ISLAM SEBAGAI AGAMA, ISLAM SEBAGAI PRODUK BUDAYA, DAN ISLAM
SEBAGAI PENGETAHUAN ILMIAH
Oleh Muhammad Rasyidi, M.Pd.I
A.
Pendahuluan
Sebagai agama
terakhir, Islam diketahui memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan
agama-agama yang datang sebelumnya. Melalui berbagai literatur yang berbicara
tentang Islam dapat dijumpai uraian mengenai pengertian agama Islam, sumber dan
ruang lingkup ajarannya serta cara untuk memahaminya. Dalam upaya memahami
ajaran Islam, berbagai aspek yang berkenaan dengan Islam itu perlu dikaji
secara seksama, sehingga dapat dihasilkan pemahaman Islam yang komprehensif.
Hal ini penting dilakukan, karena kualitas pemahaman keislaman seseorang akan
mempengaruhi pola pikir, sikap, dan tindak keislaman yang bersangkutan.
Islam adalah wahyu
yang diturunkan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman manusia
untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Kita tau bahwa itu terdiri dari wahyu yang
berbentuk Al-Qur’an, serta wahyu yang berbentuk hadis, sunnah Nabi Muhammad
SAW. Wahyu juga memberi sumbangan intelektual yang tidak terjangkau oleh
kekuatan rasional dan empiris, sehingga wahyu dapat dijadikan sebagai rujukan
pencarian suatu ilmu pengetahuan.
Dalam
Islam pendidikan juga tidak terlepas dari kehidupan
baik itu masa lampau sampai sekarang. Dalam Islam
pendidikan itu sangat penting karena Allah Swt. akan mengangkat derajat
seseorang jika ia menuntut ilmu. Oleh karena
itu Islam sangat berhubungan erat dengan ilmu pengetahuan. Masyarakat indonesia
khususnya yang beragama Islam sudah banyak yang mengetahui dan mengerti bahwa
betapa pentingnya ilmu pengetahuan.
Disamping itu,
agama juga merupakan kebudayaan. Hal tersebut menimbulkan berbagai perdebatan,
suatu pihak menyatakan bahwa agama bukan kebudayaan, sementara pihak yang
lainnya menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan. Kelompok orang yang tidak
setuju dengan pandangan bahwa agama itu kebudayaan adalah pemikiran bahwa agama
itu bukan berasal dari manusia, tetapi datang dari Tuhan, dan sesuatu yang
datang dari Tuhan tentu tidak dapat disebut kebudayaan. Kemudian, sementara orang yang menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan,
karena praktik agama tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan.
Memang benar
bahwa wahyu yang menjadi sandaran fundamental agama itu datang dari Tuhan, akan
tetapi realisasinya dalam kehidupan adalah persoalan manusia, dan sepenuhnya
tergantung pada kapasitas diri manusia sendiri, baik dalam hal kesanggupan
“pemikiran intelektual” untuk memahaminya, maupun kesanggupan dirinya
untuk menjalankannya dalam kehidupan. Maka menurut pandangan ini realisasi dan
aktualisasi agama sesungguhnya telah memasuki wilayah kebudayaan, sehingga
“agama mau tidak mau menjadi soal kebudayaan”
B.
Islam Sebagai Agama Wahyu
Ada dua sisi yang digunakan untuk memahami pengertian agama Islam, yaitu
sisi kebahasaan dan sisi peristilahan. Kedua sisi pengertian tentang Islam ini dapat dijelaskan sebagai berikut.[1]
Kata Islam dari segi kebahasaan mengandung arti patuh tunduk, taat, dan
berserah diri kepada Tuhan dalam upaya mencari keselamatan dan kebahagiaan
hidup, baik dunia maupun akhirat. Hal demikian dilakukan atas kesadaran dan
kemauan diri sendiri, bukan paksaan atau berpura-pura, melainkan sebagai
panggilan dari fitrah dirinya sebagai makhluk yang sejak dalam kandungan sudah
menyatakan patuh dan tunduk kepada Tuhan.
Dengan demikian, secara antropologis perkataan Islam sudah menggambarkan
kodrat manusia sebagai makhluk yang tunduk dan patuh kepada Tuhan. Keadaan ini
membawa pada timbulnya pemahaman terhadap orang yang tidak patuh dan tunduk
sebagai wujud dari penolakan terhadap fitrah dirinya sendiri.[2]
Adapun pengertian Islam dari secara istilah adalah nama bagi suatu agama
yang berasal dari Allah Swt. Nama Islam demikian itu memiliki perbedaan yang
luar biasa dengan nama agama lainnya. Kata Islam tidak mempunyai hubungan
dengan orang tertentu atau dari golongan manusia atau dari suatu negeri. Kata
Islam adalah nama yang diberikan oleh Tuhan sendiri.[3]
Selanjutnya, agama dari segi sumbernya bisa dikelompokkan menjadi agama
budaya dan agama samawi. Agama budaya adalah agama yang
bersumber dari akal atau pemikiran manusia. Sedangkan agama samawi sering
disebut juga agama yang berasal dari wahyu Allah Swt. kepada Rasul-Nya untuk
disampaikan kepada umat manusia.
Pendapat lain mengatakan bahwa yang termasuk dalam
kelompok agama wahyu ini adalah agama Yahudi, Nasrani dan Islam.[4]
Perbedaan pendapat itu terjadi karena dilihat dari segi misi ajarannya, Islam
adalah agama sepanjang sejarah manusia. Agama dari seluruh Nabi dan Rasul yang
telah diutus oleh Allah Swt. pada bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok manusia.
Misi agama yang mereka anut adalah Islam, tetapi agama yang mereka bawa
nama-namanya dikaitkan dengan nama daerah atau nama penduduk yang menganut
agama tersebut. Agama yang dibawa oleh Nabi Isa as. misalnya, sungguhpun
misinya penyerahan diri kepada Allah Swt. (Islam), tetapi agama tersebut adalah
Kristen, yaitu nama yang dinisbahkan kepada Yesus Kristus sebagai agama pembawa
tersebut, atau agama Nasrani, yaitu nama yang dinisbahkan kepada tempat
kelahiran Nabi Isa, yaitu Nazaret.[5]
Namun dalam kenyataan yang sebenarnya Islam adalah satu-satunya agama samawi
dan sebagai agama wahyu, dapat dilihat melalui wahyu Allah Swt. dalam ayat-ayat
Al-Qur’an diantaranya:
“Ketika Tuhannya berfirman
kepadanya: “Islam-lah wahai dikau Ibrahim,” Ibrahim menjawab: “Aku telah
ber-Islam kepada Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Baqarah: 131).
“Nabi Nuh berkata: “Dan aku
diperintahkan (oleh Allah Swt) untuk menjadi seorang dari golongan muslimin.” (QS. Yunus: 72).
“Nabi Musa berkata kepada kaumnya:
“Ya kaumku, bila kalian beriman kepada Allah Swt., bertawakal
dirilah kepada-Nya jika benar-benar kalian muslimin.” (QS. Yunus: 84).
“Dia (Allah Swt) telah menamai
kamu semua sebagai orang-orang muslim dari dahulu.” (QS. Al-Hajj: 78).
Dari ayat-ayat Al-Qur’an tersebut dapat disimpulkan bahwa Islam adalah satu-satunya agama samawi (wahyu)
yang bersumber dari Allah Swt. dzat yang paling benar dan
mengetahui kebenaran. Islam sebagai agama wahyu telah diturunkan oleh Allah Swt. kepada umat-Nya
melalui Nabi dan Rasul-Nya, dari sejak Nabi Adam sampai nabi terakhir kita, yaitu Nabi Muhammad
saw.[6]
C.
Ciri-ciri Islam Sebagai
Agama Wahyu
Islam sebagai agama wahyu memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Berkembang secara revolusi, diwahyukan Tuhan.
Jika agama-agama lain namanya ada
setelah pembawa ajarannya telah tiada, maka nama Islam sudah ada sejak awal
kelahirannya. Allah Swt. sendiri yang memberikan nama untuk agama Islam ini, seperti
dalam QS. Ali Imran ayat 19 yang artinya:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah Swt hanyalah
Islam.”
Ini merupakan salah satu
keistimewaan dan sekaligus tanda bahwa Islam adalah satu-satunya agama wahyu
yang diridhai Allah Swt untuk umat-Nya. Mengenai Islam berkembang secara revolusioner,
dapat dilihat dari segi pembawa ajaran Islam (Nabi dan Rasul). Islam merupakan
agama semua Nabi dan Rasul beserta pengikut-pengikut mereka.
2.
Disampaikan melalui utusan Tuhan.
Telah jelas
bahwa agama Islam itu adalah agama wahyu samawi yang disampaikan kepada umat
manusia dari Allah Swt. melalui para Nabi dan Rasul sepanjang sejarah Nabi Adam
as. hingga Nabi Muhammad saw.
3.
Ajaran ketuhanannya Monoteisme Mutlak (tauhid).
Islam mengajarkan
kepada para pengikutnya bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali
Allah Swt., hal ini tertuang dalam lafadz syahadat yang merupakan salah satu
rukun Islam.
4.
Memiliki kitab suci (berupa wahyu) yang bersih dari campur tangan
manusia.
Kitab suci umat Islam adalah Al-Qur’an yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. seperti yang telah dijelaskan Allah Swt. dalam
firman-Nya QS. An-Najm ayat 3-4 : “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu
(Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” Ini menjadi bukti bahwa kitab suci (Al-Qur’an)
diturunkan bersih dari campur tangan manusia, termasuk nabi yang menerimanya
sendiri. Jadi wahyu (kitab suci) ini benar-benar murni bersumber dari Allah Swt.
5.
Ajaran prinsipnya tetap (ajaran tauhid dari waktu ke waktu).
Segala macam bentuk ajaran dalam
Islam merupakan bentuk konsekuensi tauhid. Seperti masalah ibadah, yang
merupakan realisasi dari ketauhidan seseorang. Orang yang menyatakan bahwa
Tuhan yang menciptakan dan memelihara alam semesta adalah Allah Swt.,
konsekuensinya ia harus beibadah hanya kepada Allah Swt.[7]
D.
Penurunan Al-Quran Sebagai
Wahyu
Allah Swt turunkan dan tuangkan ajaran-Nya ke dalam bahasa Arab, karena
orang yang Allah Swt tugaskan untuk menyampaikan ajaran-Nya itu kepada manusia
disekitarnya adalah seorang yang dilahirkan dan dibesarkan dalam masyarakat
yang pandai berbahasa Arab, sehingga bahasa Arablah yang paling ia pahami.
Sebagaimana firman Allah Swt yang artinya:
Dan Jikalau
Kami jadikan Al-Qur’an itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah
mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?” Apakah (patut
Al-Qur’an) dalam bahasa asing sedang (Rasul adalah orang) Arab? (QS Fushshilat: 4).
Oleh karena itu, Nabi Muhammad Saw. seorang Arab dan masyarakat yang dihadapinya
adalah berbahasa Arab, maka Allah pergunakan bahasa Arab itu menjadi wadah bagi
isi wahyu-Nya, agar isi wahyu itu dapat mudah dimengerti. Sebagaimana firman
Allah Swt yang artinya:
Sesungguhnya
Kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya) (QS Ad Dukhaan: 58).
dan
Sebenarnya
tujuan Kami membuat Al-Qur’an berbahasa Arab adalah agar kamu dapat mengerti (QS Az Zukhruf: 3).
Untuk keperluan pemahaman yang betul-betul jelas, maka bukan hanya bahasa
Arab dipergunakan menjadi wadah ajaran Allah Swt, tetapi juga Allah Swt turunkan
atau sampaikan ajaran-Nya itu sedikit demi sedikit, sebagaimana firman Allah
Swt yang artinya:
Berkatalah
orang-orang yang kafir: “Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya
sekali turun saja?; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami
membacanya secara tartil (teratur dan benar) (QS Al-Furqaan: 32).
dan
Apabila Kami
telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya
atas tanggungan kamilah penjelasannya (QS Al-Qiyaamah: 18-19)
Demikianlah metode Allah Swt mengajarkan Al-Qur’an kepada Rasul. Pertama,
Rasul disuruh dia memerhatikan pembacaannya. Kedua, Rasul disuruh
meniru bacaannya. Ketiga, setelah selesai penyampaian lalu Allah
jelaskan isi pengertian yang terkandung di dalam apa yang disampaikan itu.
Apa yang didapat oleh Rasul itu adalah bacaan, pengertian, dan metode,
Allah Swt perintahkan agar Rasul berlakukan pula terhadap orang-orang
disekitarnya dan sebagaimana firman Allah Swt yang artinya:
1.
Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar
kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian
demi bagian (QS Al Israa’: 106).
2.
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab, dan Kami turunkan
kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (QS An-Nahl: 44).
3.
Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah
dengan tenang agar kamu mendapat rahmat (QS Al-A’raaf: 204).
Al-Qur’an disampaikan kepada Rasul dengan perantara ruh suci atau ruh
kepercayaan yaitu malaikat Jibril, sebagaimana firman Allah Swt yang artinya:
1.
Dan Sesungguhnya Al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan
semesta alam. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi
peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas (QS Asy-Syu’araa’: 192-195).
2.
Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al-Qur’an itu dari Tuhanmu dengan
benar (QS An-Nahl: 102).
3.
Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya
(Al-Qur’an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah Swt (QS Al-Baqarah: 97).
4.
Dan orang-orang mukmin dan beramal soleh serta beriman kepada apa
yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang haq dari Tuhan mereka (QS Muhammad: 2).
Wahyu diberikan kepada manusia dalam tiga bentuk, sebagaimana firman Allah
yang artinya:
Dan tidak mungkin
bagi seorang manusiapun bahwa Allah Swt berkata-kata dengan Dia kecuali dengan
perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan
(malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki (QS Asy-Syuura: 51).[8]
Al-Qur’an sejak dari awal sampai selesai seluruh penurunannya adalah bentuk
wahyu yang tertinggi ini. Dalam terminologi Islam dinamakan wahyu matluww, artinya
penyampaian dalam bentuk dibacakan dengan kata-kata yang jelas.[9]
E. Islam sebagai Pengetahuan Ilmiah
1.
Ilmu
Pengetahuan
Pengetahuan adalah
suatu yang diketahui oleh manusia
melalui pengalaman, informasi, perasaan atau melalui intuisi. Ilmu
pengetahuan merupakan hasil pengolahan akal (berpikir) dan perasaan tentang
sesuatu yang diketahui itu. Sebagai makhluk berakal, manusia mengamati sesuatu.
Hasil pengamatan itu diolah sehingga mejadi ilmu pengetahuan. Dengan ilmu
pengetahuan itu dirumuskannya ilmu baru yang akan digunakannya dalam usaha
memenuhi kebutuhan hidupnya dan menjangkau jauh di luar kemampuan fisiknya.
Demikian banyak hasil kemajuan ilmu pengetahuan yang membuat manusia dapat
hidup menguasai alam ini.[10]
Berbagai contoh
peristiwa alam dan benda-benda yang ada di dunia ini, tidak dapat dipikirkan
dan diolah manusia untuk kepentingan hidupnya dan memperkuat imannya, kecuali
oleh orang yang berilmu yang menggunakan ilmunya. Allah berfirman :
“Itulah
berbagai contoh perumpamaan yang Kami berikan kepada manusia, tidak ada yang
dapat memikirkannya (untuk kepentingan hidupnya), kecuali orang yang berilmu.”
(QS. Al-Ankabut 43)
Faktor terbesar
yang membuat makhluk manusia itu mulia adalah karena ia berilmu. Ia dapat hidup senang dan tentram karena
memiliki ilmu dan menggunakan ilmunya. Ia dapat menguasai alam ini dengan
ilmunya. Iman dan takwanya dapat meningkat dengan ilmu juga.[11]
2.
Islam
sebagai Pengetahuan Ilmiah
Al-Quran adalah
himpunan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Al-Quran adalah
kitab suci agama Islam yang berisikan tuntunan-tuntunan dan pedoman-pedoman
bagi manusia dalam menata kehidupan mereka agar memperoleh kebahagiaan di dunia
dan akhirat, lahir dan batin.
Memang Al-Quran
pada dasarnya merupakan buku petunjuk dan pegangan keagamaan, namun di antara
isinya mendorong umat Islam supaya banyak berpikir. Hal ini dimaksud agar
mereka melalui pemikiran akalnya sampai pada kesimpulan adanya Allah Pencipta
alam semesta dan sebab dari segala kejadian di alam ini.
Telah dikemukakan
bahwa Al-Quran merupakan pendorong utama lahirnya pemikiran filsafat dalam
Islam. Pengertian yang dikandung filsafat sejalan dengan isi Al-Quran.[12]
Filsafat memberikan pandangan keseluruh, kehidupan dan pandangan tentang alam,
dan untuk mengintegrasikan pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan lain agar
mendapatkan pemahaman yang menyeluruh dan konsisten. Dengan kata lain filsafat
berusaha membawa hasil penyelidikan manusia-keagamaan, sejarah dan keilmuwan
kepada suatu pandangan yang terpadu sehingga dapat memberi pandangan dan
pengetahuan bagi kehidupan manusia.[13] Dalam
Al-Quran terdapat banyak ayat yang mendorong pemeluknya agar banyak berpikir
dan mempergunakan akalnya sehingga mucullah salah satu ilmu pengetahuan yaitu
ilmu pengetahuan ilmiah.[14]
Pengetahuan Ilmiah
yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek khas atau spesifik dengan
menerapkan atau hampiran metodologis yang khas pula, artinya metodologi yang
telah mendapatkan kesepakatan di antara para ahli sejenis. Kebenaran yang
terkandung dalam pengetahuan ilmiah bersifat relatif, maksudnya kandungan
kebenaran dari jenis pengetahuan imiah selalu mendapatkan revisi yaitu selalu
diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir. Dengan demikian, kebenaran
dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil
penelitian yang paling akhiran mendapatkan persetujuan. [15]
Perintah berpikir terdapat
pula dalam ayat kauniyah. Ayat-ayat ini menggambarkan kejadian di alam semesta.
Semua kejadian tersebut yang oleh Al-Quran perintahkan umat islam untuk
memikirkan dan merenungkan.[16]
Jelaslah bahwa
kata-kata yang terdapat di Al-Quran dan juga ayat-ayat hadits mengandung
anjuran mendorong umat Islam banyak berpikir dan menggunakan akalnya, berpikir
menggunakan akal adalah ajaran yang jelas dan tegas dalam Islam. Jika filsafat
dikatakan berpikir secara radikal, bahkan sampai ke dasar segala dasar, maka
pengertian ini sejalan dengan kandungan isi Al-Quran yang mendorong pemeluknya
untuk berpikir secara mendalam tentang segala sesuatu sehingga ia sampai ke
dasar segala dasar, yakni Allah, Pencipta alam semesta.[17]
F.
ISLAM
SEBAGAI BUDAYA
Islam yang dihubungkan dengan kebudayaan berarti cara hidup atau way
of life yang juga sangat luas cakupannya. Tentu disini Islam juga
dilihat sebagai realitas sosial. Yakni Islam yang telah menyejarah, meruang dan
mewaktu, Islam yang dipandang sebagai fenomena sosial bisa dilihat dan
dicermati. Dengan demikian yang dimaksudkan kebudayaan Islam adalah cara
pandang komunitas Muslim yang telah berjalan, terlembaga dan tersosialisasi
dari kurun waktu ke waktu, satu generasi ke generasi yang lain dalam berbagai
aspek kehidupan yang cukup luas tapi tetap menampilkan satu bentuk budaya,
tradisi, seni, yang khas Islam. Biasanya ruang lingkup studi budaya tidak bisa
lepas dari beberapa faktor yang mencangkup manusia, pengaruh lingkungan,
perkembangan masyarakat, serta lintas budaya atau cross-culture.
Keunikan budaya dan peradapan Islam terletak pada kokohnya landasan budaya
dan peradapan ini berdiri dan bersandar. Paling tidak ada lima poin utama yang
membedakan budaya islam dengan budaya lain, yaitu:
1.
Konsep tauhid atau oneness of god. Di mana saja kapan
saja Islam selalu menampilkan ajakan satu Tuhan. Semua yang ada di atas bumi
tunduk pada hanya satu Tuhan.
2.
Universalitas pesan dan misi peradapan ini. Al-Qur’an menekankan
persaudaraan manusia dengan tetap memberi ruang pada perbedaan ras, keluarga,
negara, dan sebagainya. Al-Qur’an memberi ajaran yang jelas bahwa persatuan
umat manusia adalah satu keharusan dengan tetap bersandar pada kebenaran,
kebaikan, serta taqwa pada Allah Swt.
3.
Prinsip moral yang selalu ditegakkan dalam budaya ini. Selain
ajaran Al-Qur’an, sunnah yang penuh dengan nuansa-nuansa moral, peradaban dan
kebudayaan Islam juga tidak pernah sepi dari ajaran ini. Ajaran moral walisongo
juga disajikan melalui media wayang yang memasyarakat dijawa.
4.
Budaya toleransi yang cukup tinggi. Bisa dikatakan bahwa dimana
sebuah negara penduduknya mayoritas muslim, seperti Madinah zaman Nabi
misalnya, pastilah non muslim terjamin hidup aman, damai, berdampingan bersama-sama.
Sementara jika minoritas muslim tinggal disebuah negara dengan penduduk
mayoritas non muslim seperi yang terjadi di India, agaknya keadaan akan lain.
5.
Prinsip keutamaan belajar memperoleh ilmu. Budaya ngaji membaca dan
mengkaji kandungan Al-Qur’an, mempelajar hadits adalah budaya Islam yang telah
lama eksis sejak kurun pertama sampai kini. Al-Qur’an dan sunah itu sendiri
menekankan mulianya pendidikan dan pencari ilmu. Budaya baca, iqra’, dengan
demikian telah terbukti membawa peradaban islam pada puncak peradaban dunia
dalam waktu yang sangat lama. Budaya yang mengesankan ini sering disebut
sebagai budaya pendidikan seumur hidup atau “life long educatin” yang terukir dalam sejarah
sekaligus dalam sabda Nabi : “Carilah ilmu dari sejak bayi sampai keliang lahat”.[18]
G.
ISLAM DAN KEBUDAYAAN ISLAMI
Nurcholish Madjid menjelaskan hubungan agama dan budaya. Menurutnya, agama
dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat
dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan
tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu
ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar budaya didasarkan pada
agama; tidak pernah terjadi sebaliknya. Oleh karena itu, agama adalah primer,
dan budaya adalah sekunder. Budaya bisa merupakan ekspresi hidup keagamaan,
karena ia subordinat terhadap agama,
dan tidak pernah sebaliknya (Nurcholish Madjid dalam Yustion dkk. (Dewan
Redaksi, 1993: 172-3)
Dalam pandangan Harun Nasution, agama pada hakikatnya mengandung dua
kelompok ajaran. Kelompok pertama, ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melalui
para rasul-Nya kepada masyarakat manusia. Ajaran dasar ini terdapat dalam
kitab-kitab suci. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci itu
memerlukan penjelasan, baik mengenai arti maupun cara pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan
ini diberikan oleh para pemuka atau ahli agama. Penjelasan-penjelasan mereka
terhadap ajaran dasar agama adalah kelompok kedua dari ajaran agama.
Kelompok pertama, karena merupakan wahyu dari Tuhan, bersifat absolut,
mutlak benar, kekal, tidak berubah, dan tidak bisa diubah. Kelompok kedua,
karena merupakan penjelasan dan hasil pemikiran pemuka atau ahli agama, pada
hakikatnya tidaklah absolut, tidak mutlak benar, dan tidak kekal. Kelompok
kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai dengan
perkembangan zaman. (Harun Nasution dalam Parsudi Suparlan (ed.), 1982: 18)
Menurut hasil penelitian ulama, jumlah kelompok pertama tidak banyak. Pada
umumnya, yang banyak adalah kelompok kedua. Dalam Islam, kelompok pertama terdapat
dalam Al-Qur’an dan hadis mutawatir. Al-Qur’an berjumlah sekitar 6300 (enam
ribu tiga ratus) ayat; tetapi yang mengatur tentang keimanan, ibadah, muamalah,
dan hidup kemasyarakatan manusia, menurut penelitian ulama, tidak lebih dari
500 (lima ratus) ayat. (Harun Nasution dalam Parsudi Suparlan (ed.), 1982: 18).
Al-Qur’an terdiri atas 30 (tiga puluh) juz, 114 (seratus empat belas)
surat, dan sekitar 6000 (enam ribu) ayat. Ayat hukum hanya berjumlah 368 ayat.
Harun Nasution (1985: 8) berkesimpulan bahwa dari 368 ayat ini, hanya 228 ayat
atau 3,5% (tiga setengah persen) yang merupakan ayat yang mengurus hidup
kemasyarakatan. Dengan demikian, perhitungan Harun Nasution tentang jumlah ayat
yang mengatur hubungan kemasyarakatan lebih sedikit daripada hasil penelitian
‘Abd al-Wahab Khallaf. Ajaran dasar agama: Al-Qur’an dan Sunah yang
periwayatannya shahih bukan termasuk
budaya. Tetapi pemahaman ulama terhadap ajaran dasar agama merupakan hasil karya
ulama. Oleh karena itu, ia merupakan bagian dari kebudayaan. Akan tetapi, umat
islam meyakini bahwa kebudayaan yang merupakan hasil upaya ulama dalam memahami
ajaran dasar agama Islam, dituntun oleh petunjuk Tuhan, yaitu Al-Qur’an dan
sunah. Oleh karena itu, ia disebut kebudayaan Islam.
Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai
nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam
arti yang luas. Agama, ideologi, kebatinan, dan kesenian yang merupakan hasil
ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat termasuk
didalamnya. Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir orang-orang
yang hidup bermasyarakat yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu
pengetahuan. Cipta bisa berbentuk teori murni dan bisa juga telah disusun
sehingga dapat langsung diamalkan oleh masyarakat. Rasa dan cinta dinamakan
pula kebudayaan rohaniah (spritual
atau immaterial culture). Semua karya, rasa, dan cipta, dikuasai oleh karsa
orang-orang yang menentukan kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan sebagian
besar atau seluruh masyarakat (Soerjono Soekanto, 1993: 189-90).
Soerjono
Soekanto, (1993: 190) menjelaskan bahwa pendapat diatas mengenai kebudayaan
dapat dijadikan sebagai pegangan. Selanjutnya, ia menganalisis bahwa manusia
sebenarnya mempunyai dua segi atau sisi kehidupan: sisi material dan sisi
spiritual. Sisi materil mengandung karya, yaitu kemampuan manusia untuk
menghasilkan benda-benda atau yang lainnya yang berwujud materi. Sisi spritual
manusia mengandung cipta yang menghasilkan ilmu pengetahuan, karena yang
menghasilkan kaidah kepecayaan, kesusilaan, kesopanan, hukum, serta rasa yang
menghasilkan keindahan. Manusia berusaha mendapatkan ilmu pengetahuan melalui
logika, menyerasikan perilaku terhadap kaidah melalui etika, dan mendapatkan
keindahan melalui estetika. Itu semua merupakan kebudayaan yang menurut
Soerjono Soekanto dapat dijadikan patokan analisis.[19]
H. Kesimpulan
Islam adalah agama samawi yang
langsung diwahyukan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw yang berupa
Al-Quran sebagai pedoman dalam kehidupan manusia agar manusia tersebut dapat
mengamalkan ajaran yang ada di dalam Al-Quran.
Dalam Al-Quran juga membahas ilmu
pengetahuan karena kedudukan ilmu pengetahuan dalam agama Islam sangat penting.
Menutut ilmu adalah kewajiban seorang muslim karena faktor yang membuat manusia
itu mulia adalah ia berilmu. Dan tentunya harus diseimbangkan dengan bimbingan
wahyu untuk meluruskan akal.
Akibat dari manusia menggunakan akal
pikirannya, perasaannya dan ilmu pengetahuannya, tumbuhlah
kebudayaan dan berkembang sejalan dengan akal pikiran manusia serta sosial
budayanya untuk mewujudkan suatu sosial budaya dan masyarakat yang Islami.
I.
Saran
Kami menyadari, dalam pembuatan makalah
ini jauh dari kesempurnaan. Pembahasan yang penyusun sajikan diatas walaupun tidak sempurna
tapi sedikitnya bisa menolong pembaca menemukan yang mungkin dibutuhkan. Karena ilmu didapat bisa bersumber darimana
saja termasuk dari penyusun sajikan. Kami hanyalah
manusia biasa. Jika ada kesalahan itu datangnya dari kami sendiri. Dan jika ada kebenaran, itu datangnya
dari Allah Swt.
Daftar Pustaka
A.
Buku
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1998.
Hawi, Akmal. Dasar-dasar Studi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2014.
Hakim,
Atang ABD.
Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1999.
Daradjat, Zakiah, dkk. Ilmu Pendidikan
Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara 2000.
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya). Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada. 2004.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas UGM. Filsafat Ilmu Sebagai
Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan.
Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. 2007.
B.
Internet
Ummi, Noviana. “Islam Sebagai Agama Wahyu.” http://ovinovi.blogspot.co.id/2014/11/islam-sebagai-agama-wahyu.html?m=1,(diakses pada 14 September 2017, pukul 20.00 WIB).
Setiawanti, Nani. “Makalah Islam
Sebagai Produk Budaya.” http://nanisetiawanti.blogspot.co.id/2016/01/makalah-islam-sebagai-produk-budaya.html, (diakses pada 16 September 2017,
pukul 11.14 WIB.
[1] Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998, hlm. 61.
[2] Ibid.,
hlm. 63.
[4] Noviana Ummi, Islam
Sebagai Agama Wahyu. http://ovinovi.blogspot.co.id/2014/11/islam-sebagai-agama-wahyu.html?m=1,(diakses pada
14 September 2017, pukul 20.00 WIB).
[6] Noviana Ummi, Islam Sebagai Agama Wahyu.” http://ovinovi.blogspot.co.id/2014/11/islam-sebagai-agama-wahyu.html?m=1,(diakses pada
14 September 2017, pukul 20.00 WIB).
[7] Noviana Ummi, Islam
Sebagai Agama Wahyu. http://ovinovi.blogspot.co.id/2014/11/islam-sebagai-agama-wahyu.html?m=1,(diakses pada
14 September 2017, pukul 20.00 WIB).
[8] Akmal Hawi, Dasar-dasar
Studi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014, hlm. 65-67.
[9] Ibid., hlm.
69.
[11] Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu
Pengetahuan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2000, hlm. 7.
[12] Sirajuddin
Zar, Filsafat Islam ( filosof dan filsafatnya
), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004, hlm. 20.
[13] Tim Dosen
Filsafat Ilmu Fakultas UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007, hlm. 60.
[14] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam ( filosof dan filsafatnya ), Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2004, hlm. 20.
[15] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007, hlm.
136.
[16] Sirajuddin
Zar, Filsafat Islam ( filosof dan filsafatnya
), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004, hlm. 22.
[17] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam ( filosof dan filsafatnya ), Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2004, hlm. 23.
[18] Nani Setiawanti, Islam Sebagai Produk. http://nanisetiawanti.blogspot.co.id/2016/01/makalah-islam-sebagai-produk-budaya.html (diakses pada
tanggal 14 September 2017, pukul 11.14 WIB)
[19] Atang
ABD Hakim, Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
1999, hlm. 34-39.
No comments:
Post a Comment