Efek

Tuesday, January 18, 2011

Penjelasan Hadits-hadits Tentang Bid’ah Oleh Ulama Ahlussunnah Waljama’ah

Kupas Tuntas Masalah Bid’ah Oleh Ulama Ahlussunnah Waljama’ah


Kupas Tuntas Masalah Bid'ah
Ketika sebagian orang menolak pembagian Bid’ah pada Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyi’ah, maka itu berarti mereka menolak dan menyalahkan ulama’besar seperti al-Imam asy-Syafi’i, Al Hafid Ibnu Hajar, al-Imam a-Nawawi dan Salafus-shalih lainnya. Seolah-olah Ulama besar itu hanya berpendapat berdasarkan hawa nafsu dan mengesampingkan al-Qur’an dan Hadits.
Penah terjadi dialog menarik. Berikut kami kutip sebagian dialog tersebut dengan tanda “W” untuk wakil Wahabi dan “K” untuk wakil kami.
W : Kami tidak menjelaskan pendapat kami berdasarkan pikiran kami, tetapi berdasarkan ulama’ salaf juga.
K : Ulama’ salaf yang mana yang Anda maksudkan ?
W : Ulama’ semisal Ibnu Taimiyah.
K: Bukankah telah jelas dalam pembahasan yang lalu, bahwa definisi Bid’ah semisal Ibnu Taimiyah masih perlu penjelasan lebih lanjut? Dan kemudian diperjelas oleh definisi yang dikemukakan oleh As-Syafi’i?
W : Saya rasa definisi dari Ibnu Taimiyah sudah jelas, tidak perlu penjelasan tambahan.
K : Berarti Anda menafikan adanya bid’ah yang baik. Kalau demikian, apa pendapat Anda tentang hal-hal baru seperti mush-haf al-Qur’an, pembukuan Hadits, fasilitas Haji, Sekolah dan Universitas Islam, Murattal dalam kaset dan sebagainya yang tidak ada di zaman Nabi? 
W : Itu bukan bid’ah.
K : Lantas di sebut apa? Apakah hanya akan didiamkan setiap hal-hal baru tanpa ada status hukum dari agama (boleh tidaknya). Ini berarti Anda menganggap Islam itu jumud dan ketinggalan zaman.
W : (Diam)…. Baiklah, tetapi kami memiliki ulama’ yang memiliki penjelasan tidak seperti apa yang Anda jelaskan, ulama’ kami membagi Bid’ah menjadi dua ; Bid’ah agama dan Bid’ah Dunia.
K : Nah, memang seharusnya demikian. Lantas, siapa yang membagi bid’ah menjadi demikian?
W : Ulama’ semisal Albani dan Bin Baz. Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW, “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.”
K: Hadits tersebut bukan hanya ulama Anda yang mengetahui. Ulama’ salaf telah mengetahui Hadits tersebut, namun mereka tidak menyimpulkan demikian, karena itu berarti seakan-akan Nabi ‘mempersilahkan’ manusia untuk berkreasi dalam urusan dunia sesuka hati, dan Nabi ‘mengaku’ tidak banyak tahu urusan dunia. Baiklah, tidak usah kita berbicara terlalu jauh. Ketika ternyata Anda juga berdalih dengan pendapat ulama Anda, berarti kita sama-sama bersandar pada ulama. Sebuah pertanyaan buat Anda: Apakah Anda lebih percaya pada ulama Anda daripada ulama salaf yang hidup di zaman yang lebih dekat kepada zaman Nabi SAW? Apakah Anda mengira bahwa As-Syafi’i salah mendefinisikan Bid’ah -yang merupakan pokok agama maha penting- kemudian didiamkan saja oleh ulama salaf lainnya tanpa bantahan? Apakah Anda mengira Albani lebih banyak memahami Hadits dari Imam Syafi’i, Ibnu Hajar dan an-Nawawi?
W : Terdiam tidak menjawab.
K : Kami rasa tidak mungkin ulama Anda, seperti Ibnu Taimiyah, Albani dan Bin Baz sampai merasa lebih benar dari asy-Syafi’i, an-Nawawi, Ibnu Hajar, Al-Baihaqi dan ulama salaf lainnya. Mungkin ulama Anda hanya sekedar memiliki pemikiran berbeda, sebagaimana lazimnya ulama berbeda pendapat tanpa menyalahkan pendapat lain. Kami rasa Anda saja yang berlebihan dan kemudian menyalahkan ulama salaf demi membela pendapat ulama Anda. Kalau benar demikian, maka berarti Anda justru telah menistakan ulama Anda sendiri.
******
Orang yang gemar melontarkan kata bid’ah biasanya akan berkata: “Rasulullah SAW tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya, tidak ada satupun diantara mereka yang mengerjakannya. Demikian pula para tabi’in dan tabi’it-tabi’in. Dan kalau sekiranya amalan itu baik, tentu mereka akan mendahului kita.”
Mereka juga berkata: “Kita kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi, yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru kita yang melakukannya? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW, para sahabat dan ulama-ulama salaf? Melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah Bid’ah”.
Kaidah-kaidah seperti itulah yang sering mereka jadikan pegangan dan mereka pakai sebagai perlindungan, juga sering mereka jadikan sebagai dalil dan hujjah untuk melegitimasi tuduhan Bid’ah terhadap semua amalan baru. Mereka menganggap setiap hal baru -meskipun ada maslahatnya dalam agama- sebagai Sesat, haram, munkar, syirik dan sebagainya’, tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok (dasar) agama.
Ucapan seperti diatas adalah ucapan yang awalnya haq namun akhirnya batil, atau awalnya shahih namun akhirnya fasid (rusak). Pernyataan bahwa Nabi SAW atau para sahabat tidak melakukan si anu adalah benar. Akan tetapi pernyataan bahwa semua yang tidak dilakukan oleh Nabi dan sahabat itu sesat adalah sebuah Istimbath (penyimpulan hukum) yang keliru.
Karena tidak-melakukan-nya Nabi SAW atau salafus shalih bukanlah dalil keharaman amalan tersebut. Untuk ‘mengecap’ sebuah amalan boleh atau tidak itu membutuhkan perangkat dalil dan sejumlah kaidah yang tidak sedikit.
Kaidah mereka yang menyatakan bahwa setiap amalan yang tidak dikerjakan Nabi dan sahabat adalah Bid’ah hanya berdalih dengan Hadits-hadits bid’ah dalam pengertian zhahir, tanpa merujuk pada penjelasan yang mendalam dari ulama salaf.
Al-Imam Ibnu Hajar berkata: “Hadits-hadits shahih mengenai suatu persoalan harus dihubungkan antara satu dengan yang lain, untuk dapat diketahui dengan jelas tentang pengertiannya yang mutlak (lepas) dan yang muqayyad (terikat). Dengan demikian maka semua yang diisyaratkan oleh Hadits-hadits itu dapat dilaksanakan (dengan benar).”
Ketika kita mengemukakan pendapat ulama, sebagian orang membantah dengan penyataan bahwa Hadits lebih utama untuk diikuti dari pendapat siapapun. Itu berarti ia mengira bahwa pendapat ulama itu tidak berdasarkan al-Qur’an atau Hadits, melainkan berdasarkan akal atau hawa nafsu. Maka takutlah kepada Allah dan janganlah bersu’uzhon pada ulama shaleh.
Baiklah, mari kita telaah Hadits-hadits terkait dengan pembahasan ini, kita lihat saja apakah mereka berpendapat berdasarkan Hadits sedangkan ulama shaleh itu hanya berpendapat dengan akal atau hawa nafsu.
A. HADITS PERTAMA TENTANG BID’AH
Rasulullah SAW bersabda:
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
Al-Imam An-Nawawi, didalam Syarah Sahih Muslim, mengomentari Hadits ini dan berkata: “Ini adalah sebuah kaidah umum yang membawa maksud khusus (‘Ammun makhsus). Apa yang dimaksudkan dengan ‘perkara yang baru’ adalah yang bertentangan dengan Syari‘at. Itu dan itu saja yang dimaksudkan dengan Bid‘ah”.[8]
Demikian juga ayat Allah juga menjelaskan, ada bid’ah yang terpuji, sebagaimana firman-Nya :
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاء رِضْوَانِ اللهِ
“Dan kami jadikan di hati mereka (Hawariyyun pengikut Isa) rasa kasih dan sayang serta Rahbaniyah yang mereka buat, Kami tidak mewajibkan rahbaniyah itu, (mereka tidak melakukan itu) kecuali untuk mencari keridhaan Allah”. (QS. Al-Hadid : 27)
Berkatalah KH. Ali Badri Azmatkhan:
Dalam ayat itu Allah menjelaskan bahwa Ia telah mengkaruniai Hawariyyun dengan tiga perkata. Pertama, rasa kasih, yakni berhati lembut sehingga tidak mudah emosi. Kedua, rasa sayang, yakni mudah tergerak untuk membantu orang lain. Ketiga, Rahbaniyah, yakni bersungguh-sungguh didalam mengharap ridha Allah, mereka berupaya dengan banyak cara untuk menyenangkan Allah, walaupun cara itu tidak diwajibkan oleh Allah.
Allah SWT memang menyebut Rahbaniyah itu sebagai Bid’ah yang dibuat oleh Hawariyun, itu bisa dipahami dari kalimat ibtada’uuhaa (mereka mengada-adakannya). Namun Bid’ah yang dimaksud adalah Bid’ah Hasanah. Hal ini ditunjang dengan dua alasan:
Pertama, Rahbaniyah disebut dalam rentetan amal baik menyusul dua amal baik sebelumnya, yaitu ra’fatan (rasa kasih) dan rahmatan (rasa sayang). Kalau memang Allah mau bercerita tentang keburukan mereka akibat membuat Rahbaniyah, tentu susunan kalimatnya akan memisahkan antara kasih sayang dan Rahbaniyah. Sedangkan kalimat dalam ayat itu justru menggabungkan Rahbaniyah dengan kasih sayang sebagai karunia yang Allah berikan pada Hawariyun.
Kedua, Allah SWT berkata “Rahbaniyah itu tidak Kami wajibkan”. Tidak diwajibkan bukan berarti dilarang, melainkan bisa jadi hanya dianjurkan atau dinilai baik. Ini mengisyaratkan bahwa Rahbaniyah itu adalah cara atau bentuk amalan yang tidak diperintah atau dicontohkan oleh Nabi Isa, akan tetapi memiliki nilai baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Isa. Bukti bahwa Allah SWT membenarkan Bid’ah mereka berupa Rahbaniyah adalah Allah SWT mencela mereka karena mereka kemudian meninggalkan Rahbaniyah itu. Ketika membuat Rahbaniyah menunjukkan upaya mereka untuk mendapat ridha Allah, maka meninggalkan Rahbaniyah menunjukkan kemerosotan upaya mereka untuk mendapat ridha Allah.[9]
Sebagian orang berkata: Ketika Nabi SAW berkata ‘semua bid’ah adalah sesat’, bagaimana mungkin ada orang yang berkata ‘tidak, tidak semua bid’ah sesat, tetapi ada yang baik’. Apakah ia merasa lebih tahu dari Rasulullah? Apakah ia tidak membaca ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَرْفَعُوْا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi..” (Al-Hujarat : 2)
Mereka menyalahkan orang yang bersandar pada pendapat ulama salaf dan menganggap orang itu lebih mengutamakan ulama daripada Nabi. Hal ini merupakan pemikiran yang sempit dan termasuk penistaan terhadap kaum muslimin. Ada berapa juta muslimin shaleh yang meyakini keilmuan dan ketaqwaan al-Imam asy-Syafi’i sang penolong Sunnah (Nashirus-sunnah), Ibnu Hajar sang pakar yang hafal puluhan ribu Hadits beserta sanadnya, an-Nawawi sang penghasil puluhan ribu lembar tulisan ilmiah dan sebagainya?
Sejarah bahkan mencatat bahwa islamisasi di belahan dunia dilakukan oleh ulama yang sependapat dengan mereka, termasuk Walisongo yang menyebarkan Islam di Nusantara. Tiba-tiba mereka dihujat oleh orang yang belajar dan pengabdiannya bahkan tidak melebihi seperempat yang dimiliki ulama salaf itu. Sungguh mereka tidak memiliki rasa hormat pada para pejuang Islam. Seandainya mereka tahu seberapa besar peranan para pejuang itu dalam perkembangan dunia Islam, jangankan para pejuang itu hanya berbeda pendapat, seandainya jelas salah pun mereka tidak pantas dihujat, karena kita yakin mereka tidak sengaja bersalah. Apalagi pendapat mereka bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kalimat “Kullu” Tidak Berarti Semua Tanpa Kecuali
Dalam bahasa Arab, Kulluh berarti semua. Namun dalam penggunaan, tidak semua kullu berarti semua tanpa kecuali. Ada banyak ayat al-Qur’an yang menggunakan kalimat “kullu” akan tetapi tidak bermaksud semua tanpa kecuali. Diantaranya:
1. Allah SWT berfirman:
فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوْا بِمَا أُوْتُوْا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُوْنَ
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan pintu-pintu dari segala sesuatu untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. al-An’am : 44)
Meskipun Allah SWT menyatakan abwaba kulli syai’ (pintu-pintu segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu pintu rahmat, hidayah dan ketenangan jiwa yang tidak pernah dibukakan untuk orang-orang kafir itu. Kalimat “kulli syai” (segala sesuatu) adalah umum, tetapi kalimat itu bermakna khusus.
2. Allah SWT berfirman:
أَمَّا السَّفِيْنَةُ لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُدُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْباً
“Adapun perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut, aku bermaksud merusak perahu itu, karena di hadapan mereka ada seorang Raja yang mengambil semua perahu dengan paksa.” (QS. al-Kahfi : 79)
Meskipun Allah SWT mengunakan kalimat kulla ssafinatin (semua perahu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu perahu yang bocor, karena Raja yang diceritakan dalam ayat itu tidak merampas kapal yang bocor, bahkan Nabi Khidhir sengaja membocorkan perahu itu agar tidak dirampas oleh Raja.
3. Allah berfirman :
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوْا لاَ يُرَى إِلاَّ مَسَاكِنُهُمْ كَذلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِيْنَ
“Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, Maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada kaum yang berdosa.” (ََQS. Al-Ahqaf : 25)
Meskipun Allah SWT menyatakan kulla syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu gunung-gunung, langit dan bumi yang tidak ikut hancur.
Allah berfirman :
إِنِّيْ وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيْمٌ
“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.” (QS. An-Naml:23)
Meskipun Allah SWT menyatakan kulli syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, karena Ratu Balqis tidak diberi segala sesuatu tak terkecuali, sebanyak apapun kekayaan Balqis tetap saja terbatas.
Ayat-ayat diatas membuktikan bahwa, dalam konteks al-Qur’an, kalimat “kullu” juga bisa berarti “semua dengan pengecualian”, sebagaimana lazimnya dalam penggunaan bahasa Arab dan bahasa lainnya. Masihkah Ada yang menyalahkan ulama salaf semisal asy-Syafi’i karena menafsirkan kalimat “kullu” dalam Hadits “Kullu bid’atin” dengan metode berfikir yang jernih dan ditunjang dengan perangkat pendukung dan dalil-dalil yang jelas.
Selain itu, banyak pula ungkapan dalam al-Qur’an atau Hadits yang sepintas nampak bermakna umum namun sebenarnya bermakna khusus. Perlu dipahami bahwa hal ini adalah bisa dalam penggunaan bahasa pada umumnya, sehingga kita tidak boleh kaku karena terpaku dengan sebuah kalimat tanpa memperhatikan istilah dan susunan bahasa. Bahkan kita harus memperhatikan ayat dan Hadits lain barang kali ada maksud tkhshish (membatasi) dalam kalimat umum atau sebaliknya.
Mari kita simak contoh-contoh berikut ini.
1. Allah berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْعِزَّةَ فَلِلّهِ الْعِزَّةُ جَمِيْعاً
“Barang siapa yang menginginkan kekuatan maka hanya milik Allah-lah kekuatan itu semuanya.” (QS. Fathir: 10)
Dari pernyataan ayat diatas, sepintas kita memahami bahwa kita tidak boleh mengatakan bahwa kekuatan itu milik Allah dan Rasul-Nya, karena dalam ayat itu disebutkan bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah, semuanya dan berarti tidak ada sedikitpun kekuatan yang boleh dikatakan milik selain Allah. Namun coba perhatikan ayat berikut ini:
وَللهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلكِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ
“.. padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS. al-Munafiqun : 8)
Ternyata ayat ini menyatakan bahwa kekuatan adalah milik Allah dan Rasulnya serta orang-orang mukmin. Memang, izzah (kekuatan) Allah dan izzah Rasul adalah dua hal berbeda. Namun yang kita maksud di sini adalah penggunaan kalimat izzah untuk disebut milik Allah dan selain Allah. Kalau membaca ayat yang pertama, nampaknya kita tidak boleh mengatakan “izzah milik Allah dan Rasul”, akan tetapi kalau membaca ayat yang kedua maka kita bahkan boleh mengatakan “izzah milik Allah dan Rasul serta orang-orang mukmin”, karena Allah sendiri yang mengatakan demikian.
2. Allah SWT berfirman:
إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُوْن
“Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah umpan (bahan bakar) neraka jahannam, kalian pasti masuk kedalamnya.” (QS. al-Anbiya : 98)
Ayat ini menyatakan bahwa orang yang menyembah selain Allah akan masuk neraka bersama sesembahannya. Kalau ayat itu dipahami begitu saja tanpa mempertimbangkan ayat yang lain, maka akan dipahami bahwa Nabi Isa dan bundanya juga akan masuk neraka, karena mereka disembah dan dipertuhankan oleh orang Nasrani. Begitu juga para malaikat yang oleh kaum sebagian musyrikin disembah dan dianggap sebagai tuhan-tuhan mereka.
3. Rasulullah SAW. bersabda:
“Orang yang menunaikan shalat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka”. (HR. Muslim)
Hadits ini menyatakan bahwa orang yang shalat shubur dan ashar akan selamat dari neraka. Kalau Hadits ini dipahami begitu saja tanpa mempertimbangkan ayat dan Hadits yang lain, maka akan dipahami bahwa kita akan selamat dari neraka walaupun tidak shalat zhuhur, maghrib dan isya’ asalkan shalat shubuh dan ashar.
4. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya biji hitam ini (habbatus-sauda’) adalah obat bagi semua penyakit, kecuali mati”[10].
Para mufassirin telah menegaskan bahawa kalimat ‘umum’ yang digunakan dalam Hadits ini merujuk kepada sesuatu yang ‘khusus’. Maksud Hadits ini sebenarnya ialah “banyak penyakit” (bukan semua penyakit) bisa disembuhkan dengan habbatus-sauda’, walaupun kalimat yang dipakai adalah kaliamat ‘umum’ (kullu yang berarti semua).
B. HADITS KEDUA TENTANG BID’AH
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)
“Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Mari kita telaah makna Hadits diatas, benarkah Hadits diatas bisa menjadi justifikasi membid’ahkan setiap amalan baru dalam agama?
Coba anda perhatikan pada kalimat “yang tidak bersumber darinya” pada Hadits tersebut, kira-kira apa makna dari kalimat tersebut. Agar menjadi jelas, bandingkan dua kalimat berikut ini:
1. “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.”
2. “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, maka ia tertolak.”
KH. Ali Badri Azmatkhan berkata:
“Apabila kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’ dibuang, maka sepintas akan dipahami bahwa hal baru apapun akan disebut Bid’ah, walaupun hal baru itu masih berisikan nilai syari’at. Dan kalaupun misalnya kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’ itu benar-benar tidak disebutkan dalam Hadits ini, tentu kita juga tidak bisa memfonis semuanya Bid’ah berdasarkan Hadits ini, karena, untuk memahami sebuah Hadits, kita juga harus mempertimbangkan Hadits lain, baik Hadits Qauli (perkataan Nabi) maupun Hadits Iqrari (pembenaran Nabi terhadap tindakan Sahabat).
Kemudian, ketika Nabi katakan ‘yang tidak bersumber darinya’, itu berarti ada hal baru yang bersumber dari syari’at dan ada hal baru yang tidak bersumber dari syari’at. Kalau yang dilarang adalah hal baru yang tidak bersumber dari syari’at, maka hal baru yang bersumber dari syari’at tidak dilarang.
Lantas apa yang dimaksud dengan hal baru yang bersumber dari syari’at? Kalau hal baru yang bersumber dari syari’at itu dicontohkan dengan shalat malam, maka semua orang tahu bahwa shalat malam itu bukan hal baru. Kalau hal baru yang bersumber dari syari’at itu diartikan ihya’ussunnah (menghidupkan Sunnah yang sudah lama ditinggalkan orang), maka secara bahasa itu juga tidak benar, karena memulai kebiasaan lama itu bukan termasuk hal baru.
Maka tidak ada lain hal baru yang dimaksud kecuali cara baru yang tidak dicontohkan Nabi, namun tidak bertentangan dengan syari’at dan bahkan memiliki nilai syari’at. Hal ini diperkuat dengan banyaknya hal baru yang dilakukan para shabat Nabi, misalnya menyusun atau menambah doa selain susunan doa yang dicontohkan Nabi, Ta’rif (memperingati hari Arafah) yang dilakukan oleh Abdullah bin Abbas dengan menggelar kemah dan dzikir bersama pada tanggal 9 Dzulhijjah (ketika tidak sedang berhaji), shalat tarawih dengan satu imam di Masjidil-haram oleh para sahabat di zaman Umar bin al-Khatthab (sedangkan pada zaman Nabi tarawihnya berkelompok-kelompok di sudut-sudut Masjidil-haram), dan banyak lagi misal yang bisa kita temui dalam kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan Syuruh (kitab syarah/tafsir Hadits).
Kepada siapapun yang belum pernah membaca tuntas kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan Syuruh, bila ia mau mentahqiq sebuah permasalahan, saya sarankan untuk membaca semuanya dengan tuntas, agar terbuka baginya cakrawala berfikir sebagaimana ulama salaf. Logikanya, bagaimana mungkin pemikiran seorang sarjana atau doktor yang hanya pernah membaca tuntas beberapa judul buku bisa lebih tajam dari pemikiran asy-Syafi’i, an-Nawawi, al-Ghazali, Ibnu Hajar al-Asqalani dan sebagainya.
Mereka adalah ulama besar yang berhasil mengisi khazanah keilmuan Islam dengan karya-karya besar yang bukan hanya dikagumi umat Islam saja. Dan satu hal yang harus kita sadari, yaitu bahwa karya-karya itu tidak lahir dari upaya yang ringan, mereka tidak belajar hanya sepuluh tahun, mereka tidak meneliti hanya sepuluh tahun, mereka tidak hanya membaca seribu Hadits, tapi meneliti puluhan tahun dan puluhan ribu Hadits. Tidak mudah bagi mereka untuk memutuskan sebuah kesimpulan, tapi sebagian akademisi zaman sekarang begitu mudahnya menyalahkan ulama salaf, padahal target belajarnya tidak seserius ulama salaf, targetnya hanya gelar ‘Lc’, ‘MA’, ‘Doktor’ dan sebagainya”.[11]
C. HADITS KETIGA
Rasulullah SAW bersabda:
وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِيْ اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا …
“.. Dan barangsiapa mengadakan Bid’ah yang sesat yang tidak diridhoi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, maka ia mendapat (dosanya) dan sebanyak dosa orang lain yang ikut mengerjakannya.“ )HR. Tirmidzi(
Dalam Hadits diatas terdapat kalimat “Bid’ah yang sesat”. Dalam Hadits tersebut kata ‘Bid’ah’ dan ‘sesat’ adalah mudhaf dan mudhaf ‘ilaih (gramer Arab). Bila merujuk pada ilmu gramer bahasa Arab, bab “Mudhaf” dan “Na’at-man’ut”, susunan kalimat itu memberi arti adanya Bid’ah yang tidak sesat. Bahkan dalam bahasa Indonesiapun demikian. Kalau Anda berkata “Saya tidak suka tali yang panjang”, itu berarti menurut Anda ada tali yang pendek.
Sebagai penutup bab ini, mari kita renungkan firman Allah SWT berikut ini :
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ َانْتَهُوْا
‘Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja yang dilarang oleh Rasul maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7)
Coba perhatikan, ayat diatas dengan jelas menyebutkan bahwa perintah agama adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, dan yang dinamakan larangan agama adalah apa yang memang dilarang oleh Rasulullah SAW. Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan:
وَماَ لَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
“Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulul maka berhentilah (mengerjakannya).”
Juga dalam Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari:
اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ فَاجْتَنِبُوْهُ
“Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu maka lakukanlah semampumu, dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah ia.”
Perhatikan, dalam Hadits ini Rasulullah SAW tidak mengatakan:
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
“Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan maka jauhilah ia!’
Jadi, pemahaman melarang semua hal baru (Bid’ah) dengan dalil Hadits “Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah Bid’ah” dan Hadits “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ..“ adalah pemahaman yang tidak benar, karena banyak pernyataan atau ikrar dari Rasulullah SAW dalam Hadits-hadits yang lain yang menyimpulkan adanya restu beliau terhadap banyak hal baru atas inisiatif para sahabat.
Dari itu, para ulama menarik kesimpulan bahwa Bid’ah (prakarsa) sesat ialah yang bersifat men-syari’atkan hal baru dan menjadikannya sebagai bagian dari agama tanda seizin Allah Allah SWT (QS Asy-Syura : 21), serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh syari’at Islam, misalnya sengaja shalat tidak menghadap kearah kiblat, shalat dimulai dengan salam dan diakhiri denga takbir, melakukan shalat dengan satu sujud saja, melakukan shalat shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan sebagainya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna Hadits yang mengatakan “mengada-adakan sesuatu” adalah masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah. Misalnya ada orang mengatakan bahwa shalat wajib itu dua kaili sehari, padahal agama menetapkan lima kali sehari. Misalnya juga, orang yang sanggup -tidak berhalangan- berpuasa wajib pada bulan Ramadhan boleh tidak perlu puasa pada bulan tersebut, tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apa saja. Inilah yang dinamakan menambah dan mengada-adakan agama, bukan masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
Referensi:
[1] “Al-Munjid fil Lughah wal-A’lam“, alpabet ب
[2] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XIII : 253.
[3] Iqthidho Shirath al-Mustaqim hal. 272
[4] Tafsir al-Manar, IX: 60.
[5] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XV : 179, Dar al-Fikr, Beirut
[6] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Baari, IV : 318.
[7] Syarh an-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, VI : 154-155, Dar Ihya Turats al-Arab, Beirut.
[8] An-Nawawi, Syarah Sahih Muslim, VI : 154.
[9] KH. Ali Badri Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah.
[10] Diriwayatkan dari ‘Aiysah dan Abu Hurairah oleh al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad melalui sembilan belas periwayatan.
[11] KH. Ali Badri Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah.
_____________________________________________

Pendapat Ulama’ tentang Bid’ah

بسم الله الرحمن الرحيم
Penjelasan Salafuna Shalih Tentang Bid’ah

Berikut adalah pandangan-pandangan beberapa ulama salaf yang diakui dunia Islam tentang ketaqwan dan keilmuan mereka tentang masalah Bid’ah.
A.  Al-Imam asy-Syafi’I
Sumbangan besar al-Imam asy-Syafi`i RA dalam ilmu Usul Fiqih ialah pembagian beliau terhadap makna ‘perkara baru’ (Bid‘ah) menjadi dua hal pokok, bid’ah hasanah dan sayyiah.
Pendapat beliau ini diriwayatkan secara shahih dari dua murid beliau yang terkenal pada zaman akhir kehidupan beliau, yaitu ulama pakar Hadits Mesir yang bernam Harmala bin Yahya at-Tujaybi dan ar-Rabi` bin Sulaiman al-Muradi.
Harmala berkata, “Aku mendengar al-Imam asy-Syafi’i RA berkata: “Bid‘ah itu ada dua macam: Bid‘ah yang terpuji (bid‘ah mahmudah) dan bid‘ah tercela (bid‘ah madzmumah).
Apa yang sesuai dengan Sunnah itu terpuji dan apa yang bertentangan itu tercela.”[1]
Sedangkan ar-Rabi` juga meriwayatkan dari al-Imam asy-Shafi`i bahwa beliau berkata: “Perkara baharu yang diada-adakan itu ada dua macam: Pertama, perkara baru yang bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, atsar Sahabat atau ijma’ ulama’, maka bid‘ah itu adalah sesat (fa hadhihil-bid‘atu dalalatun). Kedua, perkara baru yang diadakan dari segala kebaikan (ma uhditsa min al-khair) yang tidak bertentangan dengan hal yang disebutkan, yang ini bukan bid‘ah dicela (wa hadhihi muhdatsatun ghairu madzmumah).[2]
Dalam menjelaskan perkataan as-Syafi’i tersebut, al-Imam al-Haitami, al-Qadhi Abu Bakr Ibnu al-`Arabi dan al-Imam al-Laknawi berkata: “Bid‘ah dipandang dari segi Syari‘at ialah segala perkara baru yang diadakan dan bertentangan dengan hukum yang diturunkan Allah, baik berdasarkan dalil-dalil yang nyata atau pun dalil-dalil umum. Maka, hanya Bid‘ah yang menyalahi Sunnah saja yang tercela”.[3]
Mereka menyimpulkan dan berkata: “Maka sangat keliru bila perkara baru dipandang Bid’ah hanya semata-mata kerana ia ‘perkara baru’. Kebid’ahan perkara baru itu ditentukan dengan dalil-dalil syar’i.
B.  Al-Imam al-Baihaqi

Al-imam al-Baihaqi menjelaskan panjang lebar tentang masalah bid’ah, diantaranya beliau berkata: “Begitu juga dalam hal penjelasan aqidah, hal tersebut adalah bid‘ah, karena ilmu aqidah adalah menjabarkan beberapa kaidah kepada orang awam yang tidak dikenal sebelumnya (pada zaman Nabi dan sahabat). Namun demikian, hal itu adalah perkara baru yang terpuji (mahmudah) karena ia bertujuan untuk membantah kepalsuan Bid‘ah ahli falsafah kala itu.”
Beliau juga berkata: “Rasulullah SAW ditanya tentang Qadha’ dan Qadar dan jawabannya adalah sebagaimana yang kita dengar sampai hari ini. Pada masa itu, para Sahabat sudah berpuas hati dengan jawaban yang diberikan oleh Rasulullah SAW.
Namun pada zaman kita ini, banyak ahli Bid’ah yang menyatakan tidak puas dengan jawaban Rasulullah tersebut sehingga mereka tidak mau menerimanya. Nah, untuk menangkis serangan (untuk menolak beberapa ketentuan akidah) yang mereka sebarkan kepada kaum muslimin, kita perlu berhujjah dengan menggunakan kaidah pembuktian yang bisa diterima oleh mereka. Dan sesungguhnya usaha ini, meskipun Bid’ah (baru), datangnya dari Allah juga.”[4]
Ini merupakan pembelaan al-Imam al-Baihaqi secara terang-terangan terhadap keperluan ilmu kalam (falsafah ketuhanan) dan sifatnya yang sejalan dengan tuntutan Sunnah, demi untuk mempertahankan ajaran Islam dari pelaku Bid‘ah. Pendirian yang hampir sama juga bisah dilihat di kalangan para Imam besar seperti Ibnu `Asakir, Ibnus-Shalah, an-Nawawi, Ibnus-Subki, Ibn `Abidin dan lainnya.
C.  Al-Qadhi Abu Bakar Ibnnul-‘Arabi al-Maliki.

Beliau berkata ketika mengulas masalah bid’ah: “Ketahuilah bahawa Bid‘ah (al-muhdatsah) itu ada dua macam: Pertama, setiap perkara baru yang diadakan yang tidak memiliki landasan agama, melainkan mengikut hawa nafsu sesuka hati, ini adalah Bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang diadakan namun sejalan dengan apa yang sudah disepakati, seperti yang dilakukan oleh para Khulafa’urrasyidin dan para Imam besar, maka hal tersebut bukanlah bid‘ah yang keji dan tercela. Ketahuilah, sesuatu itu tidak dihukumi bid’ah hanya karena ia baru.
Allah SWT berfirman:
مَا يَأْتِيْهِمْ مِنْ ذِكْرٍ مِنْ رَبِّهِمْ مُحْدَثٍ إِلاَّ اسْتَمَعُوْهُ وَهُمْ يَلْعَبُوْنَ
“Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Qur`an pun yang baru (muhdats) dari Tuhan mereka, melainkan mereka men-dengarnya, sedang mereka bermain-main” (QS. al-Anbiya`: 2).
Dan perkataan Sayyidina `Umar RA: “Alangkah bagusnya bid‘ah ini!”
Kesimpulannya, Bid‘ah tercela hanyalah perkara baru yang bertentangan dengan Sunnah, atau perkara baru yang diadakan dan membawa kita pada kesesatan.”[5]
D. Hujjatul-Islam al-Imam al-Ghazali.
Ketika mengulas masalah penambahan ‘titik’ pada huruf ayat-ayat al-Qur’an, al-Imam al-Ghazali berkata: “Hakikat bahwa ia adalah perkara baru yang diadakan tidaklah menghalanginya untuk dilakukan. Banyak sekali perkara baru yang terpuji, seperti sembahyang Terawih secara berjama’ah, ia adalah “Bid‘ah” yang dilakukan oleh Sayyidina`Umar RA, tetapi dipandang sebagai Bid’ah yang baik (Bid‘ah Hasanah). Adapun Bid’ah yang dilarang dan tercela, ialah segala hal baru yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAW atau yang bisa merubah Sunnah itu.[6]
E. Ibnu Hazm az-Zahiri
Ibn Hazm al-Zahiri berkata: “Bid‘ah dalam agama adalah segala hal yang datang pada kita dan tidak disebutkan didalam al-Qur’an atau Hadits Rasulullah SAW. Ia adalah perkara yang sebagiannya memiliki nilai pahala, sebagaimana yang diriwayatkan dari Sayyidina`Umar RA: “Alangkah baiknya bid‘ah ini!.” Ia merujuk pada semua amalan baik yang dinyatakan oleh nash (al-Qur’an dan Hadits) secara umum, walaupun amalan tersebut tidak ddijelaskan dalam nas secara khusus. Namun, Di antara hal yang baru, ada yang dicela dan tidak dibolehkan apabila ada dalil-dalil yang melarangnya.[7]
F. Ibnul-Jauzi

Ibnu Jauzi menyatakan hal yang sama dalam kitabnya, Talbis Iblis. Beliau berkata: “Ada banyak perkara baru (muhdats) yang diamalkan orang dan tidak berlawanan dengan Syari‘at. Ulama mereka salaf menganggap bahwa hal tersebut tidak mengapa untuk diamalkan.”
G. Ibnul-Atsir al-Jazari
Pakar kamus bahasa Arab, Ibnul-Atsir menyebut di dalam kitabnya, an-Nihayah fi Gharib al-Hadits wal-Atsar:
“Bid‘ah itu ada dua macam: Bid‘ah petunjuk (bid‘atu huda) dan bid‘ah yang sesat (bid`atu dalalah). Segala hal yang menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya adalah terkutuk dan dipersalahkan. Dan segala hal yang masuk dalam keumuman ketentuan Allah dan Rasul-Nya, baik berupa perintahkan atau anjuran, adalah hal yang dipuji. Rasulullah SAW telah menyebutkan bahwa amalan seperti itu diberi pahala.
Beliau bersabda: ‘Barang siapa memulai suatu amalan yang baik dalam Islam, maka ia memperoleh pahalanya dan paha orang-orang yang mengikutinya’. Begitu juga sebaliknya, Rasulullah SAW bersabda: ‘Barang siapa yang memulai amalan buruk dalam Islam, maka ia memikul dosanya dan dosa orang lain yang mengikutinya.’[8]
Dengan demikian, Hadits yang menyebutkan “setiap yang baharu itu sesat”[9] hendaknya disimpulkan dengan “segala hal baru yang bertentangan dengan asas-asas Syari‘at dan menyalahi Sunnah.[10]
H. Al-Imam al-Izz Ibnu Abdissalam
Syaikhul Islam Sulthanul-Ulama’ al-Imam al-`Izz Ibnu Abdissalam juga menjelaskan tentang masalah bid’ah, beliau berkata: “Di sana ada beberapa macam perkara baru (Bid‘ah). Pertama, perkara yang tidak dilakukan dalam Islam namun syari‘at menyatakannya sebagai hal terpuji, bahkan ada yang dinyatakan wajib. Kedua, perkara yang tidak dilakukan dalam Islam namun syari‘at membenci dan mengharamkannya. Ketiga, perkara yang tidak dilakukan dalam Islam dan syari‘at membolehkannya.”[11]
Dalam kesempatan lain beliau menyebutkan bahwa Bid‘ah itu ada lima macam, sama dengan lima hukum yang simpulkan oleh ulama fiqih untuk hal perbuatan manusi, yaitu wajib, haram, sunnah (mandub), kakruh dan mubah (boleh).[12]
I. Al-Imam An-Nawawi
Al-Imam al-Muhaddits al-Hafizh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi berkata: Bid‘ah -menurut syari‘at- adalah segala sesuatu yang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah SAW. Bid’ah terbagi menjadi dua, baik dan buruk.”
Beliau melanjutkan: “Para pemuka umat dan Imam kaum muslimin yang ilmunya sudah diakui, seperti Abu Muhammad Abdul Aziz bin Abdissalam menyebut di akhir buku beliau, al-Qawa`id (al-Kubra): “Bid‘ah itu terbagi pada perkara-perkara wajib (wajibat), haram (muharramat), sunnah (mandubat), makruh (makruhat) dan boleh (mubahat).
Seharusnya, cara menilai suatu Bid‘ah itu dengan melihat kaidah syari’at (qawa‘id syari‘ah). Jika ia masuk dalam kategori kewajiban (ijab) maka jadilah ia Wajib, jika ia termasuk dalam keharaman maka jadilah ia Haram, jika ia termasuk hal yang mendatangkan keutamaan, maka jadilah ia disukai, apabila ia termasuk hal yang buruk maka jadilah ia makruh dan seterusnya. Selebihnya adalah bid’ah yang boleh.”[13]
J.  Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani

Beliau berkata: “Kalimat ‘bid‘ah’ itu berarti sesuatu yang dibuat tanpa ada contoh sebelumnya. Lalu kalimat itu digunakan dalam istilah Syari‘at sebagai lawan dari Sunnah, dan karena itulah iapun menjadi tercela. Namun, jika diteliti (ternyata tidak mesti seperti itu), sekiranya hal baru tersebut termasuk hal yang digalakkan oleh Syari‘at maka ia adalah Bid‘ah yang baik (Bid‘ah Hasanah), jika ia termasuk hal yang dibenci maka ia adalah Bid‘ah buruk (mustaqbahah). Selain dari itu adalah Bid’ah yang boleh (mubah). Bid’ah juga bisa dibagi menjadi lima kategori.”[14]
K.  Al-Imam asy-Syaukani
Beliau menyatakan -di dalam kitabnya yang terkenal, Nail al-Authar- bahwa Bid‘ah terbagi menjadi “baik” dan “buruk”. Menurut beliau, pandangan seperti inilah yang paling kukuh dan kuat.[15]
L.  Al-Imam al-Hafizh Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi
Ketika mengomentara pendapat al-Imam asy-Syafi’i, al-Qurthubi berkata: “Menanggapi ucapan ini (ucapan asy-Syafi’i tentang pembagian bid’ah), saya katakan bahwa makna Hadits Nabi SAW yang berbunyi ‘Seburuk-buruk perkara adalah hal yg baru, semua hal yang baru adalah Bid’ah, dan semua Bid’ah adalah sesat’ bermaksud hal-hal yang tidak sejalan dengan al-Qur’an, Sunnah Rasul SAW dan perbuatan Sahabat Rasul.
Sesungguhnya hal ini telah diperjelas oleh Hadits lainnya, yaitu “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya.”[16] Hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai terbaginya Bid’ah pada Bid’ah yang baik dan Bid’ah yang sesat”.[17]
M. Al-Imam as-Suyuthi
Al-Hafizh al-Muhaddits al-Imam Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi berkata: “Hadits ‘Bid’ah Dhalalah’ ini bermakna ‘Aammun makhsush’ (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya), sama dengan firman Allah:
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا
“.. yang menghancurkan segala sesuatu atas perintah Tuhannya..” (QS. Al-Ahqaf : 25), padahal tidak semua dihancurkannya.
Sama juga dengan ayat:
وَلكَنْ حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّيْ لأَمْلَئَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
“Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia semuanya.” (QS As-Sajdah : 13) (padahal kenyataannya tidak semua manusia masuk neraka. Ayat ini bukan bermakna semua jin dan manusia, melainkan hanya yang musyrik dan zhaim dari mereka). Sama juga dengan Hadits: “Aku dan hari Qiamat bagaikan kedua jari ini”, Padahal Qiamat masih ribuan tahun lagi.[18]
Pendapat Jumhur (Kebanyakan) Ulama’ Madzhab
Ulama dari empat madzhab telah sepakat dengan klasifikasi Bid’ah terbagi pada lima hukum seperti yang dikemukakan oleh al-Imam al-Izz bin Abdissalam, seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya. Berikut diantara Ulama dari empat madzhab yang berpendapat demikian:
1. Dari madzhab Hanafi: Al-Kirmani, Ibnu Abidin, at-Turkmani, al-`Aini dan at-Tahanawi.[19]
2. Dari madzhab Maliki: at-Turtusyi, Ibnul-Hajj, al-Qarafi dan az-Zurqani. Tidak termasuk asy-Syathibi.[20] Pendapat asy-Syathibi inilah yang kemudian diangkat oleh Rasyid Ridha, Salim Hilali dan Muhammad Abdussalam Khadir asy-Syuqairi (murid Rasyid Ridha). Asy-Syuqairi menulis buku berjudul as-Sunan wal-Mubtada`at al-Muta`alliqah bil-Adzkar wash-Shalawat yang di penuhi dengan berbagai riwayat tidak shahih.
3. Dari madzhab asy-Syafi’i: Semua berpendapat sama.[21]
4. Dari madzab Hanbali: Generasi salaf telah sepakat dengan pendapat asy-Syafi’i. Kemudian dari kalangan muta’akhirin mencoba mengingkarinya dengan mengatakan bahwa pembagian syafi’i dan Izzudin terhadap bid’ah adalah dari segi bahasa.[22] Dan pembagian bid’ah menurut bahasa adalah pendekatan yang sering dibawakan oleh golongan anti Bid’ah Hasanah untuk mendukung pendapat mereka. Mereka tetap bersikukuh bahwa semua “Bid’ah” (termasuk Bid’ah Hasanah) adalah sesat, meskipun pendapat itu bertentangan dengan realitas dan pendapat jumhur ulama.
Pendapat asy-Syafi’i juga didukung oleh al-Imam as-Suyuthi, sebagaimana yang beliau tulis dalam risalah yang berjudul “Husnul Maqashid fi ‘Amalil-Maulid” dan “Al-Mashabih fi Shalatit-Tarawih. Didukung pula oleh al-Imam Az-Zarqani seperti yang beliau tulis dalam kitab “Syarah al-Muwattha’, Didukung pula oleh al-Imam Ali al-Qari seperti yang beliau tulis dalam kitab “Syarhul-Misykah. Didukung pula oleh al-Qusthallani seperti yang beliau tulis dalam kitab “Irsyadus-Sari Syarah Shahih al-Bukhari”. Dan masih banyak lagi ulama yang lain.
Demikianlah pendapat para imam besar yang telah terekam dalam berbagai kitab turats (klasik). Masih banyak lagi yang tidak sempat terekam pendapatnya, karena memang ketika itu penulisan kitab tidak semudah sekarang. Setidaknya, ketika mereka diam berarti mereka setuju, karena kalau memang mereka menganggap pendapat asy-Syafi’i sebagai kesesatan, maka tidaklah mungkin mereka diam saja tanpa menulis buku kritikan. Pendapat asy-Syafi’i diterima oleh ulama di zaman beliau hingga ulama berikutnya. Barulah pada abad akhir ini muncul segolongan ulama yang menyalahkan pendapat para Imam besar hujatul-Islam tersebut, bahkan berani menganggap pendapat mereka sesat.
Saudaraku, Ketika kita sama-sama berguru dan berpendapat menurut guru, maka bersyukurlah karena kita berguru pada Imam-imam besar seperti asy-Syafi’i sang perintis madzhab, an-Nawawi sang ahli Hadits penulis Syarah Shahih Muslim, al-Ghazali sang Hujjah penulis Ihya Ulumiddin, al-Baihaqi sang ahli dan perawi Hadits, as-Suyuthi sang pakar berbagai disipliln Ilmu Islam, al-Asqalani sang ahli Hadits penulis Syarah Shahih al-Bukhari, al-Qurthubi sang pakar dan penulis kitab Tafsir, al-Qusthallani sang ahli Hadits penuli Syarah Shahih al-Bukhari dan sebagainya.
Kalau guru-guru kita itu dianggap sesat. Lalu siapa ulama yang bisa dibanggakan oleh umat Islam. Mereka yang dianggap sesat itu telah mengharumkan nama Islam dengan pemikiran dan karya-karya mereka. Coba kita tanyakan pada hati kita, seandainya kita harus memilih, siapa yang sebaiknya tidak pernah hidup di dunia ini, apakah asy-Syafi’i dan sebagainya atau ulama abad ini yang menganggap asy-Syafi’i sesat? Apa yang kita miliki kalau kita mencoret nama-nama mereka dan membuang karya-karya mereka dari rak buku kita.
Apa yang tersisa dari khazanah keilmuan Islam kalau kita membuang kitab-kitab asy-Syafi’i, Syarah Shahih Muslim (an-Nawawi) kitab Ihya’ Ulumiddin, Fathul Bari, Irsyadussari, Syarah Muwattha’ (az-Zarqani), Syarhul-Misykah dan sebagainya. Kalau mereka dianggap sesat dan karya-karya mereka dicekal, maka yang tersisa dari kekayaan umat Islam adalah ulama pencaci maki dan buku-buku yang dipenuhi dengan mengupat ulama salaf.”[23]
Syekh Abdurrahman bin Mahdi berkata: “Seorang ulama tidaklah bisa disebut Imam (rujukan) dalam sebuah disiplin ilmu, apabila ia masih mengikuti pendapat yang ganjil (menyalahi pendapat yang lebih masyhur di kalangan Imam-imam besar).”
[1] Abu Nu’aim dalam “Hilyat al-Awliya’”, IX : 121, Abu Shama dalam “al-Ba`its `ala Inkar al-Bida` wal-Hawadits”, hal. 93, Ibn Rajab dalam “Jami` al-`Ulum wal-Hikam”, hal. 267, Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari, XIII : 253, al-Turtusyi dalam “al-Hawadits wal-Bida`, hal. 158-159, dan asy-Syaukani dalam “al-Qaul al-Mufid fi Adillat al-Ijtihad wat-Taqlid, hal. 36. Riwayat dari Saidina `Umar disebut oleh Imam Malik dalam al-Muwattha’ dan al-Bukhari dalam Sahih al-Bukhari
[2] Diriwayatkan dari al-Rabi` oleh al-Bayhaqi didalam “al-Madkhal” dan “Manaqib asy-Syafi`i, I : 469 dengan sanad shahih dan dishahihkan juga oleh Ibnu Taimiyyah dalam “Dar’u Ta`arud al-`Aqli wan-Naqli, hal. 171 dan melalui al-Baihaqi oleh Ibn `Asakir dalam “Tabyin Kadzib al-Muftari, hal. 97. Dinukilkan oleh adz-Dzahabi dalam “Siyar”, VIII : 408, Ibnu Rajab dalam “Jami` al-`Ulum wal-Hikam, II : 52-53, Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari, XIII : 253.
[3] Al-Haitami, “at-Tabyin fi Syarh al-Arba`in”, hal. 32, Ibnul-`Arabi, “`Aridat al-Ahwadzi, X : 147.
[4] Al-Baihaqi, “Manaqib asy-Shafi`i”, I : 469.
[5] Ibnul-`Arabi, “`Arid at al-Ahwadzi”, X : 146-147.
[6] Al-Ghazzali, “Ihya’ `Ulumiddin, I : 276.
[7] Ibnu Hazm, “al-Ihkam fi Usul al-Ahkam”, I : 47.
[8] Diriwayatkan dari Jarir bin Abdillah al-Bajali oleh Imam Muslim, al-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan ad-Darimi. Juga diriwayatkan dengan kalimat yang mirip dari Abu Hurairah oleh Ibnu Majah dan Ahmad, dari Abu Juhaifah oleh Ibn Majah dan dari Hudzaifah oleh Imam Ahmad.
[9] Diriwayatkan dari al-`Irbad bin Sariyah oleh at-Tirmidzi (Hasan Shahih), Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, ad-Darimi, Ibn Hibban, I : 178-179, al-Hakim menyatakan shahih, I : 95-97, adz-Dzahabi juga menyatakan Shahih dalam “al-Madkhal ila ash-Sahih”, hal. 80-81, al-Ajurri dalam “asy-Syari`ah”, hal. 54-55, Ibnu Abi `Asim dalam “as-Sunnah”, hal. 29, at-Thahhawi dalam “Musykil al-atsar”, II : 69, Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam “as-Sunnah”, hal. 26-27, al-Harits bin Abi Usamah dalam Musnadnya, I : 197-198, ar-Ruyani dalam Musnadnya, I : 439, Abu Nu`aim dalam “Hilyat al-Awliya’”, V : 220-221, X : 115, at-Thabarani dalam “Musnad asy-Syamiyyin”, I : 254, I : 402, I : 446, II : 197, II : 298 dan “al-Kabir”, XVIII : 245-257, al-Baihaqi dalam “as-Sunan al-Kubra, X : 114, “al-Madkhal”, hal. 115-116, al-I`tiqad, hal. 229 dan “Syu`ab al-Iman, VI : 67, al-Baghawi menyatakan Hasan dalam “Syarh as-Sunnah, I : 205, Ibnul-Atsir dalam “Jami` al-Usul”, I : 187, I : 279, Ibnu `Asakir dalam “al-Arba`in al-Buldaniyyah”, hal. 121, Ibnu Abdil-Barr menyatakan Shahih dalam “at-Tamhid, XXI : 278-279 dan “Jami` Bayan al-`Ilm”, II : 924 dan lain-lain.
[10] Ibnul-Atsir, “an-Nihayah”, I : 79.
[11] Ibnu Abdisalam, “al-Fatawa al-Mushiliyyah”, hal. 129.
[12] Ibnu Abdisalam, al-Qawa`id al-Kubra, II : 337-339, an-Nawawi dalam “al-Adzkar”, hal. 237 dan “Tahdzib al-Asma’ wal-Lughat”, III : 20-22, asy-Syathibi dalam “al-I`tisham”, I : 188, al-Kirmani dalam “al-Kawakib ad-Darari”, IX : 54, Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari, XIII : 253-254, as-Suyuthi dalam “Mukaddimah Husnul-Maqsid” dan dalam “al-Hawi lil-Fatawi, al-Haytami dalam Fatawa Haditsiyah, hal. 150, Ibnu Abidin dalam “Radd al-Mukhtar”, I : 376 dan lain-lain.
[13] An-Nawawi, “Tahdzib al-Asma’ wal-Lughat”, III : 20-22.
[14] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, V : 156-157.
[15] Asy-Syaukani, Nailul-Authar, IV : 60.
[16] Shahih Muslim, Hadits no. 1017
[17] Tafsir al-Imam al-Qurthubi, II : 87.
[18] Syarh Assuyuthi, III : 189.
[19] Al-Kirmani, “al-Kawakib ad-Darari Syarh Shahih al-Bukhari, IX : 54, Ibnu Abidin, “al-Hasyiyah”, I : 376, I : 560, at-Turkmani, “al-Luma` fil-Hawadits wal-Bida`, I : 37, at-Tahanawi, “Kassyaf Istilahat al-Funun, I : 133-135, al-Himyari, “al-Bid`ah al-Hasanah” (hal.152-153).
[20] At-Turtushi, “al-Hawadits wal-Bida`, hal. 15, 158-159, Ibnul-Hajj, “Madkhal asy-Syar` asy-Syarif, II : 115, al-Qarafi, “al-Furuq”, IV : 219, asy-Syathibi, “al-I`tisham, I : 188-191, az-Zurqani, “Syarh al-Muwattha’, I : 238.
[21] Abu Syama, “al-Ba`its `ala Inkar al-Bida` wa al-Hawadits”, hal. 93.
[22] Ibnu Rajab, “al-Jami` fil-`Ulum wal-Hikam”, II : 50-53.
[23] KH. Ali Badri Azmatkhan, klarifikasi masalah khilafiyah.
_____________________________________________________

Hubungan Antara Ijtihad dengan Bid’ah Hasanah

بسم الله الرحمن الرحيم
Dalam istilah ushul-fiqih, hal yang tidak dikerjakan atau tidak dicontohkan oleh Rasulullah disebut “at-Tark”, yang secara bahasa artinya meninggalkan suatu pekerjaan. Ulama ushul sepakat bahwa at-Tark bukan berarti larangan. Ketika Nabi tidak mengerjakan sesuatu bukan berarti beliau tidak menganggapnya haram. Ini adalah suatu hal yang sangat logis dan tidak harus sangat cerdas untuk memahaminya.
Sering ada yang berkata: “Kalau memang ini baik tentu Rasulullah sudah mengerjakannya.” Ini adalah pemahaman yang kaku. Rasulullah sudah memberi kita dasar untuk pengembangan bentuk amaliah, sehingga beliau tidak harus memberi terlalu banyak contoh kepada kita. Kelebihan umat Muhammad adalah kepedulian mereka terhadap dunia keilmuan, sehingga tanpa harus diberi banyak contoh mereka akan kreatif.
Banyak hal yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah, mungkin karena tidak sempat, tidak terfikir atau situasi tidak mendesak untuk itu. Suatu contoh, Rasulullah SAW baru terfikir untuk puasa Asyura’ setelah melihat orang Yahudi mengerjakannya, karena puasa adalah salah satu bentuk ibadah yang layak untuk dikerjakan sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat Allah berkaitan dengan hari Asyura’. Seandainya dari dulu orang Yahudi tidak puasa Asyura’, bisa jadi beliau tidak berpuasa Asyura karena tidak terfikir oleh beliau untuk itu.
Atau seandainya orang Yahudi melakukan walimah untuk memperingati hari Asyura’, bisa jadi Rasulullah juga akan memperingati hari Asyura dengan bentuk walimah, bukan puasa, karena walimah adalah salah satu bentuk ibadah shodaqoh yang juga layak untuk dikerjakan sebagai ungkapan rasa syukur.
Demikian juga dengan istilah “beriman sesaat”. Al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Sahabat Anas bin Malik, bahwa Sahabat Abdullah bin Rawahah sering mengajak orang untuk dzikir bersama dengan berkata:
تَعَالَ نُؤْمِنُ بِرَبِّنَا سَاعَةً
“Mari kita beriman pada Tuhan kita sesaat”
Suatu ketika Abdullah bin Rawahah mengatakan itu pada seseorang dan orang itu langsung marah, ia menganggap Abdullah bin Rawahah telah membuat Bid’ah dengan kalimat “beriman sesaat”, iapun mengadukan hal itu kepada Rasulullah SAW dengan berkata:
يَا رَسُوْلَ الله أَلاَ تَرَى إِلى ابْنِ رَوَاحَةَ يَرْغَبُ عَنْ إِيْمَانِكَ إِلَى إِيْمَانِ سَاعَة
“Ya Rasulullah, sesungguhnya Abdullah bin Rawahah telah meninggalkan iman dengan caramu dan memilih iman sesaat.”
Maka Rasulullah SAW berkata:
يَرْحَمُ اللهُ ابْنَ رَوَاحَةَ إِنَّهُ يُحِبُّ الْمَجَالِسَ الَّتِيْ تُبَاهِى بِهَا الْمَلاَئِكَة
“Semoga Allah merahmati Abdullah bin Rawahah, dia itu menyukai majlis yang dibanggakan oleh para Malaikat.”
Riwayat lain menyatakan bahwa Sahabat Mu’adz bin Jabal juga sering mengungkapkan kalimat itu. Sepertinya, Abdullah bin Rawahah adalah orang bertama yang memiliki ide kalimat “beriman sesaat”. Setelah kasus pengaduan kepada Rasulullah itu kemudian kalimat ini menjadi populer dan Mu’adz bin Jabal yang paling sering menggunakannya.
Coba kita perhatikan, seandainya inisiatif itu tidak muncul dari seorang Abdullah bin Rawahah atau Mu’adz bin Jabal, mungkin tidak akan pernah ada ikrar dari Rasulullah bahwa istilah “beriman sesaat” itu boleh digunakan.
Dari dua riwayat itu dan riwayat lain yang senada, kita bisa menyimpulkan, bahwa Rasulullah sudah memberikan contoh kepada kita sebagai dasar pemikiran untuk inisiatif baik. Apalagi lagi Rasulullah pernah bersabda “Man Sanna Sunnatan ..” (Barang siapa yang mengawali suatu bentuk perbuatan baik dst). Maka kumpulan riwayat itu menyimpulkan seolah-olah Rasulullah SAW berkata “Cerdaslah dan kreatiflah kalian, selama ide kalian itu baik dan tidak menyalahi Syari’at.”
_________________________________________
Dan sebagai tambahan dari hadiah ku ini, berikut tulisan yang saya kutip dari Tim Lembaga Bahtsul Masa’il PC NU Jember dalam buku : “Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & DzikirSyirik” yang juga menyebutkan Dalil – dalil tentang adanya Bid’ah Hasanah yang dilakukan oleh para Sahabat ra pada masa Rasulullah, yaitu :
1. Hadits Muadz bin Jabal ra, yang diriwayatkan oleh al Thabarani dalam al Mu’jam al Kabir(20/271) dan al Imam Ahnad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi Syaibah dan lain-lain, yang menceritakan hal yang beliau (Muadz) lakukan ketika terlambat datang shalat berjama’ah. Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam Ibadah, seperti shalat atau lainnya apabila sesuai dengan tuntunan syara’.
2. Hadits al Ash bin Wa’il ra, yang diriwayatkan oleh al Thabarani, Al Hafizh al Haitsami –guru al Hafizh Ibnu Hajar- mengatakan dalam Majmu Zawaid (6/10631) para perawi hadits ini tsiqat dan perawi hadits shahih, yang menceritakan bagaimana suku Dzuhl bin Syaiban bertawassul dengan nama Nabi atas inisiatif pemimpin mereka dan belum mereka pelajari dari Nabi saw. Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru apabila sesuai dengan tuntunan syara’. Dengan demikian tidak selamanya perbuatan yang tidak diajarkan oleh Nabi saw selalu keliru dan buruk.
3. Hadits Bilal ra, yang diriwayatkan oleh al Bukhari (1149), Muslim (6247), al Nasai dalam Fadhail al Shahabah (132), al Baghawi (1011), Ibn Hibban (7085), Abu Ya’la (6104), Ibn Khuzaimah (1208), Ahmad (5/354), dan al Hakim (1/313), yang menceritakan bagaimana beliau (Bilal ra) selalu menjaga wudhu dan shalat dua rakaat setiap selesai adzan ataupun wudhu. Hadits ini memberikan faedah bolehnya berijtihad dalam menentukan waktu ibadah, karena Bilal memperoleh derajat tsb berdasarkan Ijtihadnya sendiri, tanpa dianjurkan, dan tanpa bertanya kepada Nabi saw.
4. Hadits Ibnu Abbas ra, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (3061), yang menceritakan beliau (Ibnu Abbas ra) mundur ke belakang berdasarkan Ijtihadnya, padahal sebelumnya Rasulullah saw telah menariknya berdiri lurus di sebelah beliau. Hadits ini membolehkan berijtihad membuat perkara baru dalam agama apabila sesuai dengan syara’.
5. Hadist Ali Bin Abi Thalib ra, yang diiriwayatkan oleh Imam Ahmad (865), yang menceritakan bagaimana Abu Bakar ra membaca Al Quran dengan suara lirih dan Umar ra yang membaca dengan suara keras, sedangkan Ammar membaca dengan mencampur berbagai ayat al Qur’an. Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat Bid’ah Hasanah dalam agama. Ketiga sahabat itu melakukan ibadah dengan caranya sendiri berdasarkan ijtihadnya masing-masing. Dari sini dapat disimpulkan bahwa tidak selamanya sesuatu yang belum diajarkan oleh oleh Nabi saw pasti buruk atau keliru. Dan agaknya cara Ammar bin Yasir membaca Al Quran sesuai dengan Tradisi Tahlil di kalangan Ahlussunnah wal Jamaah Indonesia.
6. Hadits Amr bin Ash, yang diriwayatkan oleh Abu dawud (334), Ahmad (4/203), al Daruquthni (1/178), yang menceritakan beliau (Amr bin Ash) melakukan tayamum karena kedinginan berdasarkan ijtihadnya. Dengan demikian tidak semua perkara yang tidak diajarkan oleh Nabi saw itu pasti tertolak, bahkan dapat menjadi Bid’ah Hasanah apabila sesuai dengan tuntunan syara seperti dalam hadits ini.
7. Hadits Umar bin Khaththab ra, yang diriwayatkan oleh Muslim (1357), al Tirmidzi (3592), al Nasai (884) dan Ahmad (2/14), yang menceritakan seorang laki laki yang mengucapkan Allahu akbar kabiran wal hamdulillahi katsiran wa subhanallahi bukratan wa ashila.
8. Hadits Rifa’ah bin Rafi’ ra, yang diriwayatkan oleh al Bukhari (799), al Nasai (1016), Abu Dawud (770), Ahmad (4/340), dan Ibnu Khuzaimah (614), yang menceritakan kedua orang sahabat yang mengerjakan perkara baru yang belum pernah diterimanya dari Nabi saw, yaitu menambah bacaan dzikir dalam Iftitah dan dzikir dalam I’tidal. Hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat, apabila tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur (datang dari Nabi saw), dan bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain.
Bahkan di dalam buku tersebut juga diceritakan bagaimana Imam Ahmad bin Hanbal melakukan Bid’ah Hasanah yang belum pernah dilakukan oleh Nabi saw, yaitu beliau mendoakan Imam Syafi’i di dalam shalatnya selama 40 tahun (Al Hafizh al Baihaqi, Manaqib al Imam al Syafi’i, 2/254), dan bagaimana beliau membaca doa Khatmil Qur’an sebelum ruku’ (Ibn al Qayyim, Jala’ al Afham, hal. 226),
Dan juga diceritakan bagaimana Bid’ah Hasanah yang dilakukan oleh Ibn Taimiyah dalam berzikir yaitu membaca mengulang-ulang surat al fatihah dari sejak setelah shalat subuh hingga matahari naik sambil pandangannya selalu diarahkan ke langit tanpa ada nash dari Nabi saw. (Umar bin Ali al Bazzar; Al A’lam al Aliyah fi Manaqib Ibn Taimiyah, hal 37-39).
http://www.facebook.com/profile.php?id=100000742056345#!/profile.php?id=100000742056345&v=app_2347471856

http://ummatiummati.wordpress.com/2010/06/20/kupas-tuntas-masalah-bidah-oleh-ulama-ahlussunnah-waljamaah/

Biografi Berdarah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Fakta Sejarah: Biografi Berdarah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Tentang Biografi dan atau sejarah Wahabi, seakan tidak ada habis-habisnya untuk ditulis oleh para ahli sejarah. Dalam pandangan mayoritas Umat Islam seluruh dunia, Wahabi memang sisi buruk dalam sejarah Islam yang terus berlanjut hingga saat ini. Meskipun pihak pengikut sekte Wahabi telah banyak memberikan bantahan, dan ngotot bahwa mereka-lah satu-satunya kelompok kebenaran, tapi toh mereka tetap  memiliki rasa rendah diri dalam kancah pergaulan bermasyarakat. Mereka didoktrin agar tidak membaca buku-buku agama selain buku paham wahabi. Mereka takut para pengikutnya meninggalkan ajaran Wahabi kalau memperoleh informasi lain tentang Wahabi. Kalau mereka merasa benar,  kenapa takut dengan hal-hal yang demikian remeh? Bukankah seharusnya mereka yakin atas ajarannya yang paling benar? Selain itu mangapa mereka marah atau tidak senang bila dikatakan sebagai “WAHABI”? Bukankah  sepantasnya mereka bangga? Ini adalah karena sosok perintis sekte Wahabi ini yang kontroversial, memiliki sisi-sisi kehidupan berdarah terhadap orang-orang Islam yang berselisih paham dengannya. Sehingga dalam sejarah dicatat bahwa kakak kandungnya, yaitu Syaikh Sulaiman Ibnu Abdul Wahhab harus berhijrah ke Madinah demi menghindari kekejaman sang adik bernama Muhammad bin Abdul Wahhab. Inilah penggalan-penggalan sejarah Muhammad ibn Abdil Wahhab, selamat membaca….. 
Sejarah Ringkas Muhammad ibn Abdil Wahhab Dan Gerakan Wahhabiyyah [Supaya Anda Kenal Bahwa Kaum Wahhabi Bukan Ahlussunnah]

Oleh: Abou Fateh

Permulaan munculnya Muhammad ibn Abdil Wahhab ini ialah di wilayah timur sekitar tahun 1143 H. Gerakannya yang dikenal dengan nama Wahhabiyyah mulai tersebar di wilayah Nejd dan daerah-daerah sekitarnya. Muhammad ibn Abdil Wahhab meninggal pada tahun 1206 H. Ia banyak menyerukan berbagai ajaran yang ia anggap sebagai berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah. Ajarannya tersebut banyak ia ambil atau tepatnya ia hidupkan kembali dari faham-faham Ibn Taimiyah yang sebelumnya telah padam, di antaranya; mengharamkan tawassul dengan Rasulullah, mengharamkan perjalanan untuk ziarah ke makam Rasulullah atau makam lainnya dari para Nabi dan orang-orang saleh untuk tujuan berdoa di sana dengan harapan dikabulkan oleh Allah, mengkafirkan orang yang memanggil dengan “Ya Rasulallah…!”, atau “Ya Muhammad…!”, atau seumpama “Ya Abdul Qadir…! Tolonglah aku…!” kecuali, menurut mereka, bagi yang hidup dan yang ada di hadapan saja, mengatakan bahwa talak terhadap isteri tidak jatuh jika dibatalkan. Menurutnya talak semacam itu hanya digugurkan dengan membayar kaffarah saja, seperti orang yang bersumpah dengan nama Allah, namun ia menyalahinya.
Selain menghidupkan kembali faham-faham Ibn Timiyyah, Muhammad ibn Abdil Wahhab juga membuat faham baru, di antaranya; mengharamkan mengenakan hirz (semacam jimat) walaupun di dalamnya hanya terkandung ayat-ayat al-Qur’an atau nama-nama Allah, mengharamkan bacaan keras dalam shalawat kepada Rasulullah setelah mengumandangkan adzan. Kemudian para pengikutnya, yang kenal dengan kaum Wahhabiyyah, mengharamkan perayaan maulid nabi Muhammad. Hal ini berbeda dengan Imam mereka; yaitu Ibn Taimiyah, yang telah membolehkannya.
Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, mufti Mekah pada masanya di sekitar masa akhir kesultanan Utsmaniyyah, dalam kitab Târikh yang beliau tulis menyebutkan sebagai berikut:
“Pasal; Fitnah kaum Wahhabiyyah. Dia -Muhammad ibn Abdil Wahhab- pada permulaannya adalah seorang penunut ilmu di wilayah Madinah. Ayahnya adalah salah seorang ahli ilmu, demikian pula saudaranya; Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab. Ayahnya, yaitu Syekh Abdul Wahhab dan saudaranya Syekh Sulaiman, serta banyak dari guru-gurunya mempunyai firasat bahwa Muhammad ibn Abdil Wahhab ini akan membawa kesesatan. Hal ini karena mereka melihat dari banyak perkataan dan prilaku serta penyelewengan-penyelewengan Muhammad ibn Abdil Wahhab itu sendiri dalam banyak permasalahan agama. Mereka semua mengingatkan banyak orang untuk mewaspadainya dan menghindarinya. Di kemudian hari ternyata Allah menentukan apa yang telah menjadi firasat mereka pada diri Muhammad ibn Abdil Wahhab. Ia telah banyak membawa ajaran sesat hingga menyesatkan orang-orang yang bodoh. Ajaran-ajarannya tersebut banyak yang berseberangan dengan para ulama agama ini. bahkan dengan ajarannya itu ia telah mengkafirkan orang-orang Islam sendiri. Ia mengatakan bahwa ziarah ke makam Rasulullah, tawassul dengannya, atau tawassul dengan para nabi lainnya atau para wali Allah dan orang-orang, serta menziarahi kubur mereka untuk tujuan mencari berkah adalah perbuatan syirik. Menurutnya bahwa memanggil nama Nabi ketika bertawassul adalah perbuatan syirik. Demikian pula memanggil nabi-nabi lainnya, atau memanggil para wali Allah dan orang-orang saleh untuk tujuan tawassul dengan mereka adalah perbuatan syirik. Ia juga meyakini bahwa menyandarkan sesuatu kepada selain Allah, walaupun dengan cara majâzi (metapor) adalah pekerjaan syirik, seperti bila seseorang berkata: “Obat ini memberikan manfa’at kepadaku” atau “Wali Allah si fulan memberikan manfaat apa bila bertawassul dengannya”. Dalam menyebarkan ajarannya ini, Muhammad ibn Abdil Wahhab mengambil beberapa dalil yang sama sekali tidak menguatkannya. Ia banyak memoles ungkapan-ungkapan seruannya dengan kata-kata yang menggiurkan dan muslihat hingga banyak diikuti oleh orang-orang awam. Dalam hal ini Muhammad ibn Abdil Wahhab telah menulis beberapa risalah untuk mengelabui orang-orang awam, hingga banyak dari orang-orang awam tersebut yang kemudian mengkafirkan orang-orang Islam dari para ahli tauhid” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 66)”.
Dalam kitab tersebut kemudian Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:
“Banyak sekali dari guru-guru Muhammad ibn Abdil Wahhab ketika di Madinah mengatakan bahwa dia akan menjadi orang yang sesat, dan akan banyak orang yang akan sesat karenanya. Mereka adalah orang-orang yang di hinakan oleh Allah dan dijauhkan dari rahmat-Nya. Dan kemudian apa yang dikhawatirkan oleh guru-gurunya tersebut menjadi kenyataan. Muhammad ibn Abdil Wahhab sendiri mengaku bahwa ajaran yang ia serukannya ini adalah sebagai pemurnian tauhid dan untuk membebaskan dari syirik. Dalam keyakinannya bahwa sudah sekitar enam ratus tahun ke belakang dari masanya seluruh manusia ini telah jatuh dalam syirik dan kufur. Ia mengaku bahwa dirinya datang untuk memperbaharui agama mereka. Ayat-ayat al-Qur’an yang turun tentang orang-orang musyrik ia berlakukan bagi orang-orang Islam ahli tauhid. Seperti firman Allah: “Dan siapakah yang lebih sesat dari orang yang berdoa kepada selain Allah; ia meminta kepada yang tidak akan pernah mengabulkan baginya hingga hari kiamat, dan mereka yang dipinta itu lalai terhadap orang-orang yang memintanya” (QS. al-Ahqaf: 5), dan firman-Nya: “Dan janganlah engkau berdoa kepada selain Allah terhadap apa yang tidak memberikan manfa’at bagimu dan yang tidak memberikan bahaya bagimu, jika bila engkau melakukan itu maka engkau termasuk orang-orang yang zhalim” (QS. Yunus: 106), juga firman-Nya: ”Dan mereka yang berdoa kepada selain Allah sama sekali tidak mengabulkan suatu apapun bagi mereka” (QS. al-Ra’ad: 1), serta berbagai ayat lainnya. Muhammad ibn Abdil Wahhab mengatakan bahwa siapa yang meminta pertolongan kepada Rasulullah atau para nabi lainnya, atau kepada para wali Allah dan orang-orang saleh, atau memanggil mereka, atau juga meminta syafa’at kepada mereka maka yang melakukan itu semua sama dengan orang-orang musyrik, dan menurutnya masuk dalam pengertian ayat-ayat di atas. Ia juga mengatakan bahwa ziarah ke makam Rasulullah atau para nabi lainnya, atau para wali Allah dan orang-orang saleh untuk tujuan mencari berkah maka sama dengan orang-orang musyrik di atas. Dalam al-Qur’an Allah berfirman tentang perkataan orang-orang musyrik saat mereka menyembah berhala: “Tidaklah kami menyembah mereka -berhala-berhala- kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah” (QS. al-Zumar: 3), menurut Muhammad ibn Abdil Wahhab bahwa orang-orang yang melakukan tawassul sama saja dengan orang-orang musyrik para penyembah berhala yang mengatakan tidaklah kami menyembah berhala-berhala tersebut kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 67).
Pada halaman selanjutnya Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:
“Al-Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah ibn Umar dari Rasulullah dalam menggambarkan sifat-sifat orang Khawarij bahwa mereka mengutip ayat-ayat yang turun tentang orang-orang kafir dan memberlakukannya bagi orang-orang mukmin. Dalam Hadits lain dari riwayat Abdullah ibn Umar pula bahwa Rasulullah telah bersabda: “Hal yang paling aku takutkan di antara perkara yang aku khawatirkan atas umatku adalah seseorang yang membuat-buat takwil al-Qur’an, ia meletakan -ayat-ayat al-Qur’an tersebut- bukan pada tempatnya”. Dua riwayat Hadits ini benar-benar telah terjadi pada kelompok Wahhabiyyah ini” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 68).
Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan masih dalam buku tersebut menuliskan pula:
“Di antara yang telah menulis karya bantahan kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab adalah salah seorang guru terkemukanya sendiri, yaitu Syekh Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi, penulis kitab Hâsyiah Syarh Ibn Hajar Alâ Matn Bâ Fadlal. Di antara tulisan dalam karyanya tersebut Syekh Sulaiman mengatakan: Wahai Ibn Abdil Wahhab, saya menasehatimu untuk menghentikan cacianmu terhadap orang-orag Islam” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 69).
Masih dalam kitab yang sama Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan juga menuliskan:
“Mereka (kaum Wahhabiyyah) malarang membacakan shalawat atas Rasulullah setelah dikumandangkan adzan di atas menara-menara. Bahkan disebutkan ada seorang yang saleh yang tidak memiliki penglihatan, beliau seorang pengumandang adzan. Suatu ketika setelah mengumandangkan adzan ia membacakan shalawat atas Rasulullah, ini setelah adanya larangan dari kaum Wahhabiyyah untuk itu. Orang saleh buta ini kemudian mereka bawa ke hadapan Muhammad ibn Abdil Wahhab, selanjutnya ia memerintahkan untuk dibunuh. Jika saya ungkapkan bagimu seluruh apa yang diperbuat oleh kaum Wahhabiyyah ini maka banyak jilid dan kertas dibutuhkan untuk itu, namun setidaknya sekedar inipun cukup” (al-Futûhat al-Islâmiyyah, j. 2, h. 77).
Di antara bukti kebenaran apa yang telah ditulis oleh Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dalam pengkafiran kaum Wahhabiyyah terhadap orang yang membacakan shalawat atas Rasulullah setelah dikumandangkan adzan adalah peristiwa yang terjadi di Damaskus Siria (Syam). Suatu ketika pengumandang adzan masjid Jami’ al-Daqqaq membacakan shalawat atas Rasulullah setelah adzan, sebagaimana kebiasaan di wilayah itu, ia berkata: “as-Shalât Wa as-Salâm ‘Alayka Ya Rasûlallâh…!”, dengan nada yang keras. Tiba-tiba seorang Wahhabi yang sedang berada di pelataran masjid berteriak dengan keras: “Itu perbuatan haram, itu sama saja dengan orang yang mengawini ibunya sendiri…”. Kemudian terjadi pertengkaran antara beberapa orang Wahhabi dengan orang-orang Ahlussunnah, hingga orang Wahhabi tersebut dipukuli. Akhirnya perkara ini dibawa ke mufti Damaskus saat itu, yaitu Syekh Abu al-Yusr Abidin. Kemudian mufti Damaskus ini memanggil pimpinan kaum Wahhabiyyah, yaitu Nashiruddin al-Albani, dan membuat perjanjian dengannya untuk tidak menyebarkan ajaran Wahhabi. Syekh Abu al-Yusr mengancamnya bahwa jika ia terus mengajarkan ajaran Wahhabi maka ia akan dideportasi dari Siria.
Kemudian Syekh as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan menuliskan:
“Muhammad ibn Abdil Wahhab, perintis berbagai gerakan bid’ah ini, sering menyampaikan khutbah jum’at di masjid ad-Dar’iyyah. Dalam seluruh khutbahnya ia selalu mengatakan bahwa siapapun yang bertawassul dengan Rasulullah maka ia telah menjadi kafir. Sementara itu saudaranya sendiri, yaitu Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab adalah seorang ahli ilmu. Dalam berbagai kesempatan, saudaranya ini selalu mengingkari Muhammad ibn Abdil Wahhab dalam apa yang dia lakukan, ucapakan dan segala apa yang ia perintahkan. Sedikitpun, Syekh Sulaiman ini tidak pernah mengikuti berbagai bid’ah yang diserukan olehnya. Suatu hari Syekh Sulaiman berkata kepadanya: “Wahai Muhammad Berapakah rukun Islam?” Muhammad ibn Abdil Wahhab menjawab: “Lima”. Syekh Sulaiman berkata: “Engkau telah menjadikannya enam, dengan menambahkan bahwa orang yang tidak mau mengikutimu engkau anggap bukan seorang muslim”.
Suatu hari ada seseorang berkata kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab: “Berapa banyak orang yang Allah merdekakan (dari neraka) di setiap malam Ramadlan? Ia menjawab: “Setiap malam Ramadlan Allah memerdekakan seratus ribu orang, dan di akhir malam Allah memerdekakan sejumlah orang yang dimerdekakan dalam sebulan penuh”. Tiba-tiba orang tersebut berkata: “Seluruh orang yang mengikutimu jumlah mereka tidak sampai sepersepuluh dari sepersepuluh jumlah yang telah engkau sebutkan, lantas siapakah orang-orang Islam yang dimerdekakan Allah tersebut?! Padahal menurutmu orang-orang Islam itu hanyalah mereka yang mengikutimu”. Muhammad ibn Abdil Wahhab terdiam tidak memiliki jawaban.
Ketika perselisihan antara Muhammad ibn Abdil Wahhab dengan saudaranya; Syekh Sulaiman semakin memanas, saudaranya ini akhirnya khawatir terhadap dirinya sendiri. Karena bisa saja Muhammad ibn Abdil Wahhab sewaktu-waktu menyuruh seseorang untuk membunuhnya. Akhirnya ia hijrah ke Madinah, kemudian menulis karya sebagai bantahan kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab yang kemudian ia kirimkan kepadanya. Namun, Muhammad ibn Abdil Wahhab tetap tidak bergeming dalam pendirian sesatnya. Demikian pula banyak para ulama madzhab Hanbali yang telah menulis berbagai risalah bantahan terhadap Muhammad ibn Abdil Wahhab yang mereka kirimkan kepadanya. Namun tetap Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak berubah sedikitpun.
Suatu ketika, salah seorang kepala sautu kabilah yang cukup memiliki kekuatan hingga hingga Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak dapat menguasainya berkata kepadanya: ”Bagaimana sikapmu jika ada seorang yang engkau kenal sebagai orang yang jujur, amanah, dan memiliki ilmu agama berkata kepadamu bahwa di belakang suatu gunung terdapat banyak orang yang hendak menyerbu dan membunuhmu, lalu engkau kirimkan seribu pasukan berkuda untuk medaki gunung itu dan melihat orang-orang yang hendak membunuhmu tersebut, tapi ternyata mereka tidak mendapati satu orangpun di balik gunung tersebut, apakah engkau akan membenarkan perkataan yang seribu orang tersebut atau satu orang tadi yang engkau anggap jujur?” Muhammad ibn Abdil Wahhab menjawab: ”Saya akan membenarkan yang seribu orang”. Kemudian kepada kabilah tersebut berkata: ”Sesungguhnya para ulama Islam, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, dalam karya-karya mereka telah mendustakan ajaran yang engkau bawa, mereka mengungkapkan bahwa ajaran yang engkau bawa adalah sesat, karena itu kami mengikuti para ulama yang banyak tersebut dalam menyesatkan kamu”. Saat itu Muhammad ibn Abdil Wahhab sama sekali tidak berkata-kata.
Terjadi pula peristiwa, suatu saat seseorang berkata kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab: ”Ajaran agama yang engkau bawa ini apakah ini bersambung (hingga Rasulullah) atau terputus?”. Muhammad ibn Abdil Wahhab menjawab: ”Seluruh guru-guruku, bahkan guru-guru mereka hingga enam ratus tahun lalu, semua mereka adalah orang-orang musyrik”. Orang tadi kemudian berkata: ”Jika demikian ajaran yang engkau bawa ini terputus! Lantas dari manakah engkau mendapatkannya?” Ia menjawab: ”Apa yang aku serukan ini adalah wahyu ilham seperti Nabi Khadlir”. Kemudian orang tersebut berkata: ”Jika demikian berarti tidak hanya kamu yang dapat wahyu ilham, setiap orang bisa mengaku bahwa dirinya telah mendapatkan wahyu ilham. Sesungguhnya melakukan tawassul itu adalah perkara yang telah disepakati di kalangan Ahlussunnah, bahkan dalam hal ini Ibn Taimiyah memiliki dua pendapat, ia sama sekali tidak mengatakan bahwa orang yang melakukan tawassul telah menjadi kafir” (ad-Durar as-Saniyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah, h. 42-43).
Yang dimaksud oleh Muhammad ibn Abdil Wahhab bahwa orang-orang terdahulu dalam keadaan syirik hingga enam ratus tahun ke belakang dari masanya ialah hingga tahun masa hidup Ibn Taimiyah, yaitu hingga sekitar abad tujuh dan delapan hijriyah ke belakang. Menurut Muhammad ibn Abdil Wahhab dalam rentang masa antara hidup Ibn Taimiyah, yaitu di abad tujuh dan delapan hijriyah dengan masa hidupnya sendiri yaitu pada abad dua belas hijriyah, semua orang di dalam masa tersebut adalah orang-orang musyrik. Ia memandang dirinya sendiri sebagai orang yang datang untuk memperbaharui tauhid. Dan ia menganggap bahwa hanya Ibn Taimiyah yang selaras dengan jalan dakwah dirinya. Menurutnya, Ibn Taimiyah di masanya adalah satu-satunya orang yang menyeru kepada Islam dan tauhid di mana saat itu Islam dan tauhid tersebut telah punah. Lalu ia mengangap bahwa hingga datang abad dua belas hijriyah, hanya dirinya seorang saja yang melanjutkan dakwah Ibn Taimiyah tersebut.
Klaim Muhammad ibn Abdil Wahhab ini sungguh sangat sangat aneh, bagaimana ia dengan sangat berani mengakafirkan mayoritas umat Islam Ahlussunnah yang jumlahnya ratusan juta, sementara ia menganggap bahwa hanya pengikutnya sendiri yang benar-benar dalam Islam?! Padahal jumalah mereka di masanya hanya sekitar seratus ribu orang. Kemudian di Najd sendiri, yang merupakan basis gerakannya saat itu, mayoritas penduduk wilayah tersebut di masa hidup Muhammad ibn Abdil Wahhab tidak mengikuti ajaran dan faham-fahamnya. Hanya saja memang saat itu banyak orang di wilayah tersebut takut terhadap dirinya, oleh karena prilakunya yang tanpa segan membunuh orang-orang yang tidak mau mengikuti ajakannya.
Prilaku jahat Muhammad ibn Abdil Wahhab ini sebagaimana diungkapkan oleh al-Amir ash-Shan’ani, penulis kitab Subul as-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm. Pada awalnya, ash-Shan’ani memuji-muji dakwah Muhammad ibn Abdil Wahhab, namun setelah ia mengetahui hakekat siapa Muhammad ibn Abdil Wahhab, ia kemudian berbalik mengingkarinya. Sebelum mengetahui siapa hakekat Muhammad ibn Abdil Wahhab, ash-Shan’ani memujinya dengan menuliskan beberapa sya’ir, yang pada awal bait sya’ir-sya’ir tersebut ia mengatakan:

سَلاَمٌ عَلَى نَجْدٍ وَمَنْ حَلّ فِي نَجْدِ وَإنْ كَانَ تَسْلِيْمِيْ عَلَى البُعْدِ لاَ يجْدِي

“Salam tercurah atas kota Najd dan atas orang-orang yang berada di dalamnya, walaupun salamku dari kejauhan tidak mencukupi”.
Bait-bait sya’ir tulisan ash-Shan’ani ini disebutkan dalam kumpulan sya’ir-sya’ir (Dîwân) karya ash-Shan’ani sendiri, dan telah diterbitkan. Secara keseluruhan, bait-bait syair tersebut juga dikutip oleh as-Syaukani dalam karyanya berjudul al-Badr at-Thâli’, juga dikutip oleh Shiddiq Hasan Khan dalam karyanya berjudul at-Tâj al-Mukallal, yang oleh karena itu Muhammad ibn Abdil Wahhab mendapatkan tempat di hati orang-orang yang tidak mengetahui hakekatnya. Padahal al-Amir ash-Shan’ani setelah mengetahui bahwa prilaku Muhammad ibn Abdil Wahhab selalu membunuh orang-orang yang tidak sepaham dengannya, merampas harta benda orang lain, mengkafirkan mayoritas umat Islam, maka ia kemudian meralat segala pujian terhadapnya yang telah ia tulis dalam bait-bait syairnya terdahulu, yang lalu kemudian balik mengingkarinya. Ash-Shan’ani kemudian membuat bait-bait sya’ir baru untuk mengingkiari apa yang telah ditulisnya terdahulu, di antaranya sebagai berikut:

رَجَعْتُ عَن القَول الّذيْ قُلتُ فِي النّجدِي فقَدْ صحَّ لِي عنهُ خلاَفُ الّذِي عندِي
ظنَنْتُ بهِ خَيْرًا فَقُـلْتُ عَـسَى عَـسَى نَجِدْ نَاصِحًا يَهْدي العبَادَ وَيستهْدِي
لقَد خَـابَ فيْه الظنُّ لاَ خَاب نصـحُنا ومَـا كلّ ظَـنٍّ للحَقَائِق لِي يهدِي
وقَـدْ جـاءَنا من أرضِـه الشيخ مِرْبَدُ فحَقّق مِنْ أحـوَاله كلّ مَا يبـدِي
وقَـد جَـاءَ مِـن تأليــفِهِ برَسَـائل يُكَـفّر أهْلَ الأرْض فيْهَا عَلَى عَمدِ
ولـفق فِـي تَكْـفِيرِهمْ كل حُــجّةٍ تَرَاهـا كبَيتِ العنْكَبوتِ لدَى النّقدِ

“Aku ralat ucapanku yang telah aku ucapkan tentang seorang yang berasal dari Najd, sekarang aku telah mengetahui kebenaran yang berbeda dengan sebelumnya”.
“Dahulu aku berbaik sangka baginya, dahulu aku berkata: Semoga kita mendapati dirinya sebagi seorang pemberi nasehat dan pemeberi petunjuk bagi orang banyak”
“Ternyata prasangka baik kita tentangnya adalah kehampaan belaka. Namun demikian bukan berarti nasehat kita juga merupakan kesia-siaan, karena sesungguhnya setiap prasangka itu didasarkan kepada ketaidaktahuan akan hakekat-hakekat”.
“Telah datang kepada kami “Syekh” ini dari tanah asalnya. Dan telah menjadi jelas bagi kami dengan sejelas-jelasnya tentang segala hakekat keadaannya dalam apa yang ia tampakkan”.
“Telah datang dalam beberapa tulisan risalah yang telah ia tuliskan, dengan sengaja di dalamnya ia mengkafirkan seluruh orang Islam penduduk bumi, -selain pengikutnya sendiri-”.
“Seluruh dalil yang mereka jadikan landasan dalam mengkafirkan seluruh orang Islam penduduk bumi tersebut jika dibantah maka landasan mereka tersebut laksana sarang laba-laba yang tidak memiliki kekuatan”.
Selain bait-bait sya’ir di atas terdapat lanjutannya yang cukup panjang, dan ash-Shan’ani sendiri telah menuliskan penjelasan (syarh) bagi bait-bait syair tersebut. Itu semua ditulis oleh ash-Shan’ani hanya untuk membuka hekekat Muhammad ibn Abdil Wahhab sekaligus membantah berbagai sikap ekstrim dan ajaran-ajarannya. Kitab karya al-Amir ash-Shan’ani ini beliau namakan dengan judul “Irsyâd Dzawî al-Albâb Ilâ Haqîqat Aqwâl Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb”.
Saudara kandung Muhammad ibn Abdil Wahhab yang telah kita sebutkan di atas, yaitu Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab, juga telah menuliskan karya bantahan kepadanya. Beliau namakan karyanya tersebut dengan judul ash-Shawâ-iq al-Ilâhiyyah Fî al-Radd ‘Alâ al-Wahhâbiyyah, dan buku ini telah dicetak. Kemudian terdapat karya lainnya dari Syekh Suliman, yang juga merupakan bantahan kepada Muhammad ibn Abdil Wahhab dan para pengikutnya, berjudul “Fashl al-Khithâb Fî ar-Radd ‘Alâ Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhâb”.
Kemudian pula salah seorang mufti madzhab Hanbali di Mekah pada masanya, yaitu Syekh Muhammad ibn Abdullah an-Najdi al-Hanbali, wafat tahun 1295 hijriyah, telah menulis sebuah karya berjudul “as-Suhub al-Wâbilah ‘Alâ Dlarâ-ih al-Hanâbilah”. Kitab ini berisi penyebutan biografi ringkas setiap tokoh terkemuka di kalangan madzhab Hanbali. Tidak sedikitpun nama Muhammad ibn Abdil Wahhab disebutkan dalam kitab tersebut sebagai orang yang berada di jajaran tokoh-tokoh madzhab Hanbali tersebut. Sebaliknya, nama Muhammad ibn Abdil Wahhab ditulis dengan sangat buruk, namanya disinggung dalam penyebutan nama ayahnya; yaitu Syekh Abdul Wahhab ibn Sulaiman. Dalam penulisan biografi ayahnya ini Syekh Muhammad ibn Abdullah an-Najdi mengatakan sebagai berikut:
“Dia (Abdul Wahhab ibn Sulaiman) adalah ayah kandung dari Muhammad yang ajaran sesatnya telah menyebar ke berbagai belahan bumi. Antara ayah dan anak ini memiliki perbedaan faham yang sangat jauh, dan Muhammad ini baru menampakan secara terang-terangan terhadap segala faham dan ajaran-ajarannya setelah kematian ayahnya. Aku telah diberitahukan langsung oleh beberapa orang dari sebagian ulama dari beberapa orag yang hidup semasa dengan Syekh Abdul Wahhab, bahwa ia sangat murka kepada anaknya; Muhammad. Karena Muhammad ini tidak mau mempelajari ilmu fiqih (dan ilmu-ilmu agama lainnya) seperti orang-orang pendahulunya. Ayahnya ini juga mempunyai firasat bahwa pada diri Muhammad akan terjadi kesesatan yang sanat besar. Kepada banyak orang Syekh Abdul Wahhab selalu mengingatkan: ”Kalian akan melihat dari Muhammad ini suatu kejahatan…”. Dan ternyata memang Allah telah mentaqdirkan apa yang telah menjadi firasat Syekh Abdul Wahhab ini.
Demikian pula dengan saudara kandungnya, yaitu Syekh Sulaiman ibn Abdil Wahhab, ia sangat mengingkari sepak terjang Muhammad. Ia banyak membantah saudaranya tersebut dengan berbagai dalil dari ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-Hadits, karena Muhammad tidak mau menerima apapun kecuali hanya al-Qur’an dan Hadits saja. Muhammad sama sekali tidak menghiraukan apapun yang dinyatakan oleh para ulama, baik ulama terdahulu atau yang semasa dengannya. Yang ia terima hanya perkataan Ibn Taimiyah dan muridnya; Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah. Apapun yang dinyatakan oleh dua orang ini, ia pandang laksana teks yang tidak dapat diganggu gugat. Kepada banyak orang ia selalu mempropagandakan pendapat-pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim, sekalipun terkadang dengan pemahaman yang sama sekali tidak dimaksud oleh keduanya. Syekh Sulaiman menamakan karya bantahan kepadanya dengan judul Fashl al-Khithâb Fî ar-Radd ‘Alâ Muhammad Ibn ’Abd al-Wahhâb.
Syekh Sulaiman ini telah diselamatkan oleh Allah dari segala kejahatan dan marabahaya yang ditimbulkan oleh Muhammad, yang padahal hal tersebut sangat menghkawatirkan siapapun. Karena Muhammad ini, apa bila ia ditentang oleh seseorang dan ia tidak kuasa untuk membunuh orang tersebut dengan tangannya sendiri maka ia akan mengirimkan orangnya untuk membunuh orang itu ditempat tidurnya, atau membunuhnya dengan cara membokongnya di tempat-tempat keramaian di malam hari, seperti di pasar. Ini karena Muhammad memandang bahwa siapapun yang menentangnya maka orang tersebut telah menjadi kafir dan halal darahnya.
Disebutkan bahwa di suatu wilayah terdapat seorang gila yang memiliki kebiasaan membunuh siapapun yang ada di hadapannya. Kemudian Muhammad memerintahkan orang-orangnya untuk memasukkan orang gila tersebut dengan pedang ditangannya ke masjid di saat Syekh Sulaiman sedang sendiri di sana. Ketika orang gila itu dimasukan, Syekh Sulaiman hanya melihat kepadanya, dan tiba-tiba orang gila tersebut sangat ketakutan darinya. Kemudian orang gila tersebut langsung melemparkankan pedangnya, sambil berkata: ”Wahai Sulaiman janganlah engkau takut, sesungguhnya engkau adalah termasuk orang-orang yang aman”. Orang gila itu mengulang-ulang kata-katanya tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini jelas merupakan karamah” (as-Suhub al-Wâbilah Ala Dlara-ih al-Hanbilah, h. 275).
Dalam tulisan Syekh Muhammad ibn Abdullah an-Najdi di atas bahwa Syekh Abdul Wahhab sangat murka sekali kepada anaknya; Muhammad, karena tidak mau mempelajari ilmu fiqih, ini artinya bahwa dia sama sekali bukan seorang ahli fiqih dan bukan seorang ahli Hadits. Adapun yang membuat dia sangat terkenal tidak lain adalah karena ajarannya yang sangat ekstrim dan nyeleneh. Sementara para pengikutnya yang sangat mencintainya, hingga mereka menggelarinya dengan Syekh al-Islâm atau Mujaddid, adalah klaim laksana panggang yang sangat jauh dari api. Para pengikutnya yang lalai dan terlena tersebut hendaklah mengetahui dan menyadari bahwa tidak ada seorangpun dari sejarawan terkemuka di abad dua belas hijriyah yang mengungkap biografi Muhammad ibn Abdil Wahhab dengan menyebutkan bahwa dia adalah seorang ahli fiqih atau seorang ahli Hadits.
Syekh Ibn Abidin al-Hanafi dalam karyanya; Hâsyiyah Radd al-Muhtâr ‘Alâ ad-Durr al-Mukhtâr menuslikan sebagai berikut:
“Penjelasan; Prihal para pengikut Muhammad ibn Abdil Wahhab sebagai kaum Khawarij di zaman kita ini. Pernyataan pengarang kitab (yang saya jelaskan ini) tentang kaum Khawarij: “Wa Yukaffirûn Ash-hâba Nabiyyina…”, bahwa mereka adalah kaum yang mengkafirkan para sahabat Rasulullah, artinya kaum Khawarij tersebut bukan hanya mengkafirkan para sahabat saja, tetapi kaum Khawarij adalah siapapun mereka yang keluar dari pasukan Ali ibn Abi Thalib dan memberontak kepadanya. Kemudian dalam keyakinan kaum Khawajij tersebut bahwa yang memerangi Ali ibn Abi Thalib, yaitu Mu’awiyah dan pengikutnya, adalah juga orang-orang kafir. Kelompok Khawarij ini seperti yang terjadi di zaman kita sekarang, yaitu para pengikut Muhammad ibn Abdil Wahhab yang telah memerangi dan menguasai al-Haramain; Mekkah dan Madinah. Mereka memakai kedok madzhab Hanbali.
Mereka meyakini bahwa hanya diri mereka yang beragama Islam, sementara siapapun yang menyalahi mereka adalah orang-orang musyrik. Lalu untuk menegakan keyakinan ini mereka mengahalalkan membunuh orang-orang Ahlussunnah. Oleh karenanya banyak di antara ulama Ahlussunnah yang telah mereka bunuh. Hingga kemudian Allah menghancurkan kekuatan mereka dan membumihanguskan tempat tinggal mereka hingga mereka dikuasai oleh balatentara orang-orang Islam, yaitu pada tahun seribu dua ratus tiga puluh tiga hijriyah (th 1233 H)” (Radd al-Muhtâr ‘Alâ ad-Durr al-Mukhtâr, j. 4, h. 262; Kitab tentang kaum pemberontak.).
Salah seorang ahli tafsir terkemuka; Syekh Ahmad ash-Shawi al-Maliki dalam ta’lîq-nya terhadap Tafsîr al-Jalâlain menuliskan sebagai berikut:
“Menurut satu pendapat bahwa ayat ini turun tentang kaum Khawarij, karena mereka adakah kaum yang banyak merusak takwil ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-Hadits Rasulullah. Mereka menghalalkan darah orang-orang Islam dan harta-harta mereka. Dan kelompok semacam itu pada masa sekarang ini telah ada. Mereka itu adalah kelompok yang berada di negeri Hijaz; bernama kelompok Wahhabiyyah. Mereka mengira bahwa diri mereka adalah orang-orang yang benar dan terkemuka, padahal mereka adalah para pendusta. Mereka telah dikuasai oleh setan hingga mereka lalai dari mengenal Allah. Mereka adalah golongan setan, dan sesungguhnya golongan setan adalah orang-orang yang merugi. Kita berdo’a kepada Allah, semoga Allah menghancurkan mereka” (Mir-ât an-Najdiyyah, h. 86).

Bukti Ibnu Taymiyah dan Al-Bany Taubat Dari Aqidah Sesat

Bukti Ibnu Taymiyah dan Al-Bany Taubat Dari Aqidah Sesat

1. (MESTI BACA) Ibnu Taimiah Bertaubat Dari Akidah Salah


Oleh: abu_syafiq As-Salafy (012-2850578)
Assalamu3alaykum
Ramai yang tidak mengkaji sejarah dan hanya menerima pendapat Ibnu Taimiah sekadar dari bacaan kitabnya sahaja tanpa merangkumkan fakta sejarah dan kebenaran dengan telus dan ikhlas.
Dari sebab itu mereka (seperti Wahhabiyah) sekadar berpegang dengan akidah salah yang termaktub dalam tulisan Ibnu Taimiah khususnya dalam permasaalahan usul akidah berkaitan kewujudan Allah dan pemahaman ayat ” Ar-Rahman ^alal Arasy Istawa”.
Dalam masa yang sama mereka jahil tentang khabar dan berita sebenar berdasarkan sejarah yang diakui oleh ulama dizaman atau yang lebih hampir dengan Ibnu Taimiah yang sudah pasti lebih mengenali Ibnu Taimiah daripada kita dan Wahhabiyah. Dengan kajian ini dapatlah kita memahami bahawa sebenarnya akidah Wahhabiyah antaranya :
1-Allah duduk di atas kursi.
2-Allah duduk dan berada di atas arasy.
3-Tempat bagi Allah adalah di atas arasy.
4-Berpegang dengan zohir(duduk) pada ayat “Ar-Rahman ^alal Arasy Istawa”.
5-Allah berada di langit.
6-Allah berada di tempat atas.
7-Allah bercakap dengan suara.
8-Allah turun naik dari tempat ke tempat dan selainnya daripada akidah kufur sebenarnya Ibnu Taimiah telah bertaubat daripada akidah sesat tersebut dengan mengucap dua kalimah syahadah serta mengaku sebagai pengikut Asyairah dengan katanya:
“saya golongan Asy’ary”.
(Malangnya Wahhabi mengkafirkan golongan Asyairah, lihat buktinya :http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/05/hobi-wahhabi-kafirkan-umat-islam.html).

Syeikhul Islam Imam Al-Hafiz As-Syeikh Ibnu Hajar Al-Asqolany yang hebat dalam ilmu hadith dan merupakan ulama hadith yang siqah dan pakar dalam segala ilmu hadith dan merupakan pengarang kitab syarah kepada Sohih Bukhari berjudul Fathul Bari beliau telah menyatakan kisah taubat Ibnu taimiah ini serta tidak menafikan kesahihannya dan ianya diakui olehnya sendiri dalam kitab beliau berjudul Ad-Durar Al-Kaminah Fi ‘ayan Al-Miaah As-Saminah yang disahihkan kewujudan kitabnya oleh ulama-ulama Wahhabi juga termasuk kanak-kanak Wahhabi di Malaysia ( Mohd Asri Zainul Abidin).
Kenyatan bertaubatnya Ibnu Taimiah dari akidah sesat tersebut juga telah dinyatakan oleh seorang ulama sezaman dengan Ibnu Taimiah iaitu Imam As-Syeikh Syihabud Din An-Nuwairy wafat 733H.
Ini penjelasannya :
Berkata Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany dalam kitabnya berjudul :
Ad-Durar Al-Kaminah Fi “ayan Al-Miaah As-Saminah
cetakan 1414H Dar Al-Jiel
juzuk 1 m/s 148
dan Imam As-Syeikh Syihabuddin An-Nuwairy wafat 733H :
cetakan Dar Al-Kutub Al-Misriyyah
juzuk 32 m/s 115-116
dalam kitab berjudul Nihayah Al-Arab Fi Funun Al-Adab nasnya:
أما تقي الدين فإنه استمر في الجب بقلعة الجبل
إلى أن وصل الأمير حسام الدين مهنا إلى الأبواب السلطانية في شهر ربيع الأول سنة سبع وسبعمائة ، فسأل السلطان في أمره وشفع فيه ، فأمر بإخراجه ، فأخرج في يوم الجمعة الثالث والعشرين من الشهر وأحضر إلى دار النيابة بقلعة الجبل ، وحصل بحث مع الفقهاء ، ثم اجتمع جماعة من أعيان العلماء ولم تحضره القضاة ، وذلك لمرض قاضي القضاة زين الدين المالكي ، ولم يحضر غيره من القضاة ، وحصل البحث ، وكتب خطه ووقع الإشهاد عليه وكتب بصورة المجلس مكتوب مضمونه : بسم الله الرحمن الرحيم شهد من يضع خطه آخره أنه لما عقد مجلس لتقي الدين أحمد بن تيمية الحراني الحنبلي بحضرة المقر الأشرف العالي المولوي الأميري الكبيري العالمي العادلي السيفي ملك الأمراء سلار الملكي الناصري نائب السلطنة المعظمة أسبغ الله ظله ، وحضر فيه جماعة من السادة العلماء الفضلاء أهل الفتيا بالديار المصرية بسبب ما نقل عنه ووجد بخطه الذي عرف به قبل ذلك من الأمور المتعلقة باعتقاده أن الله تعالى يتكلم بصوت ، وأن الاستواء على حقيقته ، وغير ذلك مما هو مخالف لأهل الحق ، انتهى المجلس بعد أن جرت فيه مباحث معه ليرجع عن اعتقاده في ذلك ، إلى أن قال بحضرة شهود : ( أنا أشعري ) ورفع كتاب الأشعرية على رأسه ، وأشهد عليه بما كتب خطا وصورته : (( الحمد لله ، الذي أعتقده أن القرآن معنى قائم بذات الله ، وهو صفة من صفات ذاته القديمة الأزلية ، وهو غير مخلوق ، وليس بحرف ولا صوت ، كتبه أحمد بن تيمية . والذي أعتقده من قوله : ( الرحمن على العرش استوى ) أنه على ما قاله الجماعة ، أنه ليس على حقيقته وظاهره ، ولا أعلم كنه المراد منه ، بل لا يعلم ذلك إلا الله تعالى ، كتبه أحمد بن تيمية . والقول في النزول كالقول في الاستواء ، أقول فيه ما أقول فيه ، ولا أعلم كنه المراد به بل لا يعلم ذلك إلا الله تعالى ، وليس على حقيقته وظاهره ، كتبه أحمد بن تيمية ، وذلك في يوم الأحد خامس عشرين شهر ربيع الأول سنة سبع وسبعمائة )) هذا صورة ما كتبه بخطه ، وأشهد عليه أيضا أنه تاب إلى الله تعالى مما ينافي هذا الاعتقاد في المسائل الأربع المذكورة بخطه ، وتلفظ بالشهادتين المعظمتين ، وأشهد عليه بالطواعية والاختيار في ذلك كله بقلعة الجبل المحروسة من الديار المصرية حرسها الله تعالى بتاريخ يوم الأحد الخامس والعشرين من شهر ربيع الأول سنة سبع وسبعمائة ، وشهد عليه في هذا المحضر جماعة من الأعيان المقنتين والعدول ، وأفرج عنه واستقر بالقاهرة
Saya terjemahkan beberapa yang penting dari nas dan kenyataan tersebut: 1- ووجد بخطه الذي عرف به قبل ذلك من الأمور المتعلقة باعتقاده أن الله تعالى يتكلم بصوت ، وأن الاستواء على حقيقته ، وغير ذلك مما هو مخالف لأهل الحق
Terjemahannya: “Dan para ulama telah mendapati skrip yang telah ditulis oleh Ibnu Taimiah yang telahpun diakui akannya sebelum itu (akidah salah ibnu taimiah sebelum bertaubat) berkaitan dengan akidahnya bahawa Allah ta’ala berkata-kata dengan suara, dan Allah beristawa dengan erti yang hakiki (iaitu duduk) dan selain itu yang bertentangan dengan Ahl Haq (kebenaran)”.
Saya mengatakan : Ini adalah bukti dari para ulama islam di zaman Ibnu Taimiah bahawa dia berpegang dengan akidah yang salah sebelum bertaubat daripadanya antaranya Allah beristawa secara hakiki iaitu duduk.
Golongan Wahhabiyah sehingga ke hari ini masih berakidah dengan akidah yang salah ini iaitu menganggap bahawa Istiwa Allah adalah hakiki termasuk Mohd Asri Zainul Abidin yang mengatakan istawa bermakna duduk cuma bagaimana bentuknya bagi Allah kita tak tahu. lihat dan dengar sendiri Asri sandarkan DUDUK bagi Allah di : http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/06/asri-menghidupkan-akidah-yahudi-allah.html .
Sedangkan ibnu Taimiah telah bertaubat dari akidah tersebut.
2- قال بحضرة شهود : ( أنا أشعري ) ورفع كتاب الأشعرية على رأسه
Terjemahannya: ” Telah berkata Ibnu Taimiah dengan kehadiran saksi para ulama: ‘ Saya golongan Asy’ary’ dan mengangkat kitab Al-Asy’ariyah di atas kepalanya ( mengakuinya)”.
Saya mengatakan :
Kepada Wahhabi yang mengkafirkan atau menghukum sesat terhadap Asya’irah, apakah mereka menghukum sesat juga terhadap Syeikhul islam mereka sendiri ini?! Siapa lagi yang tinggal sebagai islam selepas syeikhul islam kamu pun kamu kafirkan dan sesatkan?! Ibnu Taimiah mengaku sebagai golongan Asy’ary malangnya Wahhabi mengkafirkan golongan Asya’ry pula, rujuk bukti Wahhabi kafirkan golongan As’y'ary :http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/05/hobi-wahhabi-kafirkan-umat-islam.html.
3- والذي أعتقده من قوله : ( الرحمن على العرش استوى ) أنه على ما قاله الجماعة ، أنه ليس على حقيقته وظاهره ، ولا أعلم كنه المراد منه ، بل لا يعلم ذلك إلا الله تعالى ، كتبه أحمد بن تيمية
Terjemahan khot tulisan Ibnu Taimiah dihadapan para ulama islam ketika itu dan mereka semua menjadi saksi kenyataan Ibnu Taimiah : ” Dan yang aku berpegang mengenai firman Allah ‘Ar-Rahman diatas Arasy istawa’ adalah sepertimana berpegangnya jemaah ulama islam, sesungguhnya ayat tersebut bukan bererti hakikatnya(duduk) dan bukan atas zohirnya dan aku tidak mengetahui maksud sebenar-benarnya dari ayat tersebut bahkan tidak diketahui makna sebenr-benarnya dari ayat tersebut kecuali Allah.Telah menulis perkara ini oleh Ahmad Ibnu Taimiah”.
Saya mengatakan:
Ibnu Taimiah telah bertaubat dan mengatakan ayat tersebut bukan atas zohirnya dan bukan atas hakikinya iaitu bukan bererti Allah duduk mahupun bertempat atas arash.
( Bukti Ibnu Taimiah pernah dahulunya berpegang dengan akidah salah: ‘Allah Duduk’
Malangnya kesemua tok guru Wahhabi sehingga sekarang termasuk Al-Bani, Soleh Uthaimien, Bin Baz dan kesemuanya berpegang ayat tersebut secara zohirnya dan hakikatnya (duduk dan bertempat atas arasy). Lihat saja buku-buku mereka jelas menyatakan sedemikian. Maka siapakah syeikhul islam sekarang ini disisi Wahhabiyah atau adakah syeikhul islam anda wahai Wahhabi telah kafir disebabkan taubatnya?!
4- وأشهد عليه أيضا أنه تاب إلى الله تعالى مما ينافي هذا الاعتقاد في المسائل الأربع المذكورة بخطه ، وتلفظ بالشهادتين المعظمتين
Terjemahannya berkata Imam Nuwairy seperti yang dinyatakan juga oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany : ” Dan aku antara saksi bahawa Ibnu Taimiah telah bertaubat kepada Allah daripada akidah yang salah pada empat masaalah akidah yang telah dinyatakan, dan Ibnu Taimiah telah mengucap dua kalimah syahadah(bertaubat daripada akidah yang salah pernah dia pegangi terdahulu)”.
Saya mengatakan:
Ibnu Taimiah telah memeluk islam kembali dengan mengucap dua kalimah syahadah dan mengiktiraf akidahnya sebelum itu adalah salah dan kini akidah yang salahnya itu pula dipegang oleh golongan Wahhabiyah.
Maka bilakah pula golongan Wahhabiyah yang berpegang dengan akidah yang salah tersebut akan memluk agama islam semula seperti yang dilakukan oleh rujukan utama mereka yang mereka sendiri namakan sebagai Syeikhul Islam?!.
Jadikan qudwah dan ikutan Ibnu Taimiah dalam hal ini wahai Wahhabiyah!.
Ayuh! bertaubatlah sesungguhnya kebenaran itu lebih tinggi dari segala kebatilan. Pintu taubat masih terbuka bagi Wahhabi yang belum dicabut nyawa.
ULAMA-ULAMA YANG MENYATAKAN DAN MENYAKSIKAN KISAH TAUBATNYA IBNU TAIMIAH.
Selain Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany dalam kitabnya berjudul Ad-Durar Al-Kaminah Fi “ayan Al-Miaah As-Saminah cetakan 1414H Dar Al-Jiel juzuk 1 m/s 148
dan Imam As-Syeikh Syihabuddin An-Nuwairy wafat 733H cetakan Dar Al-Kutub Al-Misriyyah juzuk 32 m/s 115-116 dalam kitab berjudul Nihayah Al-Arab Fi Funun Al-Adab yang menyatakan kisah taubat Ibnu Taimiah ramai lagi ulama islam yang menyaksikan dan menceritakan kisah pengakuan tersebut antaranya lagi :
-As-Syeikh Ibnu Al-Mu’allim wafat tahun 725H dalam kitab Najmul Muhtadi Wa Rojmul Mu’tadi cetakan Paris nom 638.
-As-Syeikh Ad-Dawadai wafat selepas 736H dalam kitab Kanzu Ad-Durar – Al0Jam’-239.
-As-Syeikh Taghry Bardy Al-Hanafi bermazhab Hanafiyah wafat 874H dalam Al-Minha As-Sofi m/s576 dan beliau juga menyatakn sepertimana yang dinyatakan nasnya oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany dalam kitabnya yang lain berjudul An-Nujum Az-Zahirah Al-Jami’ 580.
Merekalah dan selain mereka telah menyatakan taubat Ibnu Taimiah daripada akidah Allah Duduk dan bertempat di atas arasy.
Kata-kata akhirku dalam penerangan kajian ringkas berfakta ini..
Wahai Wahhabiyah yang berakidah Allah Duduk di atas arasy. Itu adalah akidah kristian kafir dan yahudi laknat (Rujuk bukti :http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/05/penjelasan1-allah-duduk-atas-arasy.html . Berpeganglah dengan akidah salaf sebenar dan khalaf serta akidah ahli hadith yang di namakan sebagai akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah iaitu Allah tidak memerlukan kepada mana-mana makhlukNya termasuk tempat dilangit mahupun tempat di atas arasy. Semoga Allah merahmati hambaNya yang benar-benar mencari kebenaran. Wassalam.
* Saya mengharap komen diberikan atas artikel ini dengan syarat mestilah berfakta yang telus dan ilmiah bukan melulu dan bersemborono khususnya kepada mereka yang mengatakan ianya palsu.

Daurah masyayikh salafy timur tengah, Daurah kitab albany, Daurah daurah salafy/wahaby saudy
Syaikh nashiruddin albany, yang sering membuat fatwa-fatwa heboh dan menyesatkan ahirnya taubat sebelum matinya……disalah satu kitab terakhirnya (ia mentkhrij kitab imam adzahabi alasy’ary) albany akhirnya mengakui aqidah ahlusunnah walja’maah (Allah ada tanpa tempat dan arah) berbeda dgn fatwa-fatwa sebelumnya……mari kita lihat bukti kitab nya!!!
Maka salafy/wahaby pun ramai-ramai mengkafirkannnya!!, …..jamaah takfir akhirnya salang mengkafirkan sesamanya sendiri….na’dzubillah…
ALBANI & AZ-ZAHABI KATA: AKIDAH ISLAM ADALAH “ALLAH WUJUD TANPA BERTEMPAT” & ALLAH TIDAK BERSEMAYAM/DUDUK ATAS ARASY.
Oleh: Abu Syafiq ( Hp: 006-012-2850578 )
Sememang kebenaran akidah Islam tidak dapat ditolak oleh golongan munafiq mahupun kafir Mujassim. Ini kerana burhan dan adillah (hujjah dan dalil) yang terbit dari sumber yang mulia iaitu Al-Quran dan Hadith tiada secebis pun keraguan manakan pula kebatilan. Antara akidah Islam adalah “ Allah Wujud Tanpa Bertempat” dan inilah antara yang Ahlu Sunnah Wal Jama’ah war-warkan bagi memberi kefahaman yang tepat dalam perbincangan akidah Islam dalam mentauhidkan diri kepada Allah. WAHHABI MALAYSIA KAFIRKAN ALBANI & AZ-ZAHABI Kesemua Wahhabi di Malaysia berakidah dengan akidah yang tidak menepati Al-Quran dan Hadith Nabawi.
Ini amat jelas dengan hujjah yang telah saya ( Abu Syafiq ) kemukakan sebelum2 ini berlandaskan ayat2 Allah dan sabda Nabi Muhammad berkonsepkan kaedah ulama Salaf dan Khalaf tulen. Semua Wahhabi di Malaysia yang berakidah Allah Bertempat telah menghukum kafir terhadap umat Islam yang berakidah benar Allah Wujud Tanpa Bertempat. Pada masa yang sama Wahhabi di Malaysia alpa akan akidah tok guru mereka sendiri Nasiruddin Al-Bany dan rujukan utama mereka Al-Hafiz Az-Zahaby yang juga berakidah Allah Wujud Tanpa Bertempat, malangnya Wahhabi mengkafirkan sesiapa yang berakidah sedemikian. Ini amat jelas semua Wahhabi di Malaysia bukan hanya mengkafirkan umat Islam bahkan turut mengkafirkan tok guru dan rujukan utama mereka sendiri iaitu Al-Bani dan Az-Zahabi.
Silakan pembaca rujuk teks kenyataan Allah Wujud Tanpa Bertempat Dan Tanpa Berarah oleh Al-Bani & Az-Zahabi :
Kitab: Mukhtasor ‘Ulu Li ‘Aliyyil ‘Azhim.
Pengarang: Syamsuddin Az-Zahabi.
Pentahkik: Nasiruddin Al-Bani. Cetakan: Maktab Islami.
Mukasurat: 71.
Kenyataan teks Al-Bani bersumber kitab di atas :
“ Apabila kamu telah mendalami perkara tersebut, denganizin Allah kamu akan faham ayat-ayat Al-Quran dan Hadith Nabai serta kenyataan para ulama Salaf yang telah dinyatakan oleh Az-Zahabi dalam kitabnya ini Mukhtasor bahawa erti dan maksud sebalik itu semua adalah makna yang thabit bagi Allah iaitu ketinggian Allah pada makhluk-makhlukNya ( bukan ketinggian tempat), istawanya Allah atas arasyNya layak bagi keagonganNya dan Allah tidak ber arah dan Allah tidak bertempat”. (Sila rujuk kitab tersebut yang telah di scan di atas).
Saya menyatakan: Al-Bani telah nukilan lafaz akidah yang benar walaupun ulama Islam telah maklum bahawa golongan Mujassimah dan Tabdi’ ini pada hakikatnya akidah mereka sering berbolak balik. Albani pun mengatakan Allah tidak bertempat tetapi Wahhabi di Malaysia pula berakidah Allah itu bertempat bahkan mereka mengkafirkan pula sesiapa yang percaya Allah wujud tanpa bertempat. Kenyatan Al-Bani menafikan tempat bagi Allah adalah secara mutlak dan tidak disebut tempat yang makhluk atau tidak dan ini juga adalah bukti Al-Bani dan Az-Zahabi menafikan Allah Bersemayam/Duduk Atas Arasy. Sememangnya Al-Bani dan Az-Zahabi sering menolak akidah Allah Bersemayam/Duduk Atas ‘Arasy. Soalan saya kepada Wahhabi..mengapa kamu mengkafirkan Muhaddith kamu ini? Adakah Syeikh Islam kamu, ulama kamu dan Muftary kamu termasuk Albani ini adalah kafir kerana berakidah Allah Tidak Bertempat?
Sekiranya TIDAK maka mengapa kamu bawa akidah palsu dan sekiranya YA maka kamu semua adalah NAJIS SYAITON!. Wahai pembaca yang berakal dan budiman…. – Albani berakidah “ Allah Wujud Tanpa Bertempat dan Tidak Ber Arah ” tetapi Wahhabi Malaysia kafirkan akidah tersebut. – Hafiz Az-Zahabyi berakidah “ Allah Wujud Tanpa Bertempat dan Tanpa Ber Arah ” tetapi Wahhabi Malaysia kafirkan akidah tersebut bahkan Wahhabi berakidah Allah bertempat. Sila rujuk bukti: http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/12/buku-wahhabi-yang-tersebar-di-seluruh.html
Nah..! Dimanakah hendak dikategorikan golongan Wahhabi ini? Jamban,mangkuk, tandas? atau di tanah perkuburan yang hanya disemadikan dalamnya ahli-ahli Mujassimah pengkhianat amanah?!. Apapun saya doakan hidayah keimanan diberikan oleh Allah kepada Wahhabi yang masih hidup. Wassalam. www.abu-syafiq.blogspot.com ________________________________
KITAB-KITAB IMAM ADZAHABY SERING DIJADIKAN RUJUKAN-RUJUKAN PALSU OLEH WAHABY TAPI KALAU KITA LIHAT KITAB ASLINYA, AKAN LAIN JADINYA…. LIHAT KITAB ASLI IMAM ADZAHABY YANG BELUM DITAKHRIJ OLEH ALBANY :

AL-HAFIZ AZ-ZAHABI KAFIRKAN AKIDAH: ALLAH DUDUK

AL-HAFIZ AZ-ZAHABI KAFIRKAN AKIDAH: ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK
Oleh: Abu Syafiq ( Tel HP 006-012-2850578)
*Bersemayam yang bererti Duduk adalah sifat yang tidak layak bagi Allah dan Allah tidak pernah menyatakan demikian, begitu juga NabiNya. ___________________________________________________________________________
Hakikat kebenaran tetap akan terserlah walaupun lidah syaitan Wahhabi cuba merubahnya. Kali ini dipaparkan bagaimana rujukan utama Wahhabi iaitu Al-Hafiz Az-Zahabi sendiri mnghukum kafir akidah sesat: Allah Bersemayam/Duduk yang dipelopori oleh Wahhabi pada zaman kini. Az-Zahabi adalah Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Uthman bin Qaymaz bin Abdullah ( 673-748H ). Pengarang kitab Siyar An-Nubala’ dan kitab-kitab lain termasuk Al-Kabair.
Az-Zahabi mengkafirkan akidah Allah Duduk sepertimana yang telah dinyatakan olehnya sendiri di dalam kitabnya berjudul Kitab Al-Kabair. Demikian teks Az-Zahabi kafirkan akidah “ Allah Bersemayam/Duduk” : ( RUJUK SCAN KITAB TERSEBUT DI ATAS )
Nama kitab: Al-Kabair.
Pengarang: Al-Hafiz Az-Zahabi.
Cetakan: Muassasah Al-Kitab Athaqofah,
cetakan pertama 1410h.
Terjemahan.:
Berkata Al-Hafiz Az-Zahabi: “Faidah, perkataan manusia yang dihukum kufur jelas terkeluar dari Islam oleh para ulama adalah: …sekiranya seseorang itu menyatakan: Allah Duduk untuk menetap atau katanya Allah Berdiri untuk menetap maka dia telah jatuh KAFIR”.
Rujuk scan kitab tersebut di atas m/s 142. Perhatikan bagaimana Az-Zahabi menghukum kafir sesiapa yang mendakwa Allah bersifat Duduk. Sesiapa yang mengatakan Allah Duduk maka dia kafir. Fokuskan pada kenyataan Az-Zahhabi tidak pula mengatakan “sekiranya seseorang itu kata Allah Duduk seperti makhlukNya maka barulah dia kafir” akan tetapi amat jelas Az-Zahabi terus menghukum kafir kepada sesiapa yang mendakwa Allah Duduk disamping Az-Zahabi menukilkan hukum tersebut dari seluruh ulama Islam.
Wahai Mohd Asri Zainul Abidin dan Wahhabi yang lain…ketahuilah apabila anda semua mengatakan Allah Duduk merupakan kekufuran yang telah dihukum oleh Az-Zahabi sendiri dan ulama Islam. Tidak perlu ditunggu kenyataan “ Allah Duduk Seperti MakhlukNya” baru nak dihukum kafir akan tetapi dengan mengatakan Allah Duduk maka ia merupakan perkataan kufur terkeluar dari Islam sepertimana yang dinyatakan oleh Al-Hafiz Az-Zahabi. Bertaubatlah wahai Wahhabi. www.abu-syafiq.blogspot.com http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/11/al-hafiz-az-zahabi-kafirkan-akidah.html
3.  Imam 4 madzab kafirkan Aqidah Mujasimmah (Tuhan Bertempat/duduk)
. Hujjah Imam Abu Hanifah yg beliau tulis dalam kitab wasiat nya :


( DIATAS ADALAH KENYATAAN IMAM ABU HANIFAH DALAM KITAB WASIAT BELIAU PERIHAL ISTAWA )
IMAM ABU HANIFAH TOLAK AKIDAH SESAT “ ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK/BERTEMPAT ATAS ARASY.
Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut ( Rujuk kitab asal sepertimana yang telah di scan di atas) :
“ Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat beliau.
Amat jelas di atas bahawa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam(duduk) Allah di atas Arasy.
Semoga Mujassimah diberi hidayah sebelum mati dengan mengucap dua kalimah syahadah kembali kepada Islam.

Ibnu katsir membungkam wahhaby (2) : Tafsir ayat “istiwa”


Ibnu katsir membungkam wahhaby (2) : Tafsir ayat “istiwa”
Bagaimana cara ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami masalah asma wa sifat atau yang sering di sebut dngan ayat-aya dan hadit-haditst sifat?ayat-ayat sifat disini adalah ayat Alquran atau Hadits Nabi yang menyebutkan tentang aggota tubuh seperti mata ,tangan,naik turun yang di sandarkan kepada Allah dll yang jika salah dalam memahamimya seseorang bisa masuk dalam kesesatan aqidah mujassimah(yang megatakan bahwa Allah SWT mempunyai aggota badan yang menyerupai dengan hambanya).Atau akan terjerumus dalam ta’thil (yang menolak sifat-sifat Allah SWT ).Begitu penting dan bahaya permasalahan ini maka ulama benar-benar telah membahasnya dengan detail dan rinci agar ummat ini tidak salah dalam memahami ayat –ayat dan hadits-hadits sifat .
Ada dua catara yang di ambil oleh ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami ayat-ayat sifat ini :
Pertama adala tafwidh, maksudnuya menyerahkan pemahaman makna tersebut kepada Allah SWT karena khawatir jika di fahami sesuai dhohir lafatnya akan merusak aqidah. Misanya disaat Allah menyebut tangan yang di nisbatkan kepada Allah, maka maknanya tidak di bahas akan tetapi dilalui dan diserahkan kepada Allah SWT.   Ibnu katsir adalah salah satu ulama yang menggunkan methode ini.
Kedua adalah dengan cara mentakwili ayat tersebut dengan makna yang ada melalaui dalil lain. Seperti tangan Allah di artikan dengan kekuasaan Allah yang memang makna kekuasaa itu sendiri di tetapkan dengan dalil yang pasti dari Alquran dan hadits.
Perhatian
1-Dua cara ini yakni attafwid dan attakwil adalah cara yang di ambil oleh ulama salaf dan kholaf,sungguh tidak benar jika tafwid adalah metode tyang di ambil oleh ulama salaf dan ta’wil adalah yang di ambil oleh ulama kholaf saja.
2-Ada sekelompok orang di akhir zaman ini menfitnah para ulama terdahulu(salaf) dan menyebut mereka sebagai ahli bidah dan sesat karena telah mentakwili ayat-ayat sifat ini.maka kelompok yang membid’ahkan ulama terdahulu karena takwil ,sungguh mereka adalah orang –orang yang tidak mengerti bagaimana mentakwil dan mereka uga tidak kenal dengan benar dengan ulama terdahulu karena banyak riwayat ta’wil yang dating dari para salaf..
3-ada sekelompok orang yang menyebut diri mereka sebagai ahli tafwid akan tetapi telah terjerumus dam kesesatan takwil yang tidak mereka sadari.misalnya disaat mereka mengatakan bahwa Allah berada di atas ‘ars ,mereka mengatakan tidak boleh ayat tentang keberadaan Allah di ars ini di ta’wili.akan tetapi dengan tidak di sadari mereka menjelaskan keberadan Allah di ars dengan penjelasan bahwa ars adlah makhluq terbesar(seperti bola dan semua mkhluk yang lain di dalamnya.kemudian mereka mengatakkan dan Allah swt berada di atas Arsy nag besar itu di tempat yang namany makan ‘adami(tempat yang tidak ada).Lihat dari mana mereka mengatakan ini semua. Itu adalah takwil fasid dan ba’id(takwil salah mereka yang jauh dari kebenaran.
Adapun ulama ahli kebenaran, ayat tentang Allah dan ars,para ahli tafwid menyerahkan pemahaman maknanya kepada Allah swt,adapu ahli ta’wil mengatakan Alah menguasai Ars dan tidaklah salah karena memang Allah dzat yang maha kuasa terhadap makhluk terbesar Ars, sebab memang Allah maha kuasa terhadap segala sesuatu.wallhu a’lam bishshowab
A.  Tafsir Ayat Mutasyabihat ISTIWA
I. Tafsir Makna istiwa Menurut Kitab Tafsir Mu’tabar
lihat dalam tafsir berikut :
1. Tafsir Ibnu katsir menolak makna dhahir (lihat surat al -a’raf ayat 54, jilid 2 halaman 295)

Tarjamahannya (lihat bagian yang di line merah)  :
{kemudian beristawa kepada arsy} maka manusia pada bagian ini banyak sekali perbedaan pendapat , tidak ada yang memerincikan makna (membuka/menjelaskannya)  (lafadz istiwa) dan sesungguhnya kami menempuh dalam bagian ini seperti apa yang dilakukan salafushalih, imam malik, imam auza’I dan imam atsuri, allaits bin sa’ad dan syafi’I dan ahmad dan ishaq bin rawahaih dan selainnya dan ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang. Dan lafadz (istawa) tidak ada yang memerincikan maknanya seperti yang datang tanpa takyif (memerincikan bagaimananya) dan tanpa tasybih (penyerupaan dgn makhluq) dan tanpa ta’thil(menafikan)  dan (memaknai lafadz istiwa dengan)  makna dhahir yang difahami (menjerumuskan) kepada pemahaman golongan musyabih yang menafikan dari (sifat Allah)  yaitu Allah tidak serupa dengan makhluqnya…”
Wahai mujasimmah wahhaby!!
lihatlah ibnu katsir melarang memaknai ayat mutasyabihat  dengan makana dhohir karena itu adalah pemahaman mujasimmah musyabihah!
bertaubatlah dari memaknai semua ayat mutasyabihat dengan makna dhahir!!
Kemudian Ibnu katsir melanjutkan lagi :
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [al-Syura: 11]. Bahkan perkaranya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh para imam, diantaranya Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata: “Siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, ia telah kafir, dan siapa yang mengingkari apa yang Allah mensifati diri-Nya, maka ia kafir, dan bukanlah termasuk tasybih (penyerupaan) orang yang menetapkan bagi Allah Ta’ala apa yang Dia mensifati diri-Nya dan Rasul-Nya dari apa yang telah datang dengannya ayat-ayat yang sharih (jelas/ayat muhkamat) dan berita-berita (hadits) yang shahih dengan (pengertian) sesuai dengan keagungan Allah dan menafikan dari Allah sifat-sifat yang kurang; berarti ia telah menempuh hidayah.”
Inilah selengkapnya dari penjelasan Ibnu Katsir.Berdasarkan penjelasan ibnu katsir :
- Ayat mutasyabihat harus di tafsir dengan ayat syarif (ayat muhkamat) atau ayat yang jelas maknanya/Bukan ayat mutasyabihat!! Tidak seperti wahhaby yang menggunakan ayat mutasyabihat utk mentafsir ayat mutasyabihat yang lain!!!! ini adalah kesesatan yang nyata!
- ibnu katsir mengakui ayat ‘istiwa’ adalah ayat mutasyabihat yang tidak boleh memegang makna dhahir dari ayat mutasyabihat tapi mengartikannya dengan ayat dan hadis yang – jadi ibnu katsir tidak memperincikan maknanya tapi juga tidak mengambil makna dhahir ayat tersebut.
- disitu imam ibnu katsir, imam Bukhari dan imam ahlsunnah lainnya  tidak melarang ta’wil.
“…dan  selain mereka dari para imam kaum muslimin yang terdahulu maupun kemudian, yakni membiarkan (lafadz)nya seperti apa yang telah datang (maksudnya tanpa memperincikan maknanya)tanpa takyif  (bagaimana, gambaran), tanpa tasybih (penyerupaan), dan tanpa ta’thil (menafikan)….”
sedangkan wahaby melarang melakukan tanwil!
2.    Sekarang akan disebutkan sebahagian penafsiran lafaz istawa dalam surah ar Ra’d:
1- Tafsir al Qurtubi
(ثم استوى على العرش ) dengan makna penjagaan dan penguasaan
2- Tafsir al-Jalalain
(ثم استوى على العرش ) istiwa yang layak bagi Nya
3- Tafsir an-Nasafi Maknanya:
makna ( ثم استوى على العرش) adalah menguasai Ini adalah sebahagian dari tafsiran , tetapi banyak lagi tafsiran-tafsiran ulamak Ahlu Sunnah yang lain…
4- Tafsir Ibnu Kathir , darussalam -riyadh, Jilid 2 , halaman 657, surat ara’ad ayat 2):
(ثم استوى على العرش ) telah dijelaskan maknanya sepertimana pada tafsirnya surah al Araf,  sesungguhnya ia ditafsirkan sebagaimana lafadznya yang datang (tanpa memrincikan maknanya) tanpa kaifiat(bentuk) dan penyamaan, tanpa permisalan, maha tinggi
Disini Ibnu Katsir mengunakan ta’wil ijtimalliy iaitu ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya.


II. Makna istiwa yang dikenal dalam bahasa arab dan dalam kitab-kitab Ulama salaf
Di dalam kamus-kamus arab yang ditulis oleh ulama’ Ahlu Sunnah telah menjelaskan istiwa datang dengan banyak makna, diantaranya:
1-masak (boleh di makan) contoh:
قد استوى الطعام—–قد استوى التفاح maknanya: makanan telah masak—buah epal telah masak
2- التمام: sempurna, lengkap
3- الاعتدال : lurus
4- جلس: duduk / bersemayam,
contoh: – استوى الطالب على الكرسي : pelajar duduk atas kerusi -استوى الملك على السرير : raja bersemayam di atas katil
5- استولى : menguasai,
contoh: قد استوى بشر على العراق من غير سيف ودم مهراق
Maknanya: Bisyr telah menguasai Iraq, tanpa menggunakan pedang dan penumpahan darah.
Al Hafiz Abu Bakar bin Arabi telah menjelaskan istiwa mempunyai hampir 15 makna, diantaranya: tetap,sempurna lurus menguasai, tinggi dan lain-lain lagi, dan banyak lagi maknannya. Sila rujuk qamus misbahul munir, mukhtar al-Sihah, lisanul arab, mukjam al-Buldan, dan banyak lagi. Yang menjadi masalahnya, kenapa si penulis memilih makna bersemayam. Adakah makna bersemayam itu layak bagi Allah?, apakah dia tidak tahu bersemayam itu adalah sifat makhluk? Adakah si penulis ini tidak mengatahui bahawa siapa yang menyamakan Allah dengan salah satu sifat daripada sifat makhluk maka dia telah kafir?
sepertimana kata salah seorang ulama’ Salaf Imam at Tohawi (wafat 321 hijrah):
ومن وصف الله بمعنى من معانى البشر فقد كفر
Maknanya: barang siapa yang menyifatkan Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia maka dia telah kafir. Kemudian ulama’-ulama’ Ahlu Sunnah telah menafsirkan istiwa yang terkandung di dalam Al quran dengan makna menguasai arasy kerana arasy adalah makhluk yang paling besar, oleh itu ia disebutkan dalam al Quran untuk menunjukkan kekuasaan Allah subhanahu wata’ala sepertimana kata-kata Saidina Ali yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Mansur al-Tamimi dalam kitabnya At-Tabsiroh:
ان الله تعالى خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكان لذاته
Maknanya: Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencipta al-arasy untuk menzohirkan kekuasaanya, bukannya untuk menjadikan ia tempat bagi Nya.
Allah ada tanpa tempat dan arah adalah aqidah salaf yang lurus.
III. Hukum Orang yang meyakini Tajsim; bahwa Allah adalah Benda

*Bersemayam yang bererti Duduk adalah sifat yang tidak layak bagi Allah dan Allah tidak pernah menyatakan demikian, begitu juga NabiNya. Az-Zahabi adalah Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Uthman bin Qaymaz bin Abdullah ( 673-748H ). Pengarang kitab Siyar An-Nubala’ dan kitab-kitab lain termasuk Al-Kabair.Az-Zahabi mengkafirkan akidah Allah Duduk sepertimana yang telah dinyatakan olehnya sendiri di dalam kitabnya berjudul Kitab Al-Kabair. Demikian teks Az-Zahabi kafirkan akidah “ Allah Bersemayam/Duduk” :Nama kitab: Al-Kabair.
Pengarang: Al-Hafiz Az-Zahabi.
Cetakan: Muassasah Al-Kitab Athaqofah,cetakan pertama 1410h.Terjemahan.
Berkata Al-Hafiz Az-Zahabi:
“Faidah, perkataan manusia yang dihukum kufur jelas terkeluar dari Islam oleh para ulama adalah: …sekiranya seseorang itu menyatakan: Allah Duduk untuk menetap atau katanya Allah Berdiri untuk menetap maka dia telah jatuh KAFIR”. Rujuk scan kitab tersebut di atas m/s 142.
Syekh Ibn Hajar al Haytami (W. 974 H) dalam al Minhaj al
Qawim h. 64, mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah – semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap orangorang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda, mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran)”.
Al Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah meridlainyamengatakan:
“Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak seperti benda-benda maka ia telah kafir” (dinukil oleh Badr ad-Din az-Zarkasyi (W. 794 H), seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi’i dalam kitab Tasynif al Masami’ dari pengarang kitab al Khishal dari kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal).
Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam karyanya an-Nawadir mengatakan : “Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda maka ia telah kafir, tidak mengetahui Tuhannya”.
As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk
Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- (227-321 H) berkata:
“Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan,
kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.
Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma’ (konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah).
III.  ulamak 4 mazhab tentang aqidah
1- Imam Abu hanifah:
لايشبه شيئا من الأشياء من خلقه ولا يشبهه شيء من خلقه
Maknanya:: (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun daripada makhlukNya, dan tidak ada sesuatu makhluk pun yang menyerupaiNya.Kitab Fiqh al Akbar, karangan Imam Abu Hanifah, muka surat 1.


IMAM ABU HANIFAH TOLAK AKIDAH SESAT “ ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK/BERTEMPAT ATAS ARASY.
Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut ( Rujuk kitab asal sepertimana yang telah di scan di atas) :
“ Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat.
Amat jelas di atas bahawa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam(duduk) Allah di atas Arasy.
Semoga Mujassimah diberi hidayah sebelum mati dengan mengucap dua kalimah syahadah kembali kepada Islam.
2-Imam Syafie:
انه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لايجوز عليه التغيير
Maknanya: sesungguhnya Dia Ta’ala ada (dari azali) dan tempat belum dicipta lagi, kemudian Allah mencipta tempat dan Dia tetap dengan sifatnnya yang azali itu seperti mana sebelum terciptanya tempat, tidak harus ke atas Allah perubahan. Dinuqilkan oleh Imam Al-Zabidi dalam kitabnya Ithaf al-Sadatil Muttaqin jilid 2 muka surat 23
3-Imam Ahmad bin Hanbal :
-استوى كما اخبر لا كما يخطر للبشر
Maknanya: Dia (Allah) istawa sepertimana Dia khabarkan (di dalam al Quran), bukannya seperti yang terlintas di fikiran manusia. Dinuqilkan oleh Imam al-Rifae dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, dan juga al-Husoni dalam kitabnya Dafu’ syubh man syabbaha Wa Tamarrad.
وما اشتهر بين جهلة المنسوبين الى هذا الامام المجتهد من أنه -قائل بشىء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه
Maknanya: dan apa yang telah masyhur di kalangan orang-orang jahil yang menisbahkan diri mereka pada Imam Mujtahid ini (Ahmad bin Hanbal) bahawa dia ada mengatakan tentang (Allah) berada di arah atau seumpamanya, maka itu adalah pendustaan dan kepalsuan ke atasnya(Imam Ahmad) Kitab Fatawa Hadisiah karangan Ibn Hajar al- Haitami
4- Imam Malik :
الاستواء غير المجهول والكيف غير المعقول والايمان به واجب و السؤال عنه بدعة
Maknannya: Kalimah istiwa’ tidak majhul (diketahui dalam al quran) dan kaif(bentuk) tidak diterima aqal, dan iman dengannya wajib, dan soal tentangnya bidaah.
lihat disini : imam malik hanya menulis kata istiwa (لاستواء) bukan memberikan makna dhahir  jalasa atau duduk atau bersemayam atau bertempat (istiqrar)…..
Bersambung ….

http://salafytobat.wordpress.com