NASKAH SKENARIO
DIALOG KEAGAMAAN DI RRI PALANGKA RAYA
“ZAKAT PROFESI”
Oleh:
Eka Surianyah, M.Si, M. Zainal Arifin, M.Hum, dan Rujihan Sahibul
Aqla
Barangkali
bentuk penghasilan yang paling menyolok pada zaman sekarang ini adalah apa yang
diperoleh dari pekerjaan dan profesinya. Pekerjaan yang menghasilkan uang
ada dua macam, yakni :
a.
Pertama
adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung kepada orang lain,
berkat kecekatan tangan ataupun otak. Penghasilan yang diperoleh dengan cara
ini merupakan penghasilan profesional, seperti penghasilan seorang doktor,
insinyur, advokat, seniman, penjahit,
tukang kayu dan lain-lainnya.
b.
Yang
kedua, adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat pihak lain-baik
pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah, yang
diberikan, dengan tangan, otak, ataupun kedua-duanya. Penghasilan dari
pekerjaan seperti itu berupa gaji, upah, ataupun honorarium.
Wajibkah
kedua macam penghasilan yang berkembang sekarang itu dikeluarkan zakatnya
ataukah tidak? Bila wajib, berapakah nisabnya, besar zakatnya, dan bagaimana
tinjauan fikih Islam tentang masalah itu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu sekali
memperoleh jawaban pada masa sekarang, supaya setiap orang mengetahui kewajiban
dan haknya. Bentuk-bentuk penghasilan dengan bentuknya yang modern, volumenya
yang besar, dan sumbernya yang luas itu, merupakan sesuatu yang belum dikenal
oleh para ulama fikih pada masa silam. Kita menguraikan jawaban pertanyaan-pertanyaan
tersebut dalam tiga pokok masalah:
1.
Pandangan
fikih tentang penghasilan dan profesi, serta pendapat para ulama fikih pada
zaman dulu dan sekarang tentang hukumnya, serta penjelasan tentang pendapat
yang kuat.
2.
Nisab,
besarnya, dan cara menetapkannya.
3.
Besar
zakatnya.
Pertanyaan : Bagaimana pandangan Fikih
tentang penghasilan dan profesi?
Jawaban : Pendapat
ulama Mutakhir, yakni: Abdur Rahman
Hasan, Muhammad Abu Zahrah, dan Abdul
Wahab Khalaf telah mengemukakan persoalan ini dalam ceramahnya tentang zakat di
Damaskus pada tahun 1952. Ceramah mereka tersebut sampai pada suatu kesimpulan
yang teksnya sebagai berikut: "Penghasilan dan profesi dapat diambil
zakatnya bila sudah setahun dan cukup senisab. Jika kita berpegang kepada pendapat
Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad bahwa nisab tidak perlu harus tercapai
sepanjang tahun, tapi cukup tercapai penuh antara dua ujung tahun tanpa kurang
di tengah-tengah kita dapat menyimpulkan bahwa dengan penafsiran tersebut
memungkinkan untuk mewajibkan zakat atas hasil penghasilan setiap tahun, karena
hasil itu jarang terhenti sepanjang
tahun bahkan kebanyakan mencapai kedua sisi ujung tahun tersebut. Berdasar hal
itu, kita dapat menetapkan hasil penghasilan sebagai sumber zakat, karena terdapatnya
illat (penyebab), yang menurut ulama-ulama fikih sah, dan nisab, yang merupakan
landasan wajib zakat."
Mazhab
Hanafi mengatakan bahwa jumlah senisab itu cukup terdapat pada awal dan akhir
tahun saja tanpa harus terdapat di pertengahan tahun. Ketentuan itu harus
diperhatikan dalam mewajibkan zakat atas hasil penghasilan dan profesi ini,
supaya dapat jelas siapa yang tergolong kaya dan siapa yang tergolong miskin,
seorang pekerja profesi jarang tidak memenuhi ketentuan tersebut. Mengenai
besar zakat, mazhab ini mengatakan bahwa penghasilan dan profesi, kita tidak
menemukan contohnya dalam fikih, selain masalah khususnya mengenai penyewaan
yang dibicarakan Ahmad. Ia dilaporkan berpendapat tentang seseorang yang menyewakan
rumahnya dan mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa orang tersebut wajib
mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya tanpa persyaratan setahun. Hal itu
pada hakikatnya menyerupai mata penghasilan, dan wajib dikeluarkan zakatnya
bila sudah mencapai satu nisab.
Imam Malik berpendapat gaji dan upah (profesi)
dapat digolongkan kepada kekayaan penghasilan yaitu kekayaan yang diperoleh
oleh seorang muslim melalui suatu usaha yang sesuai dengan syariat Islam,
sehingga harta penghasilan tidak dikeluarkan zakatnya
sampai penuh waktu setahun, kalau tidak atau belum mencapai nisab maka tidak
wajib zakat, sedangkan Imam Syafi'i mengatakan bahwa harta penghasilan itu
dikeluarkan zakatnya bila mencapai waktu setahun meskipun ia memiliki harta
sejenis yang sudah cukup nisab.
Sejumlah
sahabat, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Mu'awiyah, Shadiq, Baqir, Nashir,
Daud, dan diriwayatkan juga Umar bin Abdul Aziz, Hasan, Zuhri, serta Auza'i berpendapat bahwa kewajiban zakat
kekayaan tersebut langsung, tanpa menunggu batas waktu setahun, dan Abu Ubaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang seorang laki-laki yang
memperoleh penghasilan "Ia mengeluarkan zakatnya pada hari ia
memperolehnya."
Pertanyaan : Pendapat mana yang lebih kuat tentang zakat profesi tersebut?
Jawaban : berdasarkan pendapat tersebut adalah pendapat ulama- ulama fikih meskipun yang
terkenal banyak di kalangan para ulama fikih itu adalah bahwa masa setahun merupakan
syarat mutlak setiap harta benda wajib zakat, harta benda perolehan maupun
bukan. Hal itu berdasarkan hadis-hadis mengenai ketentuan masa setahun tersebut
dan penilaian bahwa hadis-hadis tersebut berlaku bagi semua kekayaan termasuk harta
hasil usaha.
Pertanyaan : Bagaimana nisab profesi
tersebut?
Jawaban : Kita
sudah mengetahui, bahwa Islam tidak mewajibkan zakat atas seluruh harta benda, sedikit
atau banyak, tetapi mewajibkan zakat atas harta benda yang mencapai nisab, bersih
dari hutang (gaji bersih), serta lebih
dari kebutuhan pokok pemiliknya. Muhammad Ghazali dalam diskusi diatas
cenderung untuk mengukurnya menurut ukuran tanaman dan buah-buahan. Siapa yang memiliki
pendapatan tidak kurang dari pendapatan seorang petani yang wajib mengeluarkan zakat
maka orang itu wajib mengeluarkan zakatnya. Artinya, siapa yang mempunyai pendapatan
yang mencapai lima wasaq (50 kail Mesir) atau 653 kg, dari yang terendah nilainya
yang dihasilkan tanah seperti gandum,
wajib berzakat. (kira-kira Rp. 3.200.000,- dalam satu haul).
Sementara bagi orang-orang yang memiliki profesi, kadang-kadang memperoleh dan menerima pendapatan mereka tidak teratur, kadang-kadang setiap hari seperti pendapatan seorang dokter, kadang-kadang pada saat-saat tertentu seperti advokat dan kontraktor serta penjahit atau sebangsanya, sebagian pekerja menerima upah mereka setiap minggu atau dua minggu, dan kebanyakan pegawai menerlma gaji mereka setiap bulan, lalu bagaimana kita menentukan penghasilan mereka itu? Disini kita bertemu dengan dua kemungkinan:
1. Memberlakukan nisab dalam setiap jumlah pendapatan atau penghasilan yang diterima. Dengan demikian, penghasilan yang mencapai nisab seperti gaji yang tinggi dan honorarium yang besar para pegawai dan karyawan, serta pembayaran-pembayaran yang besar kepada para golongan profesi, wajib dikenakan zakat, sedangkan yang tidak mencapai nisab tidak terkena.
2. Kemungkinan yang kedua, yaitu mengumpulkan gaji atau penghasilan yang diterima berkali-kali itu dalam waktu tertentu, seperti nisab pertambangan.
Bagi para
pegawai pemerintahan yang telah diatur gaji
pegawainya berdasarkan ukuran tahun, meskipun dibayarkan perbulan karena
kebutuhan pegawai yang mendesak. Berdasarkan hal itulah zakat penghasilan
bersih seorang pegawai dan golongan profesi dapat diambil dari setahun penuh,
jika pendapatan bersih setahun itu mencapai satu nisab.
Pertanyaan : Berapa besar zakat profesi?
Jawaban : Penghasilan yang diperoleh dari modal saja atau dari modal kerja seperti penghasilan pabrik, gedung, percetakan, hotel, mobil, kapal terbang dan yang sejenisnya maka besar zakatnya adalah sepersepuluh (1%) dari pendapatan bersih setelah biaya, hutang, kebutuhan-kebutuhan pokok dan lain-lainnya dikeluarkan, berdasarkan qias kepada penghasilan dari hasil pertanian yang diairi tanpa ongkos tambahan. Sedangkan untuk modal yang tersebar dalam sektor perdagangan maka zakatnya diambil dari modal beserta keuntungannya sebesar seperempat puluh (2,5%). Untuk pendapatan pegawai dan golongan profesi yang mereka peroleh dari pekerjaan mereka, maka besar zakat yang wajib dikeluarkan adalah seperempat puluh (2,5%), sesuai dengan keumuman nash yang mewajibkan zakat uang sebanyak seperempat puluh, baik harta penghasilan maupun yang harta yang bermasa tempo, hal ini mengikuti tindakan Ibnu Mas'ud dan Mu'awiyah yang telah memotong sebesar tertentu, berupa zakat, dari gaji para tentara dan para penerima gaji lainnya langsung di dalam kantor pembayaran gaji, juga sesuai dengan apa yang diterapkan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Pertanyaan : Hikmah apa yang didapat dari adanya zakar profesi ini?
Jawaban : Bagi pezakat (pembayar zakat) yakni untuk menghilangkan sifat kikir, menyayangi sesama, meningkatkan kepekaan sosial, dan juga untuk membersihkan hasil pendapatan dari hal-hal yang tidak baik, seperti sesuatu yang bersifat subhat. Sedangkan bagi penerima zakat tentunya untuk meningkatkan kualitas (kesejahteraan) hidupnya, dan memperbaiki/menghilangkan kesenjangan antara kaum miskin dan kaum kaya.
WASSALAM
No comments:
Post a Comment