Efek

Wednesday, September 12, 2018

ISLAM SEBAGAI AGAMA, ISLAM SEBAGAI PRODUK BUDAYA, DAN ISLAM SEBAGAI PENGETAHUAN ILMIAH


ISLAM SEBAGAI AGAMA, ISLAM SEBAGAI PRODUK BUDAYA, DAN ISLAM SEBAGAI PENGETAHUAN ILMIAH

Oleh Muhammad Rasyidi, M.Pd.I

A.    Pendahuluan

Sebagai agama terakhir, Islam diketahui memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan agama-agama yang datang sebelumnya. Melalui berbagai literatur yang berbicara tentang Islam dapat dijumpai uraian mengenai pengertian agama Islam, sumber dan ruang lingkup ajarannya serta cara untuk memahaminya. Dalam upaya memahami ajaran Islam, berbagai aspek yang berkenaan dengan Islam itu perlu dikaji secara seksama, sehingga dapat dihasilkan pemahaman Islam yang komprehensif. Hal ini penting dilakukan, karena kualitas pemahaman keislaman seseorang akan mempengaruhi pola pikir, sikap, dan tindak keislaman yang bersangkutan.
Islam adalah wahyu yang diturunkan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman manusia untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Kita tau bahwa itu terdiri dari wahyu yang berbentuk Al-Qur’an, serta wahyu yang berbentuk hadis, sunnah Nabi Muhammad SAW. Wahyu juga memberi sumbangan intelektual yang tidak terjangkau oleh kekuatan rasional dan empiris, sehingga wahyu dapat dijadikan sebagai rujukan pencarian suatu ilmu pengetahuan.
Dalam Islam pendidikan juga tidak terlepas dari kehidupan baik itu masa lampau sampai sekarang. Dalam Islam pendidikan itu sangat penting karena Allah Swt. akan mengangkat derajat seseorang jika ia menuntut ilmu. Oleh karena itu Islam sangat berhubungan erat dengan ilmu pengetahuan. Masyarakat indonesia khususnya yang beragama Islam sudah banyak yang mengetahui dan mengerti bahwa betapa pentingnya ilmu pengetahuan.

Disamping itu, agama juga merupakan kebudayaan. Hal tersebut menimbulkan berbagai perdebatan, suatu pihak menyatakan bahwa agama bukan kebudayaan, sementara pihak yang lainnya menyatakan bahwa agama adalah kebudayaan. Kelompok orang yang tidak setuju dengan pandangan bahwa agama itu kebudayaan adalah pemikiran bahwa agama itu bukan berasal dari manusia, tetapi datang dari Tuhan, dan sesuatu yang datang dari Tuhan tentu tidak dapat disebut kebudayaan. Kemudian, sementara orang yang menyatakan bahwa agama adalah  kebudayaan, karena praktik agama tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan.
Memang benar bahwa wahyu yang menjadi sandaran fundamental agama itu datang dari Tuhan, akan tetapi realisasinya dalam kehidupan adalah persoalan manusia, dan sepenuhnya tergantung pada kapasitas diri manusia sendiri, baik dalam hal kesanggupan “pemikiran intelektual”  untuk memahaminya, maupun kesanggupan dirinya untuk menjalankannya dalam kehidupan. Maka menurut pandangan ini realisasi dan aktualisasi agama sesungguhnya telah memasuki wilayah kebudayaan, sehingga “agama mau tidak mau menjadi soal kebudayaan”

B.     Islam Sebagai Agama Wahyu

Ada dua sisi yang digunakan untuk memahami pengertian agama Islam, yaitu sisi kebahasaan dan sisi peristilahan. Kedua sisi pengertian tentang Islam  ini dapat dijelaskan sebagai berikut.[1]
Kata Islam dari segi kebahasaan mengandung arti patuh tunduk, taat, dan berserah diri kepada Tuhan dalam upaya mencari keselamatan dan kebahagiaan hidup, baik dunia maupun akhirat. Hal demikian dilakukan atas kesadaran dan kemauan diri sendiri, bukan paksaan atau berpura-pura, melainkan sebagai panggilan dari fitrah dirinya sebagai makhluk yang sejak dalam kandungan sudah menyatakan patuh dan tunduk kepada Tuhan.
Dengan demikian, secara antropologis perkataan Islam sudah menggambarkan kodrat manusia sebagai makhluk yang tunduk dan patuh kepada Tuhan. Keadaan ini membawa pada timbulnya pemahaman terhadap orang yang tidak patuh dan tunduk sebagai wujud dari penolakan terhadap fitrah dirinya sendiri.[2]
Adapun pengertian Islam dari secara istilah adalah nama bagi suatu agama yang berasal dari Allah Swt. Nama Islam demikian itu memiliki perbedaan yang luar biasa dengan nama agama lainnya. Kata Islam tidak mempunyai hubungan dengan orang tertentu atau dari golongan manusia atau dari suatu negeri. Kata Islam adalah nama yang diberikan oleh Tuhan sendiri.[3]
Selanjutnya, agama dari segi sumbernya bisa dikelompokkan menjadi agama budaya dan agama samawi. Agama budaya adalah agama yang bersumber dari akal atau pemikiran manusia. Sedangkan agama samawi sering disebut juga agama yang berasal dari wahyu Allah Swt. kepada Rasul-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia.
Pendapat lain mengatakan bahwa yang termasuk dalam kelompok agama wahyu ini adalah agama Yahudi, Nasrani dan Islam.[4] Perbedaan pendapat itu terjadi karena dilihat dari segi misi ajarannya, Islam adalah agama sepanjang sejarah manusia. Agama dari seluruh Nabi dan Rasul yang telah diutus oleh Allah Swt. pada bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok manusia. Misi agama yang mereka anut adalah Islam, tetapi agama yang mereka bawa nama-namanya dikaitkan dengan nama daerah atau nama penduduk yang menganut agama tersebut. Agama yang dibawa oleh Nabi Isa as. misalnya, sungguhpun misinya penyerahan diri kepada Allah Swt. (Islam), tetapi agama tersebut adalah Kristen, yaitu nama yang dinisbahkan kepada Yesus Kristus sebagai agama pembawa tersebut, atau agama Nasrani, yaitu nama yang dinisbahkan kepada tempat kelahiran Nabi Isa, yaitu Nazaret.[5] Namun dalam kenyataan yang sebenarnya Islam adalah satu-satunya agama samawi dan sebagai agama wahyu, dapat dilihat melalui wahyu Allah Swt. dalam ayat-ayat Al-Qur’an diantaranya:
“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Islam-lah wahai dikau Ibrahim,” Ibrahim menjawab: “Aku telah ber-Islam kepada Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Baqarah: 131).
“Nabi Nuh berkata: “Dan aku diperintahkan (oleh Allah Swt) untuk menjadi seorang dari golongan muslimin.” (QS. Yunus: 72).
“Nabi Musa berkata kepada kaumnya: “Ya kaumku, bila kalian beriman kepada Allah Swt., bertawakal dirilah kepada-Nya jika benar-benar kalian muslimin.” (QS. Yunus: 84).
“Dia (Allah Swt) telah menamai kamu semua sebagai orang-orang muslim dari dahulu.” (QS. Al-Hajj: 78).
Dari ayat-ayat Al-Qur’an tersebut dapat disimpulkan bahwa Islam adalah satu-satunya agama samawi (wahyu) yang bersumber dari Allah Swt. dzat yang paling benar dan mengetahui kebenaran. Islam sebagai agama wahyu telah diturunkan oleh Allah Swt. kepada umat-Nya melalui Nabi dan Rasul-Nya, dari sejak Nabi Adam sampai nabi terakhir kita, yaitu Nabi Muhammad saw.[6]

C.     Ciri-ciri Islam Sebagai Agama Wahyu

Islam sebagai agama wahyu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Berkembang secara revolusi, diwahyukan Tuhan.
Jika agama-agama lain namanya ada setelah pembawa ajarannya telah tiada, maka nama Islam sudah ada sejak awal kelahirannya. Allah Swt. sendiri yang memberikan nama untuk agama Islam ini, seperti dalam QS. Ali Imran ayat 19 yang artinya:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah Swt hanyalah Islam.”
Ini merupakan salah satu keistimewaan dan sekaligus tanda bahwa Islam adalah satu-satunya agama wahyu yang diridhai Allah Swt untuk umat-Nya. Mengenai Islam berkembang secara revolusioner, dapat dilihat dari segi pembawa ajaran Islam (Nabi dan Rasul). Islam merupakan agama semua Nabi dan Rasul beserta pengikut-pengikut mereka.
2.      Disampaikan melalui utusan Tuhan.
Telah jelas bahwa agama Islam itu adalah agama wahyu samawi yang disampaikan kepada umat manusia dari Allah Swt. melalui para Nabi dan Rasul sepanjang sejarah Nabi Adam as. hingga Nabi Muhammad saw.
3.      Ajaran ketuhanannya Monoteisme Mutlak (tauhid).
Islam mengajarkan kepada para pengikutnya bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah Swt., hal ini tertuang dalam lafadz syahadat yang merupakan salah satu rukun Islam.
4.      Memiliki kitab suci (berupa wahyu) yang bersih dari campur tangan manusia.
Kitab suci umat Islam adalah Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. seperti yang telah dijelaskan Allah Swt. dalam firman-Nya QS. An-Najm ayat 3-4 : “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” Ini menjadi bukti bahwa kitab suci (Al-Qur’an) diturunkan bersih dari campur tangan manusia, termasuk nabi yang menerimanya sendiri. Jadi wahyu (kitab suci) ini benar-benar murni bersumber dari Allah Swt.
5.      Ajaran prinsipnya tetap (ajaran tauhid dari waktu ke waktu).
Segala macam bentuk ajaran dalam Islam merupakan bentuk konsekuensi tauhid. Seperti masalah ibadah, yang merupakan realisasi dari ketauhidan seseorang. Orang yang menyatakan bahwa Tuhan yang menciptakan dan memelihara alam semesta adalah Allah Swt., konsekuensinya ia harus beibadah hanya kepada Allah Swt.[7]

D.    Penurunan Al-Quran Sebagai Wahyu

Allah Swt turunkan dan tuangkan ajaran-Nya ke dalam bahasa Arab, karena orang yang Allah Swt tugaskan untuk menyampaikan ajaran-Nya itu kepada manusia disekitarnya adalah seorang yang dilahirkan dan dibesarkan dalam masyarakat yang pandai berbahasa Arab, sehingga bahasa Arablah yang paling ia pahami. Sebagaimana firman Allah Swt yang artinya:
Dan Jikalau Kami jadikan Al-Qur’an itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?” Apakah (patut Al-Qur’an) dalam bahasa asing sedang (Rasul adalah orang) Arab? (QS Fushshilat: 4).
Oleh karena itu, Nabi Muhammad Saw. seorang Arab dan masyarakat yang dihadapinya adalah berbahasa Arab, maka Allah pergunakan bahasa Arab itu menjadi wadah bagi isi wahyu-Nya, agar isi wahyu itu dapat mudah dimengerti. Sebagaimana firman Allah Swt yang artinya:
Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya) (QS Ad Dukhaan: 58).
dan
Sebenarnya tujuan Kami membuat Al-Qur’an berbahasa Arab adalah agar kamu dapat mengerti (QS Az Zukhruf: 3).
Untuk keperluan pemahaman yang betul-betul jelas, maka bukan hanya bahasa Arab dipergunakan menjadi wadah ajaran Allah Swt, tetapi juga Allah Swt turunkan atau sampaikan ajaran-Nya itu sedikit demi sedikit, sebagaimana firman Allah Swt yang artinya:
Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar) (QS Al-Furqaan: 32).
dan
Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya (QS Al-Qiyaamah: 18-19)
Demikianlah metode Allah Swt mengajarkan Al-Qur’an kepada Rasul. Pertama, Rasul disuruh dia memerhatikan pembacaannya. Kedua, Rasul disuruh meniru bacaannya. Ketiga, setelah selesai penyampaian lalu Allah jelaskan isi pengertian yang terkandung di dalam apa yang disampaikan itu.
Apa yang didapat oleh Rasul itu adalah bacaan, pengertian, dan metode, Allah Swt perintahkan agar Rasul berlakukan pula terhadap orang-orang disekitarnya dan sebagaimana firman Allah Swt yang artinya:
1.      Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian (QS Al Israa’: 106).
2.      Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab, dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (QS An-Nahl: 44).
3.      Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat (QS Al-A’raaf: 204).
Al-Qur’an disampaikan kepada Rasul dengan perantara ruh suci atau ruh kepercayaan yaitu malaikat Jibril, sebagaimana firman Allah Swt yang artinya:
1.      Dan Sesungguhnya Al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas (QS Asy-Syu’araa’: 192-195).
2.      Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al-Qur’an itu dari Tuhanmu dengan benar (QS An-Nahl: 102).
3.      Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur’an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah Swt (QS Al-Baqarah: 97).
4.      Dan orang-orang mukmin dan beramal soleh serta beriman kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang haq dari Tuhan mereka (QS Muhammad: 2).
Wahyu diberikan kepada manusia dalam tiga bentuk, sebagaimana firman Allah yang artinya:
Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah Swt berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki (QS Asy-Syuura: 51).[8]
Al-Qur’an sejak dari awal sampai selesai seluruh penurunannya adalah bentuk wahyu yang tertinggi ini. Dalam terminologi Islam dinamakan wahyu matluww, artinya penyampaian dalam bentuk dibacakan dengan kata-kata yang jelas.[9]

E.     Islam sebagai Pengetahuan Ilmiah

1.         Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan adalah suatu yang diketahui oleh manusia  melalui pengalaman, informasi, perasaan atau melalui intuisi. Ilmu pengetahuan merupakan hasil pengolahan akal (berpikir) dan perasaan tentang sesuatu yang diketahui itu. Sebagai makhluk berakal, manusia mengamati sesuatu. Hasil pengamatan itu diolah sehingga mejadi ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan itu dirumuskannya ilmu baru yang akan digunakannya dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya dan menjangkau jauh di luar kemampuan fisiknya. Demikian banyak hasil kemajuan ilmu pengetahuan yang membuat manusia dapat hidup menguasai alam ini.[10]
Berbagai contoh peristiwa alam dan benda-benda yang ada di dunia ini, tidak dapat dipikirkan dan diolah manusia untuk kepentingan hidupnya dan memperkuat imannya, kecuali oleh orang yang berilmu yang menggunakan ilmunya. Allah berfirman :

 “Itulah berbagai contoh perumpamaan yang Kami berikan kepada manusia, tidak ada yang dapat memikirkannya (untuk kepentingan hidupnya), kecuali orang yang berilmu.” (QS. Al-Ankabut 43)
Faktor terbesar yang membuat makhluk manusia itu mulia adalah karena ia berilmu.  Ia dapat hidup senang dan tentram karena memiliki ilmu dan menggunakan ilmunya. Ia dapat menguasai alam ini dengan ilmunya. Iman dan takwanya dapat meningkat dengan ilmu juga.[11]

2.         Islam sebagai Pengetahuan Ilmiah
Al-Quran adalah himpunan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Al-Quran adalah kitab suci agama Islam yang berisikan tuntunan-tuntunan dan pedoman-pedoman bagi manusia dalam menata kehidupan mereka agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat, lahir dan batin.
Memang Al-Quran pada dasarnya merupakan buku petunjuk dan pegangan keagamaan, namun di antara isinya mendorong umat Islam supaya banyak berpikir. Hal ini dimaksud agar mereka melalui pemikiran akalnya sampai pada kesimpulan adanya Allah Pencipta alam semesta dan sebab dari segala kejadian di alam ini.
Telah dikemukakan bahwa Al-Quran merupakan pendorong utama lahirnya pemikiran filsafat dalam Islam. Pengertian yang dikandung filsafat sejalan dengan isi Al-Quran.[12] Filsafat memberikan pandangan keseluruh, kehidupan dan pandangan tentang alam, dan untuk mengintegrasikan pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan lain agar mendapatkan pemahaman yang menyeluruh dan konsisten. Dengan kata lain filsafat berusaha membawa hasil penyelidikan manusia-keagamaan, sejarah dan keilmuwan kepada suatu pandangan yang terpadu sehingga dapat memberi pandangan dan pengetahuan bagi kehidupan manusia.[13] Dalam Al-Quran terdapat banyak ayat yang mendorong pemeluknya agar banyak berpikir dan mempergunakan akalnya sehingga mucullah salah satu ilmu pengetahuan yaitu ilmu pengetahuan ilmiah.[14]
Pengetahuan Ilmiah yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek khas atau spesifik dengan menerapkan atau hampiran metodologis yang khas pula, artinya metodologi yang telah mendapatkan kesepakatan di antara para ahli sejenis. Kebenaran yang terkandung dalam pengetahuan ilmiah bersifat relatif, maksudnya kandungan kebenaran dari jenis pengetahuan imiah selalu mendapatkan revisi yaitu selalu diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir. Dengan demikian, kebenaran dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian yang paling akhiran mendapatkan persetujuan. [15]
Perintah berpikir terdapat pula dalam ayat kauniyah. Ayat-ayat ini menggambarkan kejadian di alam semesta. Semua kejadian tersebut yang oleh Al-Quran perintahkan umat islam untuk memikirkan dan merenungkan.[16]
Jelaslah bahwa kata-kata yang terdapat di Al-Quran dan juga ayat-ayat hadits mengandung anjuran mendorong umat Islam banyak berpikir dan menggunakan akalnya, berpikir menggunakan akal adalah ajaran yang jelas dan tegas dalam Islam. Jika filsafat dikatakan berpikir secara radikal, bahkan sampai ke dasar segala dasar, maka pengertian ini sejalan dengan kandungan isi Al-Quran yang mendorong pemeluknya untuk berpikir secara mendalam tentang segala sesuatu sehingga ia sampai ke dasar segala dasar, yakni Allah, Pencipta alam semesta.[17]

F.      ISLAM SEBAGAI BUDAYA

Islam yang dihubungkan dengan kebudayaan berarti cara hidup atau way of life yang juga sangat luas cakupannya. Tentu disini Islam juga dilihat sebagai realitas sosial. Yakni Islam yang telah menyejarah, meruang dan mewaktu, Islam yang dipandang sebagai fenomena sosial bisa dilihat dan dicermati. Dengan demikian yang dimaksudkan kebudayaan Islam adalah cara pandang komunitas Muslim yang telah berjalan, terlembaga dan tersosialisasi dari kurun waktu ke waktu, satu generasi ke generasi yang lain dalam berbagai aspek kehidupan yang cukup luas tapi tetap menampilkan satu bentuk budaya, tradisi, seni, yang khas Islam. Biasanya ruang lingkup studi budaya tidak bisa lepas dari beberapa faktor yang mencangkup manusia, pengaruh lingkungan, perkembangan masyarakat, serta lintas budaya atau cross-culture.
Keunikan budaya dan peradapan Islam terletak pada kokohnya landasan budaya dan peradapan ini berdiri dan bersandar. Paling tidak ada lima poin utama yang membedakan budaya islam dengan budaya lain, yaitu:
1.      Konsep tauhid atau oneness of god. Di mana saja kapan saja Islam selalu menampilkan ajakan satu Tuhan. Semua yang ada di atas bumi tunduk pada hanya satu Tuhan.
2.      Universalitas pesan dan misi peradapan ini. Al-Qur’an menekankan persaudaraan manusia dengan tetap memberi ruang pada perbedaan ras, keluarga, negara, dan sebagainya. Al-Qur’an memberi ajaran yang jelas bahwa persatuan umat manusia adalah satu keharusan dengan tetap bersandar pada kebenaran, kebaikan, serta taqwa pada Allah Swt.
3.      Prinsip moral yang selalu ditegakkan dalam budaya ini. Selain ajaran Al-Qur’an, sunnah yang penuh dengan nuansa-nuansa moral, peradaban dan kebudayaan Islam juga tidak pernah sepi dari ajaran ini. Ajaran moral walisongo juga disajikan melalui media wayang yang  memasyarakat dijawa.
4.      Budaya toleransi yang cukup tinggi. Bisa dikatakan bahwa dimana sebuah negara penduduknya mayoritas muslim, seperti Madinah zaman Nabi misalnya, pastilah non muslim terjamin hidup aman, damai, berdampingan bersama-sama. Sementara jika minoritas muslim tinggal disebuah negara dengan penduduk mayoritas non muslim seperi yang terjadi di India, agaknya keadaan akan lain.
5.      Prinsip keutamaan belajar memperoleh ilmu. Budaya ngaji membaca dan mengkaji kandungan Al-Qur’an, mempelajar hadits adalah budaya Islam yang telah lama eksis sejak kurun pertama sampai kini. Al-Qur’an dan sunah itu sendiri menekankan mulianya pendidikan dan pencari ilmu. Budaya baca, iqra’, dengan demikian telah terbukti membawa peradaban islam pada puncak peradaban dunia dalam waktu yang sangat lama. Budaya yang mengesankan ini sering disebut sebagai budaya pendidikan seumur hidup atau “life long educatin” yang terukir dalam sejarah sekaligus dalam sabda Nabi : “Carilah ilmu dari sejak bayi sampai keliang lahat”.[18]



G.    ISLAM DAN KEBUDAYAAN ISLAMI

Nurcholish Madjid menjelaskan hubungan agama dan budaya. Menurutnya, agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar budaya didasarkan pada agama; tidak pernah terjadi sebaliknya. Oleh karena itu, agama adalah primer, dan budaya adalah sekunder. Budaya bisa merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena ia subordinat terhadap agama, dan tidak pernah sebaliknya (Nurcholish Madjid dalam Yustion dkk. (Dewan Redaksi, 1993: 172-3)
Dalam pandangan Harun Nasution, agama pada hakikatnya mengandung dua kelompok ajaran. Kelompok pertama, ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melalui para rasul-Nya kepada masyarakat manusia. Ajaran dasar ini terdapat dalam kitab-kitab suci. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci itu memerlukan penjelasan, baik mengenai arti maupun cara pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan ini diberikan oleh para pemuka atau ahli agama. Penjelasan-penjelasan mereka terhadap ajaran dasar agama adalah kelompok kedua dari ajaran agama.
Kelompok pertama, karena merupakan wahyu dari Tuhan, bersifat absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah, dan tidak bisa diubah. Kelompok kedua, karena merupakan penjelasan dan hasil pemikiran pemuka atau ahli agama, pada hakikatnya tidaklah absolut, tidak mutlak benar, dan tidak kekal. Kelompok kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman. (Harun Nasution dalam Parsudi Suparlan (ed.), 1982: 18)
Menurut hasil penelitian ulama, jumlah kelompok pertama tidak banyak. Pada umumnya, yang banyak adalah kelompok kedua. Dalam Islam, kelompok pertama terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis mutawatir. Al-Qur’an berjumlah sekitar 6300 (enam ribu tiga ratus) ayat; tetapi yang mengatur tentang keimanan, ibadah, muamalah, dan hidup kemasyarakatan manusia, menurut penelitian ulama, tidak lebih dari 500 (lima ratus) ayat. (Harun Nasution dalam Parsudi Suparlan (ed.), 1982: 18).
Al-Qur’an terdiri atas 30 (tiga puluh) juz, 114 (seratus empat belas) surat, dan sekitar 6000 (enam ribu) ayat. Ayat hukum hanya berjumlah 368 ayat. Harun Nasution (1985: 8) berkesimpulan bahwa dari 368 ayat ini, hanya 228 ayat atau 3,5% (tiga setengah persen) yang merupakan ayat yang mengurus hidup kemasyarakatan. Dengan demikian, perhitungan Harun Nasution tentang jumlah ayat yang mengatur hubungan kemasyarakatan lebih sedikit daripada hasil penelitian ‘Abd al-Wahab Khallaf. Ajaran dasar agama: Al-Qur’an dan Sunah yang periwayatannya shahih bukan termasuk budaya. Tetapi pemahaman ulama terhadap ajaran dasar agama merupakan hasil karya ulama. Oleh karena itu, ia merupakan bagian dari kebudayaan. Akan tetapi, umat islam meyakini bahwa kebudayaan yang merupakan hasil upaya ulama dalam memahami ajaran dasar agama Islam, dituntun oleh petunjuk Tuhan, yaitu Al-Qur’an dan sunah. Oleh karena itu, ia disebut kebudayaan Islam.
Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti yang luas. Agama, ideologi, kebatinan, dan kesenian yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat termasuk didalamnya. Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir orang-orang yang hidup bermasyarakat yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Cipta bisa berbentuk teori murni dan bisa juga telah disusun sehingga dapat langsung diamalkan oleh masyarakat. Rasa dan cinta dinamakan pula kebudayaan rohaniah (spritual atau immaterial culture). Semua karya, rasa, dan cipta, dikuasai oleh karsa orang-orang yang menentukan kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan sebagian besar atau seluruh masyarakat (Soerjono Soekanto, 1993: 189-90).
Soerjono Soekanto, (1993: 190) menjelaskan bahwa pendapat diatas mengenai kebudayaan dapat dijadikan sebagai pegangan. Selanjutnya, ia menganalisis bahwa manusia sebenarnya mempunyai dua segi atau sisi kehidupan: sisi material dan sisi spiritual. Sisi materil mengandung karya, yaitu kemampuan manusia untuk menghasilkan benda-benda atau yang lainnya yang berwujud materi. Sisi spritual manusia mengandung cipta yang menghasilkan ilmu pengetahuan, karena yang menghasilkan kaidah kepecayaan, kesusilaan, kesopanan, hukum, serta rasa yang menghasilkan keindahan. Manusia berusaha mendapatkan ilmu pengetahuan melalui logika, menyerasikan perilaku terhadap kaidah melalui etika, dan mendapatkan keindahan melalui estetika. Itu semua merupakan kebudayaan yang menurut Soerjono Soekanto dapat dijadikan patokan analisis.[19]



H.    Kesimpulan

Islam adalah agama samawi yang langsung diwahyukan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw yang berupa Al-Quran sebagai pedoman dalam kehidupan manusia agar manusia tersebut dapat mengamalkan ajaran yang ada di dalam Al-Quran.
Dalam Al-Quran juga membahas ilmu pengetahuan karena kedudukan ilmu pengetahuan dalam agama Islam sangat penting. Menutut ilmu adalah kewajiban seorang muslim karena faktor yang membuat manusia itu mulia adalah ia berilmu. Dan tentunya harus diseimbangkan dengan bimbingan wahyu untuk meluruskan akal.
Akibat dari manusia menggunakan akal pikirannya, perasaannya dan ilmu pengetahuannya, tumbuhlah kebudayaan dan berkembang sejalan dengan akal pikiran manusia serta sosial budayanya untuk mewujudkan suatu sosial budaya dan masyarakat yang Islami.

I.       Saran

Kami menyadari, dalam pembuatan makalah ini jauh dari kesempurnaan. Pembahasan yang penyusun sajikan diatas walaupun tidak sempurna tapi sedikitnya bisa menolong pembaca menemukan yang mungkin dibutuhkan. Karena ilmu didapat bisa bersumber darimana saja termasuk dari penyusun sajikan. Kami hanyalah manusia biasa. Jika ada kesalahan itu datangnya dari kami sendiri. Dan jika ada kebenaran, itu datangnya dari Allah Swt.

 

 

Daftar Pustaka

 

A.      Buku
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1998.
Hawi, Akmal. Dasar-dasar Studi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.  2014.                                                                                                                                           
Hakim, Atang ABD. Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1999.
Daradjat, Zakiah, dkk. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara 2000.
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya). Jakarta: PT    RajaGrafindo Persada. 2004.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas UGM. Filsafat Ilmu Sebagai Dasar    Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. 2007.

B.       Internet
Ummi, Noviana. “Islam Sebagai Agama Wahyu.”            http://ovinovi.blogspot.co.id/2014/11/islam-sebagai-agama-wahyu.html?m=1,(diakses pada 14 September 2017, pukul 20.00 WIB).
Setiawanti, Nani. “Makalah Islam Sebagai Produk Budaya.” http://nanisetiawanti.blogspot.co.id/2016/01/makalah-islam-sebagai-produk-budaya.html, (diakses pada 16 September 2017, pukul 11.14 WIB.




[1] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998, hlm. 61.
[2] Ibid., hlm. 63.
[3] Ibid., hlm. 65.
[4] Noviana Ummi, Islam Sebagai Agama Wahyu. http://ovinovi.blogspot.co.id/2014/11/islam-sebagai-agama-wahyu.html?m=1,(diakses pada 14 September 2017, pukul 20.00 WIB).
[5] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998, hlm. 66.
[6] Noviana Ummi, Islam Sebagai Agama Wahyu.” http://ovinovi.blogspot.co.id/2014/11/islam-sebagai-agama-wahyu.html?m=1,(diakses pada 14 September 2017, pukul 20.00 WIB).
[7] Noviana Ummi, Islam Sebagai Agama Wahyu. http://ovinovi.blogspot.co.id/2014/11/islam-sebagai-agama-wahyu.html?m=1,(diakses pada 14 September 2017, pukul 20.00 WIB).
[8] Akmal Hawi, Dasar-dasar Studi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014, hlm. 65-67.
[9] Ibid., hlm. 69.
[10] Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2000, hlm. 5-6.
[11] Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2000, hlm. 7.
[12] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam ( filosof dan filsafatnya ), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004, hlm. 20.
[13] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007, hlm. 60.
[14] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam ( filosof dan filsafatnya ), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004, hlm. 20.
[15] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007, hlm. 136.
[16] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam ( filosof dan filsafatnya ), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004, hlm. 22.
[17] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam ( filosof dan filsafatnya ), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004, hlm. 23.
[18] Nani Setiawanti, Islam Sebagai Produk. http://nanisetiawanti.blogspot.co.id/2016/01/makalah-islam-sebagai-produk-budaya.html (diakses pada tanggal 14 September 2017, pukul 11.14 WIB)
[19] Atang ABD Hakim, Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung:  PT Remaja Rosdakarya, 1999, hlm. 34-39.

No comments: