A. Pendahuluan
Untuk mengukur keberhasilan perekonomian suatu negara salah satunya
dapat dilihat dari angka pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Pertumbuhan
ekonomi (economic growth) dapat
diukur dari kenaikan besarnya pendapatan nasional (produksi nasional) pada
periode tertentu. Oleh karena itu, nilai dari pendapatan nasional (national income) ini merupakan gambaran
dari aktivitas ekonomi secara nasional pada periode tertentu. Tingginya tingkat
pendapatan nasional dapat mencerminkan besarnya barang dan jasa yang dapat
diproduksi. Besarnya kapasitas produksi tersebut dapat menunjukkan tingginya
tingkat kemakmuran masyarakat dalam suatu negara. Baik negara yang sedang
berkembang maupun Negara-negara maju, semua mengiginkan tingkat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi.
Pendapatan nasional adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh
faktor-faktor produksi yang digunakan untuk memproduksikan barang dan jasa dalam
satu periode, biasanya satu tahun.
Arus pembayaran atas faktor produksi oleh sektor perusahaan,
pemerintah, ataupun luar negeri merupakan pendapatan bagi parapemilik faktor
produksi. Setiap orang akan memperoleh pendapatan karena membantu proses
produksi.
B. Definisi Pendapatan Nasional
Dalam analisis makro ekonomi selalu
digunakan istilah “pendapatan nasional” atau “national income” dan biasanya istilah itu dimaksudkan untuk
menyatakan nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam suatu negara. Definisi lain dari pendapatan nasional adalah
jumlah pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang digunakan
untuk memproduksikan barang dan jasa dalam satu tahun tertentu. Dalam system
perhitungan pendapatan nasional, jumlah pendapatan itu dinamakan Produk
Nasional Neto pada harga faktor atau secara ringkas disebut Pendapatan
Nasional.[1]
C. Sejarah Tercetusnya Pendapatan Nasional
Konsep pendapatan nasional pertama
kali dicetuskan oleh Sir William Petty dari Inggris yang berusaha menaksir
pendapatan nasional negaranya (Inggris) pada tahun 1665. Dalam perhitungannya,
ia menggunakan anggapan bahwa pendapatan nasional merupakan penjumlahan biaya
hidup (konsumsi) selama setahun. Namun, pendapat tersebut tidak disepakati oleh
para ahli ekonomi modern, sebab menurut pandangan ilmu ekonomi modern, konsumsi
bukanlah satu-satunya unsur dalam perhitungan pendapatan nasional. Menurut
mereka, alat utama sebagai pengukur kegiatan perekonomian adalah Produk
Nasional Bruto (Gross National Product, GNP), yaitu seluruh jumlah
barang dan jasa yang dihasilkan tiap tahun oleh negara yang bersangkutan diukur
menurut harga pasar pada suatu negara.[2]
Perhitungan pendapatan nasional di
Indonesia bukanlah suatu hal yang baru. Semenjak pemerintahan Hindia Belanda
sebelum Perang Dunia II, perhitungan pendapatan nasional sudah dicoba, meskipun
masih meliputi daerah-daerah kecil atau satu golongan masyarakat saja. pada
permulaan abad ke-20 pemerintahan Hindia Belanda merasa khawatir dengan
menurunnya tingkat kemakmuran orang-orang pribumi saat itu. Untuk mengetahui
sebab-sebabnya dan menemukan cara-cara memperbaikinya, pemerintah Hindia
Belanda mengangkat suatu komisi, yang diketuai oleh seseorang bernama
Steinmetr. Komisi ini kemudian menerbitkan beberapa laporan yang satu
diantaranya berisi perkiraan pendapatan dan belanja penduduk pribumi di Jawa
dan Madura.[3]
Percobaaan kedua dalam menghitung
pendapatan nasional dikerjakan tahun 1942 oleh J.W. Meier Ranneft dan W Huender
sehubungan dengan keinginan pemerintah untuk mengetahui beban pajak atas
penduduk pribumi. Beberapa tahun kemudian perhitungan ketiga dicoba oleh F.de
M. van Ginkel untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura. Antara tahun 1928
dan 1930 keluarlah empat laporan yang masing-masing meliputi propinsi-propinsi
pantai Barat Sumatera, pantai Timur Sumatera, distrik Lampung, dan
propinsi-propinsi lain.[4]
Percobaan perhitungan keempat dan
lebih lengkap dilakukan oleh L. Goetzen untuk tahun-tahun 1926 hingga tahun
1932 meliputi seluruh penduduk di
seluruh Hindia Belanda. Perhitungan ini sudah lengkap baik golongan penduduk
maupun daerahnya. Metode yang dipakainya berpengaruh atas perhitungan yang
kemudian, yaitu perhitungan oleh J. J. Polak. Perhitungan Polak ini adalah yang
terakhir sebelum Perang Dunia II, untuk tahun-tahun 1921-1939. Metode yag
dipakai adalah metode menghitung produksi berdasar lapangan usaha. Metode ini
juga yang hingga sekarang masih digunakan oleh BPS.[5]
Sehabis Perang Dunia II (sesudah
Indonesia merdeka) percobaan menghitung pendapatan nasional dikerjakan oleh Dr.
S. D. Neumark, penasehat PBB untuk pemerintah Indonesia, pada tahun 1951-1952.
Sesudah Indonesia menjadi anggota PBB
kembali penasehat teknis PBB yang baru bernama C. Ross ditempatkan di BPS.
Selama tahun-tahun ini diusahakan perbaikan-perbaikan pengumpulan data pokok
dengan mengikuti pedoman-pedoman PBB. Hasilnya pada tahun 1970, BPS menerbitkan
perhitungan pendapatan nasional untuk tahun-tahun 1960-1968. Sejak saat itu
sampai sekarangBPS terus menerbitkan hasil perhitungan setiap tahun.[6]
D. Istilah-Istilah dalam Pendapatan Nasional
1.
Produk
Domestik Bruto (Gross Domestic Bruto/GDP)
Di negara-negara berkembang, konsep
Produk Domestik Bruto adalah konsep yang paling penting dibandingkan konsep
pendapatan nasional lainnya. Produk Domestik Bruto (PDB) dapat diartikan
sebagai nilai barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksikan di dalam negara
tersebut dalam satu tahun tertentu.[7]
Di dalam suatu perekonomian, di
negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang, barang dan jasa
diproduksikan bukan saja oleh perusahaan milik penduduk negara tersebut tetapi
oleh penduduk negara lain. Selalu didapati produksi nasional diciptakan oleh
faktor-faktor produksi yang berasal dari luar negeri. Dengan demikian, Produk
Domestik Bruto atau dalam istilah Inggrisnya Gross Domestic Product
(GDP), adalah nilai barang dan jasa dalam suatu negara yang diproduksikan
oleh faktor-faktor produksi milik warga negara tersebut dan negara asing.[8]
2.
Produk
Nasional Bruto (Gross National Product/GNP)
Produk Nasional Bruto (PNB), atau
dalam bahasa Inggris disebut Gross National Product (GNP) adalah konsep
yang mempunyai arti hampir sama dengan GDP. Dalam menghitung Pendapatan
Nasional Bruto, nilai barang dan jasa yang dihitung dalam pendapatan
nasional hanya barang dan jasa yang diproduksi oleh faktor-faktor produksi yang
dimiliki oleh warga negara dari negara yang pendapatan nasionalnya dihitung.[9]
Secara konsepsual, pendapatan warga
negara Singapura yang berkerja di Indonesia dan perusahaan multinasional Jepang
yang beroperasi di Indonesia tidak termasuk dalam Produk Nasional Bruto Indonesia.
Tetapi sebaliknya, pendapatan pekerja-pekerja Indonesia yang berkerja di luar
negeri termasuk dalam Produk Nasional Bruto Indonesia.[10]
3.
Produk
Nasional Neto (Net National Product/NNP)
Produk Nasional Neto adalah
pendapatan total penduduk suatu negara dikurangi berbagai pengeluaran atau
kerugian akibat depresiasi. Depresiasi adalah penyusutan nilai karena pemakaian
atas berbagai peralatan dan struktur ekonomi. Sebagai contoh, truk yang lama
dipakai bisa rusak dan berkarat, atau bola lampu bisa putus setelah sekian lama
digunakan. Dalam pembukuan pendapatan nasional yang disusun oleh Departemen
Perdagangan Amerika Serikat, depresiasi disebut sebagai “konsumsi modal tetap” (consumption
of fixed capital).[11]
4.
Pendapatan
Perorangan (Personal Income)
Pendapatan perorangan adalah
pendapatan yang diterima rumah tangga dan bisnis kecil (nonperusahaan).
Pendapatan perorangan memasukkan pendapatan bunga atau keuntungan yang diterima
rumah tangga atas kepemilikan mereka terhadap surat obligasi atau surat utang
pemerintah, misalnya dalam bentuk Jaminan Sosial dan kesejahteraan.[12]
5.
Pendapatan
Disposabel Perorangan (Disposable Personal Income)
Pendapatan disposabel perorangan
adalah pendapatan rumah tangga dan bisnis nonperusahaan yang masih tersisa
setelah mereka membayarkan kewajiban kepada pemerintah/negara (berupa pajak,
cukai, dan pungutan resmi). Dalam kalimat lain, pendapatan perorangan yang
dapat digunakan adalah pendapatan perorangan dikurangi pajak dan aneka
pembayaran resmi non pajak (misalnya denda tilang, dll).[13]
E. Perhitungan Pendapatan Nasional
1.
Cara Perhitungan Pendapatan Nasional
a.
Cara Perhitungan I : Cara Pengeluaran
Perhitungan pendapatan
nasional dengan cara pengeluaran membedakan pengeluaran keatas barang dan jasa yang dihasilkan dalam
perekonomian kepada 4 komponen, yaitu konsumsi rumah tangga, pengeluaran
pemerintah, pembentukan modal sektor swasta (investasi) dan ekspor neto.[14]
Perhitungan Pendapatan Nasional Indonesia,
2002 (Triliun Rupiah)
Jenis Pengeluaran
|
Menurut Harga Berlaku
|
Menurut Harga Tetap 1993
|
|
Nilai
|
Persentasi
|
||
1. Pengeluaran konsumsi rumah tangga
|
1.138,3
|
70,7
|
302,1
|
2. Pengeluaran konsumsi pemerintah
|
132,1
|
8,2
|
35,3
|
3. Pembentukan modal tetap domestik bruto
|
325,3
|
26,2
|
96,1
|
4. Perubahan stok
|
-96,0
|
-6,0
|
-25,7
|
5. Ekspor barang dan jasa
|
569,9
|
35,4
|
116,9
|
6. Impor barang dan jasa
|
459,6
|
28,5
|
98,0
|
Produk
Domestik Bruto (PDB)
|
1.610,0
|
100
|
426,7
|
7. Pendapatan neto faktor dari luar negeri
|
-77,8
|
-4,8
|
-22,2
|
Produk
Nasional Bruto
|
1.532,2
|
95,2
|
404,5
|
Dikurangi:
pajak tak langsung
|
71,2
|
4,4
|
18,9
|
Dikurangi:
depresiasi
|
80,5
|
5,0
|
21,3
|
Pendapatan
nasional
|
1.380,5
|
85,8
|
364,3
|
Sumber: Badan Pusat
Statistik, Statistik Indonesia 2002.
Perhitungan pendapatan
nasional dengan cara pengeluran dilakukan dengan menjumlahkan nilai
barang-barang jadi yang dihasilkan dalam perekonomian.[15]
b.
Cara Perhitungan II : Cara Produk Neto
Produk neto (net
output) berarti nilai tambah yang diciptakan dalam suatu proses produksi.
Dengan demikian, cara kedua untuk menghitung pendapatan nasional ini adalah
cara menghitung dengan menjumlah nilai tambah yang diwujudkan oleh
perusahaan-perusahaan di berbagai lapangan usaha dalam perekonomian.[16]
Contoh menghitung nilai tambah:
Jenis Kegiatan
|
Nilai penjualan (ribu rupiah)
|
Nilai tambah (ribu rupiah)
|
1.
Mengambil kayu hutan
|
50
|
50
|
2.
Menggergaji papan
|
200
|
150
|
3.
Membuat perabot
|
600
|
400
|
4.
Menjual perabot di toko
|
800
|
200
|
Jumlah nilai penjualan
dan nilai tambah
|
1.650
|
800
|
Dengan demikian jumlah
nilai tambah yang diwujudkan oleh keempat kegiatan itu adalah Rp. 800.000.
Pengeluaran konsumen untuk membeli perabot ini adalah Rp. 800.000 juga. Ini
berarti dalam perhitungan menurut cara produk neto, nilai pendapatan nasional yang
disumbangkan berbagai kegiatan di atas sama dengan dalam perhitungan menurut
cara pengeluaran.[17]
Perhitungan pendapatan
nasional menurut cara produk neto:
Produk Domestik Bruto Menurut Lapangan Usaha,
2002 (Triliun Rupiah)
Lapangan usaha
|
Menurut harga berlaku
|
Harga tetap tahun 1993
|
||
Nilai
|
Persentase
|
Nilai
|
Presentase
|
|
1. Pertanian, perternakan, kehutanan, perikanan
|
281,3
|
17,6
|
68,0
|
15,9
|
2. Pertambangan dan penggalian
|
191,8
|
11,9
|
39,8
|
9,3
|
3. Industri pengolahan
|
402,6
|
25,0
|
113,7
|
26,7
|
4. Listrik, gas dan air
|
29,1
|
1,8
|
7,5
|
1,8
|
5. Bangunan
|
92,4
|
5,7
|
25,3
|
5,9
|
6. Perdagangan, hotel dan restoran
|
258,9
|
16,1
|
69,3
|
16,2
|
7. Pengangkutan dan komunikasi
|
97,3
|
6,0
|
33,6
|
7,9
|
8. Keuangan, sewa dan jasa perusahaan
|
105,6
|
6,5
|
29,9
|
7,0
|
9. Jasa-jasa lain (termasuk pemerintahan)
|
151,0
|
9,4
|
39,6
|
9,3
|
PRODUK DOMESTIK BRUTO
|
1.610,0
|
100,0
|
426,7
|
100,0
|
Sumber:
Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2002.
Pada tabel di atas
ditunjukkan bagaimana pendapatan nasional menurut cara produk neto dihitung.
Data yang dikemukakan adalah untuk tahun 2002. Data yang dikumpulkan
digolongkan kepada berbagai sektor di mana nilai tambah diwujudkan. Oleh sebab itu data yang dikemukakan
dinamakan Produk Domestik Bruto (PDB) menurut lapangan usaha.[18]
Tabel di atas
menunjukkan berbagai kegiatan ekonomi di Indonesia dan sumbangannya mewujudkan
pendapatan nasional. Nilai produksi suatu sektor menggambarkan nilai tambah
yang diwujudkan sektor tersebut. Sebagai contoh, misalkan produksi sektor
pertanian adalah Rp. 300 triliun dan sektor tersebut membeli bahan mentah dari
sektor lain dengan nilai Rp. 100 triliun. Berdasarkan contoh ini dapatlah
disimpulkan bahwa sektor pertanian menghasilkan nilai tambah sebanyak Rp. 200
triliun.[19]
c.
Cara Perhitungan III : Cara Pendapatan
Dalam ilmu
mikroekonomi telah diterangkan bahwa, faktor-faktor produksi dibedakan menjadi
4 golongan, tanah, tenaga kerja, modal, dan keahlian keusahawanan. Apabila
faktor-faktor produksi itu digunakan untuk mewujudkan barang dan jasa akan
diperoleh berbagai jenis pendapatan, yaitu tanah dan harta tetap lainnya
memperoleh sewa, tenaga kerja memperoleh gaji dan upah, modal memperoleh bunga
dan keahlian keusahawanan memperoleh keuntungan. Dengan menjumlahkan
pendapatan-pendapatan tersebut akan diperoleh suatu nilai pendapatan nasional
lain, yang berbeda dengan yang diperoleh dalam perhitungan pendapatan nasional
dengan kedua cara yang dijelaskan sebelumnya.[20]
Sampai sekarang
Indonesia belum menggunakan cara ini untuk menghitung pendapatan nasionalnya.
Salah satu negara yang menggunakan cara penggolongan data pendapatan nasional
seperti cara yang dijelaskan di atas adalah Amerika Serikat.
Pendapatan Nasional Amerika Serikat, 1997 (milyar dolar Amerika)
Jenis kegiatan
|
Nilai (milyar)
|
Persentase
|
1.
Ganjaran untuk pekerja
|
4.703
|
70,7
|
2.
Pendapatan usaha perseorangan
|
545
|
8,2
|
3.
Pendapatan dari sewa
|
148
|
2,2
|
4.
Keuntungan perusahaan perseroan
|
804
|
12,1
|
5.
Bunga bersih neto
|
450
|
6,8
|
Pendapatan Nasional
|
6.650
|
100,0
|
Data yang diberikan
menunjukkan bahwa pendapatan nasional Amerika Serikat pada tahun tersebut
adalah US$ 6.650 milyar. Nilai ini adalah lebih rendah dari Produk Domestik
Bruto Amerika Serikat pada tahun yang sama, yaitu sebesar US$ 8.084 milyar. Hal
tersebut disebabkan karena depresiasi, pajak tidak langsung, dan pendapatan
neto faktor dari luar tidak termasuk lagi dalam nilai tersebut.[21]
2.
Faktor
Yang Mempengaruhi Pendapatan Nasional
a.
Permintaan dan penawaran
agregat
Permintaan
agregat menunjukkan hubungan antara keseluruhan permintaan terhadap
barang-barang dan jasa sesuai dengan tingkat harga. Permintaan agregat adalah
suatu daftar dari keseluruhan barang dan jasa yang akan dibeli oleh
sektor-sektor ekonomi pada berbagai tingkat harga, sedangkan penawaran agregat
menunjukkan hubungan antara keseluruhan penawaran barang-barang dan jasa yang
ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan dengan tingkat harga tertentu.[22]
b.
Konsumsi dan tabungan
Konsumsi
adalah pengeluaran total untuk memperoleh barang-barang dan jasa dalam suatu
perekonomian dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun), sedangkan tabungan (saving) adalah bagian dari pendapatan yang
tidak dikeluarkan untuk konsumsi. Antara konsumsi, pendapatan, dan tabungan
sangat erat hubungannya. Hal ini dapat kita lihat dari pendapat Keynes
yang dikenal dengan psychological consumption yang membahas tingkah laku
masyarakat dalam konsumsi jika dihubungkan dengan pendapatan.[23]
c.
Investasi
Pengeluaran
untuk investasi merupakan salah satu komponen penting dari pengeluaran agregat.[24]
3.
Manfaat
Dari Perhitungan Pendapatan Nasional
a.
Menilai Prestasi Kegiatan Ekonomi
Pendapatan nasional pada hakikatnya merupakan ukuran
dari sejauh mana perusahaan-perusahaan beroperasi dan mengeluarkan
barang-barang dan jasa. Semaki tinggi pendapatan nasional, semakin besar output
yang diciptakan dalam suatu negara dan semakin tinggi kapasitas barang-barang
modal yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan. Kenaikan pendapatan nasional
juga berkaitan erat dengan kenaikan kesempatan kerja.[25]
b.
Menentukan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi yang
Dicapai
Dengan membandingkan data pendapatan nasional riil pada
suatu tahun tertentu dengan pendapatan nasional riil pada masa lalu akan dapat
ditentukan tingkat pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi sudah dapat
digolongkan “menggalakkan” apabila tingkat yang dicapai mampu mengurangi
tingkat pengangguran.[26]
c.
Memberi Gambaran Mengenai Taraf Kemakmuran
Dalam jangka panjang, apabila data pendapatan per kapita
menurut harga tetap di bandingkan, dapat pula diperoleh gambaran tentang
peningkatan taraf kemakmuran yang dicapai penduduk suatu negara. Seterusnya data pendapatan per kapita di
berbagai negara dalam satu periode tertentu dapat digunakan untuk membandingkan
kesuksesan berbagai negara dalam usaha untuk meningkatkan taraf kemakmuran
masyarakatnya.[27]
F. Pendapatan Nasional dalam Perspektif Islam
Pada intinya, ekonomi Islam harus mampu
menyediakan suatu cara untuk mengukur kesejahteraan ekonomi dan
kesejahteraan sosial berdasarkan sistem moral dan sosial Islam.
Setidaknya ada empat hal yang semestinya bisa
diukur dengan pendekatan pendapatan nasional berdasarkan ekonomi Islam,
sehingga tingkat kesejahteraan bisa dilihat secara
lebih jernih. Empat hal tersebut adalah:
1.
Pendapatan Nasional harus
dapat mengukur penyebaran pendapatan individu rumah tangga
Penghitungan pendapatan nasional islami harus dapat
mengenali penyebaran alamiah dari output per kapita tersebut, karena dari
sinilah nilai-nilai sosial dan ekonomi Islami bisa masuk. Jika penyebaran
pendapatan individu secara nasional bisa dideteksi secara akurat, maka akan
dengan mudah dikenali seberapa besar rakyat yang masih hidup di bawah garis
kemiskinan.
2.
Pendapatan nasional harus
dapat mengukur produksi di sektor pedesaaan
Peningkatan produksi pertanian di tingkat rakyat pedesaan, umumnya justru mencerminkan penurunan harga produk-produk pangan di tangan konsumen subur, atau sekaligus mencerminkan
peningkatan pendapatan para pedagang perantara, yang posisinya berada di antara
petani dan konsumen. Ketidakmampuan mendeteksi secara akurat pendapatan dari
sektor subsisten ini jelas satu kelemahan yang harus segera diatasi, karena di
sektor inilah bergantung nafkah dalam jumlah besar, dan di sinilah inti masalah
dari distribusi pendapatan.
3.
Pendapatan nasional harus
dapat mengukur kesejahteraan ekonomi islami
Sungguh menarik untuk mengkaji apa yang dilakukan Nordhaus dan Tobin dengan
Measures for Economics Welfare (MEW), dalam konteks ekonomi barat. Kalau
GNP mengukur hasil, maka MEW merupakan ukuran dari konsumsi rumah tangga yang
memberi kontribusi kepada kesejahteraan manusia. Perkiraan MEW
didasarkan kepada asumsi bahwa kesejahteraan rumah tangga yang merupakan ujung
akhir dari seluruh kegiatan ekonomi sesungguhnya sangat bergantung pada tingkat
konsumsinya. Meski MEW ini diukur dalam konteks barat,
konsep ini sebenarnya menyediakan petunjuk-petunjuk yang berharga untuk
memperkirakan level kebutuhan hidup minimum secara islami.
4.
Penghitungan pendapatan
nasional sebagai ukuran dari kesejahteraan sosial islami melalui pendugaan
nilai santunan antar saudara dan sedekah
Sedekah memiliki peran yang signifikan di dalam masyarakat islam. Dan ini bukan sekedar pemberian suka rela kepada orang
lain namun merupakan bagian dari kepatuhan dalam menjalankan kehidupan
beragama. Di dalam masyarakat Islam, terdapat satu kewajiban menyantuni kerabat
yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Meski tidak gampang memperoleh
datanya, upaya mengukur nilai dari pergerakan semacam ini dapat menjadi
informasi yang sangat bermanfaat untuk mendalami bekerjanya sistem keamanan
sosial yang mengakar di masyarakat islam.[28]
Dibanding amal
sedekah yang sering dikeluarkan umat Islam kepada mereka yang kurang beruntung,
sesungguhnya lebih mudah mengestimasi zakat, satu kewajiban pembayaran transfer
yang paling penting di negara muslim. Kini sedang diupayakan mengukur
pendapatan dari zakat sebagai persentase dari GNP. Pengukuran ini akan sangat
bermanfaat sebagai variabel kebijakan di dalam pengambilan keputusan dibidang
sosial dan ekonomi, sebagai bagian dari rancangan untuk mengentaskan
kemiskinan. Pendayagunaan peran zakat untuk mengatasi masalah kemiskinan di
negara-negara muslim kini tengah menjadi agenda negara-negara tersebut.[29]
G. Kesimpulan
1.
Pendapatan
nasional adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor produksi
yang digunakan untuk memproduksikan barang dan jasa dalam satu periode,
biasanya satu tahun
2.
Konsep
pendapatan nasional pertama kali dicetuskan oleh Sir William Petty dari Inggris
yang berusaha menaksir pendapatan nasional negaranya (Inggris) pada tahun 1665.
Dalam perhitungannya, ia menggunakan anggapan bahwa pendapatan nasional
merupakan penjumlahan biaya hidup (konsumsi) selama setahun.
3.
Konsep
dalam pendapatan nasional antara lain: Produk Domestik Bruto (Gross Domestic
Product/GDP), Produk Nasional Bruto (Gross National Product/GNP),
Produk Nasional Neto (Net National Product/NNP), Pendapatan Perorangan (Personal
Income), dan Pendapatan Disposabel Perorangan (Disposable Personal
Income).
4.
Terdapat 3
cara untuk menghitung pendapatan nasional suatu negara, yaitu cara pengeluaran,
cara produk neto, dan cara pendapatan. Manfaat dari penghitungan pendapatan
nasional antara lain, menilai prestasi kegiatan ekonomi,menentukan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang dicapai, dan memberi gambaran mengenai taraf
kemakmuran. Faktor yang mempengaruhi pendapatan nasional antara lain,
permintaan dan penawaran agregat, konsumsi dan tabungan, serta investasi.
5.
Dalam
perspektif Islam, pendapatan nasional harus dapat mengukur penyebaran pendapatan individu rumah tangga, produksi di sektor pedesaaan, kesejahteraan ekonomi
islami, dan pendugaan nilai santunan antar saudara dan sedekah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Sukirno, Sadono, MAKROEKONOMI
TEORI PENGANTAR, Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2006.
Gregory, N., Pengantar
Ekonomi, Jakarta: Erlangga, 2003.
Schulte, Charles L., Analisa
Pendapatan Nasional, Jakarta: PT Bina Aksara, 1981.
Partadiredja, Ace, Perhitungan Pendapatan Nasional, Jakarta:
LP3ES, 1989.
Nasution, Mustafa Edwin, Pengenalan Eksklusif: Ekonomi
Islam, Jakarta: Kencana, 2010.
Internet
Wikipedia,
Pendapatan Nasional, website:http://id.wikipedia.org/wiki/Pendapatan_nasional (online pada hari Sabtu,
tanggal 6 September 2014, pukul 13:00 wib)
Hari, Pendapatan
Nasional, website: http://ekmakro.blogspot.com/2011/09/pendapatan-nasional.html (online pada hari Sabtu, tanggal 6
September 2014, pukul 13:00 wib)
Erwin, Pendapatan
Nasional, website:http://erwin7286.blogspot.com/2011/04/pendapatan-nasional.html (online pada hari Sabtu, tanggal 6
September 2014, pukul 13:00 wib)
Nita Kumala, Pendapatan Nasional Dalam Perspektif
Islam, website: http://thathakd.blogspot.com/2014/01/ekonomi-syariah-pendapatan-nasional.html
(online pada hari Jumat, 5 November 2014, pukul 19:00 WIB)
[1]Sadono Sukirno, MAKROEKONOMI
TEORI PENGANTAR, Jakarta, PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2006, hlm. 35-36.
[2]Wikipedia, Pendapatan Nasional,
website: http://id.wikipedia.org/wiki/Pendapatan_nasional
(online pada hari Sabtu, tanggal 6 September 2014, pukul 13:00 wib)
[3]Ace Partadiredja, Perhitungan Pendapatan Nasional, Jakarta:
LP3ES, 1989, hlm. 25.
[4]Ibid.
[6]Ace Partadiredja, Perhitungan Pendapatan…, hlm. 27.
[7]Sadono Sukirno, MAKROEKONOMI…, hlm. 34.
[9]Ibid.
[10]Sadono Sukirno, MAKROEKONOMI…, hlm. 35.
[11]N. Gregory Mankiw, Pengantar Ekonomi, Jakarta: Erlangga,
2003, hlm. 10.
[12]Ibid.
[13]Ibid.
[14]Sadono Sukirno, MAKROEKONOMI…, hlm. 39.
[17]Sadono Sukirno, MAKROEKONOMI
…, hlm. 42.
[18]Sadono Sukirno, MAKROEKONOMI
…, hlm. 43.
[19]Ibid.
[21]Sadono Sukirno, MAKROEKONOMI
…, hlm. 45.
[22]Wikipedia, Pendapatan Nasional,
website: http://id.wikipedia.org/wiki/Pendapatan_nasional
(online pada hari Sabtu, tanggal 6 September 2014, pukul 13:00 wib)
[23]Wikipedia, Pendapatan Nasional,
website: http://id.wikipedia.org/wiki/Pendapatan_nasional
(online pada hari Sabtu, tanggal 6 September 2014, pukul 13:00 wib)Ibid.
[24]Ibid.
[25]Sadono Sukirno, MAKROEKONOMI
…, hlm. 55.
[27]Sadono Sukirno, MAKROEKONOMI
…, hlm. 56.
[29]Nita Kumala, Pendapatan Nasional Dalam Perspektif Islam, website:
http://thathakd.blogspot.com/2014/01/ekonomi-syariah-pendapatan-nasional.html
(online pada hari Jumat, 5 November 2014, pukul 19:00 WIB)
No comments:
Post a Comment