Efek

Tuesday, February 24, 2015

Zakat Profesi

NASKAH SKENARIO
DIALOG KEAGAMAAN DI RRI PALANGKA RAYA
“ZAKAT PROFESI”
Oleh:
Eka Surianyah, M.Si, M. Zainal Arifin, M.Hum, dan Rujihan Sahibul Aqla

                    Barangkali bentuk penghasilan yang paling menyolok pada zaman sekarang ini adalah apa yang diperoleh dari pekerjaan dan profesinya. Pekerjaan yang menghasilkan  uang  ada  dua  macam, yakni :
a.       Pertama adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung kepada orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak. Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini merupakan penghasilan profesional, seperti penghasilan seorang doktor, insinyur, advokat, seniman, penjahit,  tukang  kayu dan lain-lainnya.
b.      Yang kedua, adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat pihak lain-baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah, yang diberikan, dengan tangan, otak, ataupun kedua-duanya. Penghasilan dari pekerjaan seperti itu berupa gaji, upah, ataupun honorarium.
                    Wajibkah kedua macam penghasilan yang berkembang sekarang itu dikeluarkan zakatnya ataukah tidak? Bila wajib, berapakah nisabnya, besar zakatnya, dan bagaimana tinjauan fikih Islam tentang masalah itu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu sekali memperoleh jawaban pada masa sekarang, supaya setiap orang mengetahui kewajiban dan haknya. Bentuk-bentuk penghasilan dengan bentuknya yang modern, volumenya yang besar, dan sumbernya yang luas itu, merupakan sesuatu yang belum dikenal oleh para ulama fikih pada masa silam. Kita menguraikan jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam tiga pokok masalah:
1.      
Pandangan fikih tentang penghasilan dan profesi, serta pendapat para ulama fikih pada zaman dulu dan sekarang tentang hukumnya, serta penjelasan tentang pendapat yang kuat.
2.       Nisab, besarnya, dan cara menetapkannya.
3.       Besar zakatnya.
Pertanyaan : Bagaimana pandangan Fikih tentang penghasilan dan profesi?
Jawaban : Pendapat ulama Mutakhir, yakni:  Abdur Rahman Hasan, Muhammad Abu  Zahrah, dan Abdul Wahab Khalaf telah mengemukakan persoalan ini dalam ceramahnya tentang zakat di Damaskus pada tahun 1952. Ceramah mereka tersebut sampai pada suatu kesimpulan yang teksnya sebagai berikut: "Penghasilan dan profesi dapat diambil zakatnya bila sudah setahun dan cukup senisab. Jika kita berpegang kepada pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad bahwa nisab tidak perlu harus tercapai sepanjang tahun, tapi cukup tercapai penuh antara dua ujung tahun tanpa kurang di tengah-tengah kita dapat menyimpulkan bahwa dengan penafsiran tersebut memungkinkan untuk mewajibkan zakat atas hasil penghasilan setiap tahun, karena  hasil itu jarang terhenti sepanjang tahun bahkan kebanyakan mencapai kedua sisi ujung tahun tersebut. Berdasar hal itu, kita dapat menetapkan hasil penghasilan sebagai sumber zakat, karena terdapatnya illat (penyebab), yang menurut ulama-ulama fikih sah, dan nisab, yang merupakan landasan wajib zakat."
                    Mazhab Hanafi mengatakan bahwa jumlah senisab itu cukup terdapat pada awal dan akhir tahun saja tanpa harus terdapat di pertengahan tahun. Ketentuan itu harus diperhatikan dalam mewajibkan zakat atas hasil penghasilan dan profesi ini, supaya dapat jelas siapa yang tergolong kaya dan siapa yang tergolong miskin, seorang pekerja profesi jarang tidak memenuhi ketentuan tersebut. Mengenai besar zakat, mazhab ini mengatakan bahwa penghasilan dan profesi, kita tidak menemukan contohnya dalam fikih, selain masalah khususnya mengenai penyewaan yang dibicarakan Ahmad. Ia dilaporkan berpendapat tentang seseorang yang menyewakan rumahnya dan mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya tanpa persyaratan setahun. Hal itu pada hakikatnya menyerupai mata penghasilan, dan wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab.
                    Imam Malik berpendapat gaji dan upah (profesi) dapat digolongkan kepada kekayaan penghasilan yaitu kekayaan yang diperoleh oleh seorang muslim melalui suatu usaha yang sesuai dengan syariat Islam, sehingga harta penghasilan tidak dikeluarkan zakatnya sampai penuh waktu setahun, kalau tidak atau belum mencapai nisab maka tidak wajib zakat, sedangkan Imam Syafi'i mengatakan bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan zakatnya bila mencapai waktu setahun meskipun ia memiliki harta sejenis yang sudah cukup nisab.
                    Sejumlah sahabat, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Mu'awiyah, Shadiq, Baqir, Nashir, Daud, dan diriwayatkan juga Umar bin Abdul Aziz, Hasan, Zuhri,  serta Auza'i berpendapat bahwa kewajiban zakat kekayaan tersebut langsung, tanpa menunggu batas waktu setahun, dan Abu Ubaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang seorang laki-laki yang memperoleh penghasilan "Ia mengeluarkan zakatnya pada hari ia memperolehnya."
Pertanyaan : Pendapat mana yang lebih kuat tentang zakat profesi tersebut?
Jawaban : berdasarkan pendapat tersebut adalah pendapat ulama- ulama fikih meskipun yang terkenal banyak di kalangan para ulama fikih itu adalah bahwa masa setahun merupakan syarat mutlak setiap harta benda wajib zakat, harta benda perolehan maupun bukan. Hal itu berdasarkan hadis-hadis mengenai ketentuan masa setahun tersebut dan penilaian bahwa hadis-hadis tersebut berlaku bagi semua kekayaan termasuk harta hasil usaha.
Pertanyaan : Bagaimana nisab profesi tersebut?
Jawaban : Kita sudah mengetahui, bahwa Islam tidak mewajibkan zakat atas seluruh harta benda, sedikit atau banyak, tetapi mewajibkan zakat atas harta benda yang mencapai nisab, bersih dari  hutang (gaji bersih), serta lebih dari kebutuhan pokok pemiliknya. Muhammad Ghazali dalam diskusi diatas cenderung untuk mengukurnya menurut ukuran tanaman dan buah-buahan. Siapa yang memiliki pendapatan tidak kurang dari pendapatan seorang petani yang wajib mengeluarkan zakat maka orang itu wajib mengeluarkan zakatnya. Artinya, siapa yang mempunyai pendapatan yang mencapai lima wasaq (50 kail Mesir) atau 653 kg, dari yang terendah nilainya yang  dihasilkan tanah seperti gandum, wajib berzakat. (kira-kira Rp. 3.200.000,- dalam satu haul).
                    Sementara bagi orang-orang yang memiliki profesi, kadang-kadang memperoleh dan menerima pendapatan mereka tidak teratur, kadang-kadang setiap hari seperti pendapatan seorang dokter, kadang-kadang pada saat-saat tertentu seperti advokat dan kontraktor serta penjahit atau sebangsanya, sebagian pekerja menerima upah mereka setiap minggu atau dua minggu, dan kebanyakan pegawai menerlma gaji mereka setiap bulan, lalu bagaimana kita menentukan penghasilan mereka itu? Disini kita bertemu dengan dua kemungkinan:
1.       Memberlakukan nisab dalam setiap jumlah pendapatan atau penghasilan yang diterima. Dengan demikian, penghasilan yang mencapai nisab seperti gaji yang tinggi dan honorarium yang besar para pegawai dan karyawan, serta pembayaran-pembayaran yang besar kepada para golongan profesi, wajib dikenakan zakat, sedangkan yang tidak mencapai nisab tidak terkena. 
2.       Kemungkinan yang kedua, yaitu mengumpulkan gaji atau penghasilan yang diterima berkali-kali itu dalam waktu tertentu, seperti nisab pertambangan.
                    Bagi para pegawai pemerintahan  yang telah diatur gaji pegawainya berdasarkan ukuran tahun, meskipun dibayarkan perbulan karena kebutuhan pegawai yang mendesak. Berdasarkan hal itulah zakat penghasilan bersih seorang pegawai dan golongan profesi dapat diambil dari setahun penuh, jika pendapatan bersih setahun itu mencapai satu nisab.
Pertanyaan : Berapa besar zakat profesi?
Jawaban : Penghasilan  yang  diperoleh dari modal saja atau dari modal kerja seperti penghasilan pabrik, gedung, percetakan, hotel, mobil, kapal terbang dan yang sejenisnya maka besar zakatnya adalah sepersepuluh (1%) dari pendapatan bersih setelah biaya, hutang, kebutuhan-kebutuhan pokok dan lain-lainnya dikeluarkan, berdasarkan qias kepada penghasilan dari hasil pertanian yang diairi tanpa ongkos tambahan. Sedangkan untuk modal yang tersebar dalam sektor perdagangan maka zakatnya diambil dari modal beserta keuntungannya sebesar seperempat puluh (2,5%). Untuk pendapatan pegawai dan golongan profesi yang mereka peroleh dari pekerjaan mereka, maka besar zakat yang wajib dikeluarkan adalah seperempat puluh (2,5%), sesuai dengan  keumuman nash yang mewajibkan zakat uang sebanyak seperempat puluh, baik harta penghasilan maupun yang harta yang bermasa tempo, hal ini mengikuti tindakan Ibnu Mas'ud dan Mu'awiyah yang telah memotong sebesar tertentu, berupa zakat, dari gaji para tentara dan para penerima gaji lainnya langsung di dalam kantor pembayaran gaji, juga sesuai dengan apa yang diterapkan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Pertanyaan : Hikmah apa yang didapat dari adanya zakar profesi ini?
Jawaban : Bagi pezakat (pembayar zakat) yakni untuk menghilangkan sifat kikir, menyayangi sesama, meningkatkan kepekaan sosial, dan juga untuk membersihkan hasil pendapatan dari hal-hal yang tidak baik, seperti sesuatu yang bersifat subhat. Sedangkan bagi penerima zakat tentunya untuk meningkatkan kualitas (kesejahteraan) hidupnya, dan memperbaiki/menghilangkan kesenjangan antara kaum miskin dan kaum kaya.  
 
 
 
WASSALAM

No comments: