi dan warnanya yang mempesona, kita merasakan ketertarikan dan gairah di dalam diri kita. Ketertarikan ini disebut sebagai kecintaan kepada keindahan. Kita tidak memerlukan penalaran untuk mencntai keindahan ini. Ya, cinta keindahan adalah satu dari sekian kecendrungan transendental jiwa manusia. Upaya mengarahkan diri kepada agama, khususnya mengenal Tuhan, tidak hanya merupakan salah satu perasaan esensial (dzati) dalam relung jiwa manusia, tetapi juga sebagai salah satu dorongan yang paling kuat dalam fitrah dan jiwa seluruh manusia. Berdasarkan dalil ini, tidak satu kaum atau bangsa pun, di masa lalu atau kini, yang tidak menjadikan pikiran dan ruh sebagai hakim atas jenis agama atau ideologi. Dan kenyataan ini menunjukkan kemendasaran perasaan mendalam ini.
Al-Qur'an, ketika menuturkan pengutusan nabi-nabi besar, seringkali menandaskan bahwa risalah utama mereka ialah memerangi syirik dan penyembahan berhala, bukan membuktikan keberadaan Tuhan, karena masalah terakhir ini memang telah tertanam di dalam lubuk hati setiap manusia. Dengan kata lain, manusia tidak menuntut masalah ini untuk menanamkannya pada setiap lubuk hati manusia. Akan tetapi, para nabi menuntut bagaimana menyirami pokok masalah itu dan membunuh hama dan belukar yang acapkali membuat kering dan layu pokok tersebut. Ungkapan "allâ ta'budû illallâh" atau "allâ ta'budû illâ iyyâh" (jangan sembah selain Allah) diterangkan dalam bentuk menegasikan berhala-berhala, bukan menetapkan keberadaan Tuhan. Pelbagai ucapan para nabi tentang realita ini telah diuraikan dengan jelas di dalam Al-Qur'an, di antaranya dakwah Nabi saw , Nabi Nuh , Nabi Yusuf , dan Nabi Hud .
Terlepas dari semua ini, jiwa kita memiliki perasaan-perasaan fitri lain yang sangat mendasar. Di antaranya, ketertarikan yang luar biasa kepada pengetahuan. Apakah mungkin kita menyaksikan sistem menakjubkan di alam semesta yang luas ini tanpa kita terdesak untuk mengenal pencipta sistemnya? Apakah mungkin seorang ilmuwan yang telah meluangkan waktu dan susah-payah selama puluhan tahun untuk mengenal kehidupan habitat semut, atau ilmuwan yang lainnya dengan cucuran keringat telah menghabiskan waktu selama puluhan tahun untuk meneliti habitat burung, pepohonan, atau ikan-ikan di laut, tanpa tersisa dorongan selain cinta terhadap pengetahuan yang terpatri dalam lubuk hatinya? Apakah mungkin para ilmuwan ini tidak ingin mengenal sumber sejati samudera tak-bertepi ini semenjak azal (primordial) hingga abad (eternal)? Ketertarikan kepada pengetahuan adalah motivasi yang mengajak kita kepada ma'rifatullâh (mengenal Tuhan). Alhasil, Akal kita menuntun kita kepada pengenalan kepada Tuhan ini, rasa kasih menarik kita kepada keinginan untuk itu, dan fitrah kitalah yang mendorong kita bergerak ke arahnya.[]
Apakah Tauhid Dzat, Tauhid Sifat, Tauhid Fi’il, dan Tauhid Ibadah itu?
Tauhid Dzat
Banyak orang berpendapat bahwa makna Tauhid Dzat (Pengesaan Tuhan dalam Dzat) adalah, bahwa Tuhan adalah Esa dan bukan dua. Ungkapan ini bukanlah sebuah ungkapan yang cermat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali a.s. Karena arti dari ungkapan ini adalah satu numerik. Artinya, dua bagi Tuhan dapat dikonsepsikan (tashawwur), akan tetapi tidak ada wujudnya di luar. Dan tentu saja ungkapan ini adalah ungkapan yang salah.
Ungkapan yang benar yaitu bahwa Tauhid Dzat berarti bahwa Tuhan itu satu dan dua bagi-Nya tidak dapat dikonsepsikan. Dengan kata lain, tidak ada yang serupa dan semisal dengan-Nya. Sesuatu tidak serupa dengan-Nya, dan juga Ia tidak serupa dengan sesuatu, sebab Dia adalah Satu Wujud Nir-Batas Nan Sempurna memiliki sifat seperti ini.
Dengan argumentasi yang sama, kita jumpai dalam hadis. Imam Ash-Shadiq a.s. pernah ditanya oleh salah seorang sahabat, “Apakah arti dari Allâhu Akbar?”
Beliau menjawab, “Allah adalah lebih Besar dari segala sesuatu.” Dan beliau melanjutkan, “Apakah ada sesuatu yang lebih besar dari-Nya?”. Lalu sahabat itu bertanya lagi, “Lalu apa tafsir Allâhu Akbar itu?”
Beliau menjawab, “Allah adalah lebih Besar dari penyifatan.”[1]
Tauhid Sifat
Ketika kita mengatakan bahwa satu cabang tauhid adalah Tauhid Sifat (pengesaan Tuhan dalam sifat), maksudnya ialah; sebagaimana Dzat-Nya adalah azali (tidak bermula) dan abadi (tidak berakhir), pun sifat-Nya,seperti ilmu, kuasa, dan lain sebagainya azali dan abadi. Ini dari satu sisi.
Dari sisi lain, sifat ini bukanlah tambahan (zâ’id) dari luar Dzat-Nya, tidak memiliki sisi aksidental ('âridh) dan teraksiden (ma'rûdh), melainkan sifat ini adalah Dzat-Nya sendiri.
Dan dari sisi ketiga, sifat-Nya tidak terpisah dengan sifat yang lainnya. Maksudnya, ilmu dan kuasa-Nya adalah satu, dan keduanya adalah Dzat-Nya itu sendiri.
Penjelasan
Bilamana kita merujuk kepada diri kita sendiri, kita melihat pada mulanya kita tidak memiliki satu pun sifat-sifat yang melekat pada diri kita. Tatkala kita terlahir ke dunia ini, kita tidak memilki ilmu, juga tidak memiliki kekuasaan. Secara gradual, sifat-sifat ini terbina dalam diri kita. Dengan dasar ini, sifat-sifat yang kemudian muncul ini adalah perkara-perkara "lain" dari luar diri (dzat) kita. Oleh karena itu, mungkin saja suatu hari kekuatan, ilmu dan pengetahuan yang kita miliki akan sirna. Dan juga dengan jelas kita melihat, antara ilmu dan kekuasaan yang kita miliki terpisah satu dengan yang lainnya. Kekuasaan berada pada raga kita dan ilmu berada pada ruh kita.
Akan tetapi, Tuhan sama sekali tidak dapat dikonsepsikan seperti di atas tadi. Seluruh Dzat-Nya adalah ilmu, dan seluruh Dzat-Nya merupakan kuasa. Dan segala sesuatu yang ada pada-Nya adalah satu. Tentu saja kita memastikan bahwa makna-makna ini tidak berada pada diri kita. Sifat-sifat dengan makna seperti ini tidak akrab dan tampak ruwet. Mak tidak ada jalan bagi kita selain menggunakan kekuatan logika dan filsafat, serta penalaran cermat.
Tauhid Fi’il
Artinya, setiap wujud, setiap gerak, setiap perbuatan di alam semesta ini kembali kepada Dzat Kudus Ilahi. Tauhid Fi’il berarti pengesaan Tuhan dalam perbuatan. Dzat Kudus-Nya adalah sebab-musabab, sebab seluruh akibat. Bahkan, perbuatan yang kita kerjakan —dalam satu makna— berasal dari-Nya. Ia yang memberikan kekuatan (qudrah), kebebasan (ikhtiyâr), dan kehendak (irâdah) kepada kita. Padahal —dengan demikian— kita adalah pelaku dari perbuatan-perbuatan kita sendiri. Dan kita bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan yang kita lakukan.
Dari satu perspektif, Tuhan adalah pelaku perbuatan kita sendiri. Lantaran segala sesuatu yang kita miliki berasal dari-Nya. Tiada yang dapat memberikan pengaruh di dalam alam wujud ini kecuali Allah!
Tauhid Ibadah
Maksudnya adalah Allah swt. satu-satunya Dzat yang harus disembah, dan selain-Nya tidak pantas disembah. Karena ibadah khusus bagi seseorang yang sempurna mutlak (kamâl mutlaq) dan mutlak sempurna (mutlaq kamâl). Dzat yang tidak memerlukan segala sesuatu, pemberi seluruh anugerah, pencipta seluruh wujud. Dan sifat ini tidak akan dijumpai selain pada Dzat Nan Kudus.
Tujuan utama ibadah adalah menemukan jalan untuk mendekatkan diri kepada derajat kesempurnaan mutlak dan mutlak sempurna, Wujud Nir-Batas itu. Dan refleksi pancaran dari sifat sempurna dan indah-Nya bertakhta dalam relung jiwa yang merupakan hasil penjagaan jarak dari hawa nafsu, serta menggayutkan diri kepada membina dan menghias diri (tahdzib nafs).
Tujuan ini hanya dapat tercapai dengan beribadah kepada Allah swt. yang merupakan Pemilik kesempurnaan mutlak. [2]
[1].Ma’ânî al-Akbâr, Syaikh Shaduq, hal. 11, hadis ke-1.
[2].Tafsir Nemûneh, jilid 27, hal. 446.
Monday, December 8, 2008
Religion is Advice
Religion is Advice | ![]() | ![]() |
|
Only Registered Angoota who can provide comments.
Please login or register first.
Powered by AkoComment Tweaked Special Edition v.1.4.6
Posted by
Vhocket
Tanggal
12/08/2008 10:11:00 AM
No comments:
Email ThisBlogThis!Share to XShare to FacebookShare to Pinterest
Posted by
Vhocket
Tanggal
12/08/2008 10:00:00 AM
No comments:
Email ThisBlogThis!Share to XShare to FacebookShare to Pinterest
Hidup Adalah Perjuangan berhenti berjuang sama dengan berhenti hidup
Posted by
Vhocket
Tanggal
12/06/2008 03:40:00 PM
No comments:
Email ThisBlogThis!Share to XShare to FacebookShare to Pinterest
Newer Posts
Home
Subscribe to:
Posts (Atom)
AkoComment © Copyright 2004 by Arthur Konze - www.mamboportal.com
All right reserved
Riwayat Guru Sekumpul
Sedikit Tentang Guru Sekumpul
Oleh Aman FatHa
Thu, 11 Aug 2005 00:34:30 -0700
Syaikhuna al-Alim al-Allamah Muhammad Zaini bin al-Arif billah Abdul Ghani bin
Abdul Manaf bin Muhammad Seman bin Muhammad Sa’ad bin Abdullah bin al-Mufti
Muhammad Khalid bin al-Alim al-Allamah al-Khalifah Hasanuddin bin Syaikh
Muhammad Arsyad al-Banjari.
Alimul Allamah Asy Syekh Muhammad Zaini Ghani yang selagi kecil dipanggil
dengan nama Qusyairi adalah anak dari perkawinan Abdul Ghani bin H Abdul Manaf
dengan Hj Masliah binti H Mulya. Muhammad Zaini Ghani merupakan anak pertama,
sedangkan adiknya bernama H Rahmah.
Beliau dilahirkan di Tunggul Irang, Dalam Pagar, Martapura pada malam Rabu
tanggal 27 Muharram 1361 H bertepatan dengan tanggal 11 Februari 1942 M.
Diceriterakan oleh Abu Daudi, Asy Syekh Muhammad Ghani sejak kecil selalu
berada di samping ayah dan neneknya yang bernama Salbiyah. Kedua orang ini yang
memelihara Qusyairi kecil. Sejak kecil keduanya menanamkan kedisiplinan dalam
pendidikan. Keduanya juga menanamkan pendidikan tauhid dan akhlak serta belajar
membaca Alquran. Karena itulah, Abu Daudi meyakini, guru pertama dari Alimul
Allamah Asy Syekh Muhammad Zaini Ghani adalah ayah dan neneknya sendiri.
Semenjak kecil beliau sudah digembleng orang tua untuk mengabdi kepada ilmu
pengetahuan dan ditanamkan perasaan cinta kasih dan hormat kepada para ulama.
Guru Sekumpul sewaktu kecil sering menunggu al-Alim al-Fadhil Syaikh Zainal
Ilmi yang ingin ke Banjarmasin hanya semata-mata untuk bersalaman dan mencium
tangannya.
Pada tahun 1949 saat berusia 7 tahun, beliau mengikuti pendidikan “formal”
masuk ke Madrasah Ibtidaiyah Darussalam, Martapura. Guru-guru beliau pada masa
ini antara lain, Guru Abdul Muiz, Guru Sulaiman, Guru Muhammad Zein, Guru H.
Abdul Hamid Husain, Guru H. Rafi’i, Guru Syahran, Guru Husin Dahlan, Guru H.
Salman Yusuf. Kemudian tahun 1955 pada usia 13 tahun, beliau melanjutkan
pendidikan ke Madrasah Tsanawiyah Darussalam, Martapura. Pada masa ini beliau
sudah belajar dengan Guru-guru besar yang spesialist dalam bidang keilmuan
seperti al-Alim al-Fadhil Sya’rani Arif, al-Alim al-Fadhil Husain Qadri,
al-Alim al-Fadhil Salim Ma’ruf, al-Alim al-Allamah Syaikh Seman Mulya, al-Alim
Syaikh Salman Jalil, al-Alim al-Fadhil Sya’rani Arif, al-Alim al-Fadhil
al-Hafizh Syaikh Nashrun Thahir, dan KH. Aini Kandangan. Tiga yang terakhir
merupakan guru beliau yang secara khusus untuk pendalaman Ilmu Tajwid.
Kalau kita cermati deretan guru-guru beliau pada saat ini adalah tokoh-tokoh
besar yang sudah tidak diragukan lagi tingkat keilmuannya. Dari yang saya kenal
saja secara khusus adalah KH. Husin Qadri lewat buku-buku beliau seperti
Senjata Mukmin yang banyak dicetak di Kal-Sel. Sedangkan al-Alim al-Allamah
Seman Mulya, dan al-Alim Syaikh Salman Jalil, sempat kita temui ketika masih
hidup. Syaikh Seman Mulya adalah pamanda beliau yang secara intensif mendidik
beliau baik ketika berada di sekolah maupun di luar sekolah. Dan ketika
mendidik Guru Sekumpul, Guru Seman hampir tidak pernah mengajarkan langsung
bidang-bidang keilmuan itu kepada beliau kecuali di sekolahan. Tapi Guru Seman
langsung mengajak dan mengantarkan beliau mendatangi tokoh-tokoh yang terkenal
dengan sepesialisasinya masing-masing baik di daerah Kal-Sel (Kalimantan)
maupun di Jawa untuk belajar. Seperti misalnya ketika ingin mendalami Hadits
dan Tafsir, guru Seman mengajak (mengantarkan) beliau kepada al-Alim al-Allamah
Syaikh Anang Sya’rani yang terkenal sebagai muhaddits dan ahli tafsir. Menurut
Guru Sekumpul sendiri, di kemudian hari ternyata Guru Tuha Seman Mulya adalah
pakar di semua bidang keilmuan Islam itu. Tapi karena kerendahan hati dan
tawadhu tidak menampakkannya ke depan khalayak.
Sedangkan al-Alim al-Allamah Salman Jalil adalah pakar ilmu falak dan ilmu
faraidh. (Pada masa itu, hanya ada dua orang pakar ilmu falak yang diakui
ketinggian dan kedalamannya yaitu beliau dan al-marhum KH. Hanafiah Gobet).
Selain itu, Salman Jalil juga adalah Qhadi Qudhat Kalimantan dan salah seorang
tokoh pendiri IAIN Antasari Banjarmasin. Beliau ini pada masa tuanya kembali
berguru kepada Guru Sekumpul sendiri. Peristiwa ini yang beliau contohkan
kepada kami agar jangan sombong, dan lihatlah betapa seorang guru yang alim
besar tidak pernah sombong di hadapan kebesaran ilmu pengetahuan, meski yang
sekarang sedang menyampaikannya adalah muridnya sendiri.
Selain itu, di antara guru-guru beliau lagi selanjutnya adalah Syaikh Syarwani
Abdan (Bangil) dan al-Alim al-Allamah al-Syaikh al-Sayyid Muhammad Amin Kutbi.
Kedua tokoh ini biasa disebut Guru Khusus beliau, atau meminjam perkataan
beliau sendiri adalah Guru Suluk (Tarbiyah al-Shufiyah). Dari beberapa guru
beliau lagi adalah Kyai Falak (Bogor), Syaikh Yasin bin Isa Padang (Makkah),
Syaikh Hasan Masyath, Syaikh Ismail al-Yamani, dan Syaikh Abdul Kadir al-Bar.
Sedangkan guru pertama secara ruhani adalah al-Alim al-Allamah Ali Junaidi
(Berau) bin al-Alim al-Fadhil Qadhi Muhammad Amin bin al-Alim al-Allamah Mufti
Jamaludin bin Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, dan al -Alim al-Allamah
Muhammad Syarwani Abdan Bangil. (Selain ini, masih banyak tokoh lagi di mana
sebagiannya sempat saya catat dan sebagian lagi tidak sempat karena waktu itu
beliau menyebutkannya dengan sangat cepat. Sempat saya hitung dalam jumblah
kira-kira, guru beliau ada sekitar 179 orang sepesialis bidang keilmuan Islam
terdiri dari wilayah Kalimantan sendiri, dari Jawa-Madura, dan dari Makkah).
Gemblengan ayah dan bimbingan intensif pamanda beliau semenjak kecil
betul-betul tertanam. Semenjak kecil beliau sudah menunjukkan sifat mulia;
penyabar, ridha, pemurah, dan kasih sayang terhadap siapa saja. Kasih sayang
yang ditanamkan dan juga ditunjukkan oleh ayahnda beliau sendiri. Seperti
misalnya suatu ketika hujan turun deras sedangkan rumah beliau sekeluarga sudah
sangat tua dan reot. Sehingga air hujan merembes masuk dari atap-atap rumah.
Pada waktu itu, ayah beliau menelungkupi beliau untuk melindungi tubuhnya dari
hujan dan rela membiarkan dirinya sendiri tersiram hujan.
Abdul Ghani bin Abdul Manaf, ayah dari Syekh Muhammad Ghani juga adalah seorang
pemuda yang shalih dan sabar dalam menghadapi segala situasi dan sangat kuat
dengan menyembunyikan derita dan cobaan. Tidak pernah mengeluh kepada siapapun.
Cerita duka dan kesusahan sekaligus juga merupakan intisari kesabaran, dorongan
untuk terus berusaha yang halal, menjaga hak orang lain, jangan mubazir, bahkan
sistem memenej usaha dagang beliau sampaikan kepada kami lewat cerita-cerita
itu.
Beberapa cerita yang masih saya ingat. Sewaktu kecil mereka sekeluarga yang
terdiri dari empat orang hanya makan satu nasi bungkus dengan lauk satu biji
telur, dibagi empat. Tak pernah satu kalipun di antara mereka yang mengeluh.
Pada masa-masa itu juga, ayahnda beliau membuka kedai minuman. Setiap kali ada
sisa teh, ayahnda beliau selalu meminta izin kepada pembeli untuk diberikan
kepada beliau. Sehingga kemudian sisa-sisa minuman itu dikumpulkan dan
diberikan untuk keluarga. Adapun sistem mengatur usaha dagang, beliau sampaikan
bahwa setiap keuntungan dagang itu mereka bagi menjadi tiga. Sepertiga untuk
menghidupi kebutuhan keluarga, sepertiga untuk menambah modal usaha, dan
sepertiga untuk disumbangkan. Salah seorang ustazd kami pernah mengomentari hal
ini, “bagaimana tidak berkah hidupnya kalau seperti itu.” Pernah sewaktu kecil
beliau bermain-main dengan membuat sendiri mainan dari gadang pisang. Kemudian
sang ayah keluar rumah dan melihatnya. Dengan ramah sang ayah menegur beliau,
“Nak, sayangnya mainanmu itu. Padahal bisa dibuat sayur.” Beliau langsung
berhenti dan menyerahkannya kepada sang ayah.
Beberapa Catatan lain berupa beberapa kelebihan dan keanehan:
Beliau sudah hapal al-Qur`an semenjak berusia 7 tahun. Kemudian hapal tafsir
Jalalain pada usia 9 tahun. Semenjak kecil, pergaulan beliau betul-betul
dijaga. Kemanapun bepergian selalu ditemani (saya lupa nama sepupu beliau yang
ditugaskan oleh Syaikh Seman Mulya untuk menemani beliau). Pernah suatu ketika
beliau ingin bermain-main ke pasar seperti layaknya anak sebayanya semasa
kecil. Saat memasuki gerbang pasar, tiba-tiba muncul pamanda beliau Syaikh
Seman Mulya di hadapan beliau dan memerintahkan untuk pulang. Orang-orang tidak
ada yang melihat Syaikh, begitu juga sepupu yang menjadi “bodyguard’ beliau.
Beliaupun langsung pulang ke rumah.
Pada usia 9 tahun pas malam jum’at beliau bermimpi melihat sebuah kapal besar
turun dari langit. Di depan pintu kapal berdiri seorang penjaga dengan jubah
putih dan di gaun pintu masuk kapal tertulis “Sapinah al-Auliya”. Beliau ingin
masuk, tapi dihalau oleh penjaga hingga tersungkur. Beliaupun terbangun. Pada
malam jum’at berikutnya, beliau kembali bermimpi hal serupa. Dan pada malam
jum’at ketiga, beliau kembali bermimpi serupa. Tapi kali ini beliau
dipersilahkan masuk dan disambut oleh salah seorang syaikh. Ketika sudah masuk,
beliau melihat masih banyak kursi yang kosong.
Ketika beliau merantau ke tanah Jawa untuk mencari ilmu, tak disangka tak
dikira orang yang pertama kali menyambut beliau dan menjadi guru adalah orang
yang menyambut beliau dalam mimpi tersebut. (Sayang saya lupa nama syaikh
tersebut, semoga saja beberapa kawan dan anggota jamaah yang juga hadir sewaktu
pengajian umum di PP. Al-Falah, Banjarbaru, Kal-Sel saat itu ada yang bisa
mengingatkan saya nama syaikh tersebut).
Salah satu pesan beliau tentang karamah adalah agar kita jangan sampai tertipu
dengan segala keanehan dan keunikan. Karena bagaimanapun juga karamah adalah
anugrah, murni pemberian, bukan suatu keahlian atau skill. Karena itu jangan
pernah berpikir atau berniat untuk mendapatkan karamah dengan melakukan ibadah
atau wiridan-wiridan. Dan karamah yang paling mulia dan tinggi nilainya adalah
istiqamah di jalan Allah itu sendiri. Kalau ada orang mengaku sendiri punya
karamah tapi shalatnya tidak karuan, maka itu bukan karamah, tapi “bakarmi”
(orang yang keluar sesuatu dari duburnya).
Selain sebagai ulama yang ramah dan kasih sayang kepada setiap orang, beliau
juga orang yang tegas dan tidak segan-segan kepada penguasa apabila menyimpang.
Karena itu, beliau menolak undangan Soeharto untuk mengikuti acara halal bil
halal di Jakarta. Begitu juga dalam pengajian-pengajian, tidak kurang-kurangnya
beliau menyampaikan kritikan dan teguran kepada penguasa baik Gubernur, Bupati
atau jajaran lainnya dalam suatu masalah yang beliau anggap menyimpang atau
tidak tepat.
Kemarin, Rabu 10 Agustus 2005 jam 05.10 pagi beliau telah berpulang ke
rahmatullah pada usia 63 tahun. Dulu almarhum Guru Ayan (Rantau), salah seorang
syaikh yang dikenal kasyaf pernah menyampaikan bahwa kehidupan Syaikh M. Zaini
Ghani itu seperti Nabi. Bahkan usia beliau pun sama seperti usia Nabi. Salah
seorang murid dekat Guru Ayan, yaitu M. Yunus (kaka kelas saya di PP. Alfalah)
pernah mencoba melihat-lihat ciri-ciri hissiyahnya. Salah satu yang menjadi
sorotannya adalah kepindahan Beliau dari Keraton Martapura ke wilayah Sekumpul
seperti Rasulullah s.a.w. hijrah (dan beberapa hal lainnya). Dan sekarang,
ucapan tersebut terbukti. Kebetulan? Wallahu A’lam.
Beberapa karamah dan riwayat hidup beliau yang lain bisa dibaca dari
pemberitaan dan tulisan-tulisan di http://www.indomedia.com/bpost dan di
www.radarbanjar.com. Apa yang saya tulis di sini sebagian besar langsung saya
dapatkan sendiri dari penuturan beliau dan apa yang saya lihat secara langsung.
Rahimakallah ya Syaikh.
[Non-text portions of this message have been removed]
———————— Yahoo! Groups Sponsor ——————–~–>
Make
a difference. Find and fund world-changing projects at GlobalGiving.
——————————————————————–~->
______________________________________________________________________
http://www.numesir.org/ untuk informasi tentang Cabang Istimewa NU Mesir dan
KMNU2000, atau info-info seputar Cairo dan Timur Tengah.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Saturday, December 6, 2008
Hidup adalah perjuangan