Efek

Tuesday, January 18, 2011

Wahabi-Salafi Menentang Syeikh Ibnu Taimiyah

Wahabi-Salafi Menentang Syeikh Ibnu Taimiyah (full scanned kitab)

Wahabi-Salafi Menentang Syeikh Ibnu Taimiyah


Di atas adalah kubur Syeikhul IslamWahhabi Ibnu Taimiyah Al-Harrani 661-728H.

Di atas adalah kubur Ibnu Taimiyah yang dihancurkan oleh Wahhabi pada bahagian atasnya kerana menganggap pembinaan kubur seperti itu adalah bid’ah masuk neraka.
Tak dipungkiri, banyak umat Islam resah dengan keberadaan Wahabi alias Salafy — demikian mereka menjatidirikan kelompoknya. Cara dakwah yang mereka lakukan, membuat umat Islam gerah. Mereka kerap mencela, bahkan menista ulama besar dan gerakan Islam di luar kelompoknya. Pelbagai tuduhan, hujatan, dan lontaran kata-kata kasar keluar dari mulut kaum Wahabi. Dengan enteng, mereka memberi cap-cap (stigma) buruk dengan sebutan ahlu bid’ah, khurafi, penyembah kubur, gerakan sempalan sesat, kepada tokoh dan gerakan Islam yang bukan kelompoknya. Anehnya,  ketika (ulama) wahabi dikritik gerakan Islam lain karena hujjahnya, mereka tidak rela, bahkan menyerang balik habis-habisan para pengkritiknya.
Sebetulnya, kalau mereka mau menelaah ulang kitab para pendahulunya, seperti Ibnu Taimiyah sebagai tokoh sentral mereka. Mereka akan sadar bahwa Ibnu Taimiyah sendiri tidak se-ekstrem kaum salafi sekarang. Peringatan maulid misalnya, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa merayakan maulid dengan dasar cinta Nabi Saw. adalah bernilai pahala. Kaum wahabi berpendapat sebaliknya. Mereka mengatakan perbuatan itu sebagai bid’ah, kurafat, dan pengkultusan yang ujung-ujungnya adalah syirik.
Bagi masyarakat Muslim, jika ada kelompok yang suka menyalahkan, mencaci-maki dan membid’ahkan amalan-amalan ahlussunnah, cukuplah dijawab dengan dalil-dalil imam mereka sendiri, yang akan kita bahas satu persatu. Dijamin, mereka bakal kelabakan dan diam seribu bahasa. Sebab, nyatanya mereka melabrak pendapat-pendapat para imam mereka sendiri.
Berikut kami tunjukkan beberapa bukti yang shahih.
PERTAMA,

orklik video :

Disebutkan bahwa : Dalam kitab majmu fatawa Jilid ibnu taymiyah 23 page 163 mendukung amalan mengingati maulid Nabi. Juga IBnul qayyim dalam kitab madarij assalakin page 498.
Tentang maulid. Ibnu Taimiyah jga dalam kitabnya, Iqtidha’ as-Sirath al-Mustaqim hal.269 menyatakan bahwa mereka yang mengagungkan maulid mendapat pahala besar karena tujuan baik dan pengagungan mereka kepada Rasulullah Saw..”
Video berikut akan memperjelas buktinya
Terjemah narasi:
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta. Amma ba’du
Peringatan maulid Nabi Saw. itu tergolong bid’ah hasanah. Peringatan semacam ini sudah ditradisikan sejak ratusan tahun lalu. Peringatan ini merupakan kesepakatan yang dilakukan oleh raja-raja, para ulama’, masayikh. Termasuk para ahli hadits, pakar fikih, orang-orang zuhud, para ahli ibadah dan berbagai individu dari kalangan awam.
Di samping itu, peringatan ini punya dasar kuat yang diambil dengan cara istinbath seperti telah dijelaskan Imam al-Hafid Ibnu Hajar dan para ulama ahlussunnah lainnya.
Diantara bidah dan kesesatan para penentang tawassul, mereka mengharamkan maulid dengan ekstrem. Bahkan seorang tokoh mereka, Abubakar Aljazairi –semoga Allah memberinya petunjuk- menyatakan, sembelihan yang disediakan untuk suguhan maulid lebih haram dari babi. Wal iyadzu billah, semoga Allah melindungi kita dari membenci Rasulillah Saw.
Begitu antinya mereka terhadap maulid. Namun yang menarik, Ibnu Taimiyah sendiri tidak mengharamkan, bahkan dalam sebagian fatwanya dia katakan, “Jika maulid dilaksanakan dengan niat baik akan membuahkan pahala,” artinya sah-sah saja dilakukan.

Marilah kita simak kitab Iqtidha’ as-Sirath al-Mustaqim karya seorang filosof mujassim Ahmad ibn Taimiyah (meninggal tahun 728 hijriah) cet. Darul Fikr Lebanon th.1421 H. Pada hal.269 Ibnu Taimiyah berkata,
“Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara rutinan, segolongan orang terkadang melakukannya. Dan mereka mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah Saw..”
Jika semua ini telah jelas, maka bersama siapakah kelompok sempalan wahabi ini? Mereka tidak bersama ahlussunnah wal jamaah. Tidak pula bersama tokohnya, Ibnu Taimiyah. Sepatutnya mereka mencela diri mereka sendiri, dan bertaubat dari kesesatan mereka selama masih ada kesempatan. Cukuplah sebagai kehinaan, penilaian buruk mereka terhadap hal yang telah disepakati kaum muslimin berabad-abad di penjuru timur dan barat bumi.
Segala puji bagi Allah yang telah memberi kita taufiq untuk menjelaskan hal ini. Semoga salawat dan rahmat Allah tetap tercurah atas Rasulullah Saw..

KEDUA, Ibnu Taimiyah meriwayatkan kisah Abdullah bin Umar yang sembuh dari lumpuhnya setelah ia ber-istighasah dengan memanggil nama Rasulullah Saw..
Simak video berikut:
Terjemahnya:
Alhamdulillah Rabbil Alamin. Salawat dan salam atas junjungan kita Nabi Muhammad Saw.. Amma ba’du, ini adalah kitab “al-Kalimut Toyyib” karya filsuf mujassim Ahmad bin Taimiyah al Harrani (w.728 H) cet. Darul kutub ilmiyah Beirut 1417 H

“عن الهيثم بن حنش قال كنا عند عبد الله بن عمر رضي الله عنهما فخدرت رجله أي أصابها مثل شلل فقال له رجل اذكر أحب الناس إليك فقال يا محمد فكأنما نشط من عقال -أي تعافى فورا-”.

Pada halaman 123 Ibnu Taimiyah berkata
“Dari al-Haitsam bin Hanasy dia berkata, ‘Kami sedang bersama Abdullah bin Umar r.a. tatkala tiba-tiba kakinya mendadak lumpuh, maka seorang menyarankan ’sebut nama orang yang paling kau cintai!’ maka Abdullah bin Umar berseru, ‘Ya Muhammad!’ maka dia pun seakan-akan terlepas dari ikatan, artinya sembuh seketika.”
Inilah yang diterangkan Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “al-Kalimut Toyyib” (perkataan yang baik), yakni dia menilai baik semua isi kitabnya.
Yang dilakukan Abdullah bin Umar ini adalah istighatsah dengan Rasulullah Saw. dengan ucapan ‘Ya Muhammad’
Dalam Islam ini diperbolehkan, Ibnu Taimiyah menganggapnya baik, menganjurkannya, dan mencantumkan dalam kitabnya, “al-Kalimut Toyyib”.
Ini menurut wahabi sudah termasuk kufur dan syirik, artinya istighasah dengan memanggil Nabi Saw. setelah beliau wafat adalah perbuatan kafir dan syirik menurut wahabi.
Apa yang akan dilakukan kaum wahabi sekarang? Apakah mereka akan mencabut pendapatnya yang mengkafirkan orang yang memanggil ‘Ya Muhammad’ ataukah mereka tidak akan mengikuti Ibnu Taimiyah dalam masalah ini? Padahal dialah yang mereka juluki Syeikhul islam.
Alangkah malunya mereka, alangkah malunya para imam yang diikuti Ibn Abdil Wahab karena pendapatnya bertentangan dengan pendapat kaum muslimin.
Dalam hal ini, kaum wahabi, dengan akidah mereka yang rusak, telah mengkafirkan Ibnu Taimiyah, karena ia telah menganggap baik hal yang syirik dan kufur menurut anggapan mereka.
Ini semua adalah bukti bahwa mereka adalah kelompok mudzabdzab (plin-plan),  kontradiksi dan menyimpang dari ajaran Ahlussunnah wal Jamaah
Segala puji selamanya bagi Allah, di permulaan dan penghujung.


KETIGA, dalam Majmu Fatawanya Jilid 4 Hal.379 Ibnu Taimiyah mengakui keberadaan wali qutb, autad dan abdal. Dia juga menegaskan, jika malaikat membagi rejeki dan mengatur alam maka orang-orang saleh bisa berbuat lebih dari para malaikat. Apalagi para wali qutb, Autad, Ghauts, wali abdal dan Nujaba’. (Scan kitab klik di sini)

وَقَدْ قَالُوا : إنَّ عُلَمَاءَ الْآدَمِيِّينَ مَعَ وُجُودِ الْمُنَافِي وَالْمُضَادِّ أَحْسَنُ وَأَفْضَلُ . ثُمَّ هُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ يُلْهَمُونَ التَّسْبِيحَ كَمَا يُلْهَمُونَ النَّفَسَ ؛ وَأَمَّا النَّفْعُ الْمُتَعَدِّي وَالنَّفْعُ لِلْخَلْقِ وَتَدْبِيرُ الْعَالَمِ فَقَدْ قَالُوا هُمْ تَجْرِي أَرْزَاقُ الْعِبَادِ عَلَى أَيْدِيهِمْ وَيَنْزِلُونَ بِالْعُلُومِ وَالْوَحْيِ وَيَحْفَظُونَ وَيُمْسِكُونَ وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنْ أَفْعَالِ الْمَلَائِكَةِ . وَالْجَوَابُ : أَنَّ صَالِحَ الْبَشَرِ لَهُمْ مِثْلُ ذَلِكَ وَأَكْثَرُ مِنْهُ وَيَكْفِيك مِنْ ذَلِكَ شَفَاعَةُ الشَّافِعِ الْمُشَفَّعُ فِي الْمُذْنِبِينَ وَشَفَاعَتُهُ فِي الْبَشَرِ كَيْ يُحَاسَبُوا وَشَفَاعَتُهُ فِي أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَدْخُلُوا الْجَنَّةَ . ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ تَقَعُ شَفَاعَةُ الْمَلَائِكَةِ وَأَيْنَ هُمْ مِنْ قَوْلِهِ : { وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ } ؟ وَأَيْنَ هُمْ عَنْ الَّذِينَ : { وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ } ؟ وَأَيْنَ هُمْ مِمَّنْ يَدْعُونَ إلَى الْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ ؛ وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً ؟ وَأَيْنَ هُمْ مِنْ قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” { إنَّ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَشْفَعُ فِي أَكْثَرَ مِنْ رَبِيعَةَ وَمُضَرَ } ” ؟ وَأَيْنَ هُمْ مِنْ الْأَقْطَابِ وَالْأَوْتَادِ والأغواث ؛ وَالْأَبْدَالِ وَالنُّجَبَاءِ ؟
Apakah ini pendapat Ibnu Taimiyah ini tergolong khurafat, takhayul dan bid’ah? Adakah dasarnya dari Qur’an dan Sunnah?
KEEMPAT, tentang hadiah pahala, Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa barangsiapa mengingkari sampainya amalan orang hidup pada orang yang meninggal maka ia termasuk ahli bid’ah. Dalam Majmu’ fatawa jilid 24 halaman 306 ia menyatakan, “Para imam telah sepakat bahwa mayit bisa mendapat manfaat dari hadiah orang lain. Ini termasuk hal yang pasti diketahui dalam agama Islam, dan telah ditunjukkan dengan dalil kitab, sunnah, dan ijma’ (konsensus) ulama’. Barang siapa menentang hal tersebut, maka dia termasuk ahli bid’ah”. (Scan kitab klik di sini)
Hal senada juga diungkapkannya berulang-ulang di kitabnya, Majmu’ Fatawa, diantaranya  pada Jilid 24 hal. 324 (lihat scan kitab dibawah atau klik di sini)
KELIMA, tentang tasawuf. Dalam kumpulan fatwa jilid 10 hal. 507, Syeikh Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun para imam sufi dan para syeikh yang dulu dikenal luas, seperti Imam Juneid bin Muhammad beserta pengikutnya, Syeikh Abdul Qadir Jaelani serta yang lainnya. Maka, mereka adalah orang-orang yang paling teguh dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah.”
Selanjutnya, pada jilid. 11 hal. 18 Ibnu Taimiyah berkata,

والصواب أنهم مجتهدون في طاعة الله

“Yang benar, para sufi adalah mujtahidin dalam taat kepada Allah.” (lihat scan kitab diatas atau  klik di sini)
KEENAM, pujian Ibnu Taimiyah terhadap para ulama sufi. Berikut ini kutipan dari surat panjang Ibnu Taimiyah pada jamaah Imam Sufi Syekh Adi bin Musafir Al Umawi, (Majmu’ Fatawa jilid 3 hal. 363-377). Ini sudah cukup menjadi bukti, begitu hormatnya Ibnu Taimiyah pada kaum sufi.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ أَحْمَدَ ابْنِ تيمية إلَى مَنْ يَصِلُ إلَيْهِ هَذَا الْكِتَابُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ الْمُنْتَسِبِينَ إلَى السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ ؛ الْمُنْتَمِينَ إلَى جَمَاعَةِ الشَّيْخِ الْعَارِفِ الْقُدْوَةِ . أَبِي الْبَرَكَاتِ عَدِيِّ بْنِ مُسَافِرٍ الْأُمَوِيِّ ” – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَمَنْ نَحَا نَحْوَهُمْ –

Dari Ahmad Ibnu Taimiyah kepada penerima surat ini, kaum muslimin yang tergolong Ahlussunnah wal Jamaah, yang bernisbat pada jamaah Syeikh al-Arif, seorang panutan, Yang penuh berkah, Adi bin Musafir Al Umawi (lihat Scan kitab diatas atau  klik di sini).


وَلِهَذَا كَثُرَ فِيكُمْ مِنْ أَهْلِ الصَّلَاحِ وَالدِّينِ..

Karenanya, banyak diantara kalian orang-orang saleh yang taat beragama.. (Lihat Scan kitab diatas atau klik di sini).

وَفِي أَهْلِ الزَّهَادَةِ وَالْعِبَادَةِ مِنْكُمْ مَنْ لَهُ الْأَحْوَالُ الزَّكِيَّةُ وَالطَّرِيقَةُ الْمَرْضِيَّةُ وَلَهُ الْمُكَاشَفَاتُ وَالتَّصَرُّفَاتُ . وَفِيكُمْ مِنْ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ الْمُتَّقِينَ مَنْ لَهُ لِسَانُ صِدْقٍ فِي الْعَالَمِينَ

Diantara orang-orang zuhud dan ahli ibadah dari golongan kalian terdapat mereka yang punya kepribadian bersih,  jalan yang diridoi, ahli mukasyafah dan tasarruf. Diantara kalian juga terdapat para wali Allah yang bertakwa dan menjadi buah tutur yang baik di alam raya. (Lihat Scan kitab diatas atau  klik di sini)
Cermati kata-kata yang dipakai  Ibnu Taimiyah dalam risalahnya berikut: panutan, Abil barakat, berkepribadian bersih,  jalan yang diridoi, ahli mukasyafah dan tasarruf, para wali Allah. Semua itu menyuratkan pengakuan beliau akan kebesaran orang-orang sufi yang bersih hati. Adakah orang-orang wahabi sekarang ini meneladani beliau?
Surat tersebut selengkapnya juga bisa dibaca di Maktabah Syamilah versi 2 Juz 1 hal. 285-286.
KETUJUH, Ibnu Taimiyah mengakui khirqah sufiyah dalam kitabnya, Minhajus Sunnah Jilid 4 Hal. 155

الخرق متعددة أشهرها خرقتان خرقة إلى عمر وخرقة إلى علي فخرقة عمر لها إسنادان إسناد إلى أويس القرني وإسناد إلى أبي مسلم الخولاني وأما الخرقة المنسوبة إلى علي فإسنادها إلى الحسن البصري

“Khirqah itu ada banyak macamnya. Yang paling masyhur ada dua, yakni khirqah yang bersambung kepada Sayidina Umar dan khirqah yang bersambung kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib. Khirqah Umar memiliki dua sanad, sanad kepada Uwais Al-Qarniy dan sanad kepada Abu Muslim Al-Khawlaniy. Adapun khirqah yang dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib, sanadnya sampai kepada Imam Hasan Al-Bashri.” (Scan kitab diatas atau  klik di sini)
Jelas sudah, Ibnu Taimiyah menyatakan keberadaan sanad khirqah ini. Lantas, apakah beliau punya sanad khirqah? Dalam kitab yang sama beliau memberi jawab,

وقد كتبت أسانيد الخرقة لأنه كان لنا فيها أسانيد

“Aku telah menulis sanad-sanad khirqah, karena kami juga punya beberapa sanad khirqah” (scan kitab klik di sini)
Kini kita telah paham, Ibnu Taimiyah ternyata memiliki khirqah. Tak hanya satu, tapi beberapa. Lantas apakah Syaikh-syaikh wahabi saat ini juga punya khirqah seperti halnya Ibnu Taimiyah?.
KEDELAPAN, Pernyataan bahwa seluruh alam takkan diciptakan kalau bukan karena Rasulullah Saw. bisa dibenarkan. (Majmu’ Fatawa jilid 11 hal. 98)

وَمُحَمَّدٌ إنْسَانُ هَذَا الْعَيْنِ ؛ وَقُطْبُ هَذِهِ الرَّحَى وَأَقْسَامُ هَذَا الْجَمْعِ كَانَ كَأَنَّهَا غَايَةُ الْغَايَاتِ فِي الْمَخْلُوقَاتِ فَمَا يُنْكَرُ أَنْ يُقَالَ : إنَّهُ لِأَجْلِهِ خُلِقَتْ جَمِيعهَا وَإِنَّهُ لَوْلَاهُ لَمَا خُلِقَتْ فَإِذَا فُسِّرَ هَذَا الْكَلَامُ وَنَحْوُهُ بِمَا يَدُلُّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ قُبِلَ ذَلِكَ

“Nabi Muhammad Saw. adalah esensi kedua mata ini. Beliau adalah poros segala pergerakan alam ini. Ia laksana puncak dari seluruh penciptaan. Maka tak bisa ditepis lagi bahwa untuk beliaulah seluruh alam ini diciptakan. Kalau bukan karena beliau, takkan wujud seluruh semesta ini. Bila ucapan ini dan semisalnya ditafsir sesuai dengan Al-Quran dan Hadis maka hendaknya diterima.”  (Scan kitab klik di sini)
Demikianlah sekelumit data dari hasil penelitian obyektif pada kitab-kitab Ibnu Taimiyah sebagai rujukan kaum wahabi. Tak ada sentimen pribadi yang melandasi tulisan ini. Kami hanya berharap semua pihak bisa menerima kebenaran secara obyektif, lalu tak ada lagi sikap cela-mencela di antara sesama muslim. Ibnu KhariQ
http://www.forsansalaf.com/2010/wahabi-salafi-menentang-syeikh-ibnu-taimiyah/

MENYINGKAP TIPU DAYA & FITNAH KEJI FATWA-FATWA KAUM SALAFI & WAHABI

MENYINGKAP TIPU DAYA & FITNAH KEJI FATWA-FATWA KAUM SALAFI & WAHABI

BERDALIL SECARA SERAMPANGAN
Setelah membahas dalil-dalil pokok kaum Salafi & Wahabi menyangkut tuduhan mereka tentang bid'ah, kita dapat mengetahui bahwa keberadaan dalil-dalil tersebut sebenarnya tidak dapat mendukung atau menguatkan pemahaman anti bid'ah mereka yang berlebihan. Terbukti bahwa dalil-dalil tersebut semuanya bersifat umum, tidak menyebutkan masalah-masalah tertentu, sedangkan fatwa-fatwa mereka tentang bid'ah seperti memberikan rincian yang tidak pernah disebutkan oleh dalil. Para ulama saja tidak berani melakukan hal itu sepanjang memang tidak didapati dalil terperinci, sehingga mereka hanya berhenti pada perumusan kriteria dan batasan untuk membolehkan suatu perkara atau melarangnya. Luar biasanya, rumusan itu dapat digunakan untuk segala macam perkara, baik yang berkaitan dengan agama, maupun yang berhubungan dengan urusan dunia.
Dalil-dalil khusus yang digunakan kaum Salafi & Wahabi pun tidak dapat dibenarkan kesimpulan hukumnya, sebab mereka biasa memahaminya secara harfiyah (tekstual) tanpa mengkonfirmasikannya lagi dengan dalil-dalil lain yang mungkin mengarahkan maknanya. Kesimpulan hukum yang mereka hasilkan sangat gegabah, karena metodologi para ulama ushul tentang teori-teori memahami dan meneliti dalil hampir-hampir mereka tidak pedulikan. Wajarlah kalau pada akhirnya mereka terpeleset dalam memahami dalil.
Di samping dalil-dalil pokok tersebut, biasanya kaum Salafi & Wahabi juga mengiringkan dalil-dalil tambahan sebagai pendukung pendapat-pendapat mereka tentang tuduhan bid'ah. Sepertinya, hal itu mereka lakukan agar kesan "salah" pada orang-orang yang mereka tuduh melakukan bid'ah tersebut menjadi semakin terasa dan semakin mengerikan. Namun lagi-lagi dengan cara itu mereka hanya menambah poin minus setelah kegagalan memahami dalil-dalil pokok bid'ah. Dengan kata lain, maksud hati ingin memberikan kesan cerdas dan akurat dalam berdalil, apa daya pemahaman yang keliru malah semakin menunjukkan kebodohan dan kecerobohan mereka. Mengapa begitu?
Ya, karena jelas-jelas mereka meletakkan dalil-dalil pendukung itu bukan pada tempatnya, serampangan! Ini pasti karena tipikal cara mereka memahami dalil yang serba harfiyah (tekstual). Mau tahu buktinya? Mari kita ambil beberapa contoh.
1.      Dalil tentang tuduhan "menambah-nambahi agama" yang diarahkan kepada para tertuduh pelaku bid'ah.

" …Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu ..." (QS. Al-Maidah: 3)
Agama Islam memang sudah sempurna, siapa pun orang Islamnya tahu itu. Melakukan amal kebajikan adalah perkara yang diperintahkan di dalam agama, meski bentuk kebajikannya tidak pernah ada di zaman Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau, yang penting sejalan dengan prinsip-prinsip kebajikan menurut agama.
Bagi kaum Salafi & Wahabi, umat Islam yang mengadakan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., tahlilan, ziarah kubur orang shaleh, tawassul, dan lain sebagainya dituduh telah "menganggap agama Islam ini masih kurang" alias belum sempurna sehingga mereka tega "menambah-nambahi agama", bahkan dengan begitu mereka dituduh telah menganggap Rasulullah Saw. berkhianat dalam menyampaikan agama. Sungguh keji tuduhan ini!
Sesungguhnya, tidak seorang pun dari para ulama dan umat pelaku Maulid atau tahlilan itu berniat menambah-nambahi agama, apalagi sampai menuduh Rasulullah Saw. berkhianat. Sungguh hal itu tidak pernah terbersit sedikitpun dalam benak mereka, yang ada hanyalah pikiran-pikiran tentang mengupayakan peluang amal kebajikan, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Dengan begitu diharapkan setiap orang yang ikut serta dalam acara-acara tersebut mendapatkan pahala, ampunan, rahmat, dan pengkabulan do'a dari Allah Swt.
Format acara yang memang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. atau para shahabat beliau hanyalah suatu wadah yang dibuat secara kreatif untuk melaksanakan amalan-amalan yang sesungguhnya diperintahkan oleh Rasulullah Saw. sendiri, seperti: Bersilaturrahmi, berzikir, bershalawat, mendo'akan orang meninggal, bersedekah, mendengar nasihat atau ilmu, memupuk kecintaan dan pengagungan kepada Rasulullah Saw., berdo'a, berbagi rezeki, dan memelihara keimanan serta ketakwaan. Bisa dibayangkan, tanpa acara-acara kreatif seperti itu, apa jadinya keadaan umat Islam di zaman belakangan ini yang nota bene perhatiannya kepada akhirat sangat rendah; cintanya kepada dunia sudah menguasai pikirannya; ditambah lagi acara-acara dunia dan maksiat sudah dikemas jauh lebih kreatif dan menarik.
Kreasi kebajikan yang digagas oleh para ulama itu pun tidak pernah diklaim sebagai "tambahan atas kekurangan agama", melainkan hanya sebagai kegiatan keagamaan yang ditradisikan sebagai adat atau budaya yang dilaksanakan dalam rangka syi'ar agama. Jadi tuduhan kaum Salafi & Wahabi adalah tuduhan berlebihan yang diada-adakan dan tidak ada kenyataannya, sedangkan ayat di atas hanyalah pernyataan dari Allah tentang kesempurnaan Islam, bukan berisi tuduhan menambah-nambahi agama!       
2.      Dalil tentang tuduhan "membuat-buat syari'at".

"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? …"(QS. Asy-Syuuraa: 21).

Senada dengan tuduhan "menambah-nambahi agama", ayat ini digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk menuduh pelaku Maulid, tahlilan, zikir berjama'ah, tawassul, ziarah kubur orang shaleh, dan lain-lainnya sebagai "pembuat syari'at" yang "tidak diizinkan Allah".
Ada tiga hal yang semestinya mereka sadari tentang tuduhan tersebut:
a.                   Para ulama tidak pernah menganggap bahwa amalan-amalan tersebut sebagai bagian dari ibadah mahdhah atau syari'at kecuali bila benar-benar ada dalil yang menunjukkannya, melainkan hanya sebagai adat atau kebiasaan baik yang mengandung maslahat. Di sinilah pangkalnya kenapa kaum Salafi & Wahabi menuduh demikian, karena mereka selalu menganggap amalan "berbau agama" sebagai "ibadah", di mana ibadah tidak boleh dilakukan kecuali bila ada dalil yang memerintahkannya.
b.                  Ayat di atas jelas-jelas menyebut "sembahan-sembahan selain Allah" yang menunjukkan adanya indikasi "syirik", dan memang ayat ini ditujukan oleh Allah untuk orang-orang musyrik Jahiliyah penyembah berhala yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah.
Adalah sangat keterlaluan bila para ulama dan umat Islam yang melakukan amalan seperti Maulid, tahlilan, dan lain sebagainya dituduh mempunyai "sembahan-sembahan selain Allah" yang telah mensyari'atkan kepada mereka amalan-amalan tersebut. Bagaimana mungkin kaum Salafi & Wahabi ini bisa dengan seenaknya menuduh saudaranya yang muslim sebagai orang-orang musyrik yang tidak mau menerima syari'at Allah lalu malah mengambil syari'at tuhan selain Allah, padahal mereka jelas-jelas mendirikan shalat, berpuasa Ramadhan, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji?  
c.                   Kaum Salafi & Wahabi juga menuduh amalan-amalan tersebut sebagai amalan "yang tidak diizinkan Allah". Pertanyaannya, dari mana mereka tahu bahwa amalan tersebut tidak diizinkan Allah, padahal ayat itu tidak menyebut perincian jenis atau macamnya? Tidak cukupkah mereka menipu umat dengan mengatasnamakan tuduhan mereka dengan firman Allah? Sungguh terlalu! Lagipula, para ulama tafsir sudah menjelaskan, bahwa "yang tidak diizinkan Allah" itu maksudnya adalah syirik (menyembah berhala atau menyembah selain Allah), mengingkari pembangkitan di hari Kiamat, atau keyakinan-keyakinan Jahiliyah lainnya.              
3.      Dalil tentang tuduhan "Beragama Tradisi" atau "Fanatik Terhadap Tokoh Bid'ah"

"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" (QS. Al-Baqarah: 170).

Ayat ini termasuk dalil pamungkas yang digunakan kaum Salafi & Wahabi untuk menyudutkan orang-orang yang mereka tuduh sebagai pelaku bid'ah. Di dalam buku Ensiklopedia Bid'ah hal. 84 disebutkan begini, "Bila mereka diajak untuk mengikuti Kitab al-Qur'an dan Sunnah, dan diajak meninggalkan apa yang mereka kerjakan yang bertentangan dengan keduanya (al-Qur'an dan as-Sunnah) mereka berdalil (berargumen) dengan madzhab-madzhab mereka dan dengan pendapat guru-guru, orang tua dan nenek moyang mereka."
Orang awam akan terhenyak mendengar ayat ini, lalu mereka akan membenarkan penjelasan kaum Salafi & Wahabi, kemudian mengikuti pendapat mereka. Padahal lagi-lagi mereka telah melakukan penipuan yang sangat fatal, yaitu:
a.                          Ayat tersebut di atas berbicara tentang orang-orang kafir atau musyrikin penyembah berhala yang tidak mau diajak untuk hanya menyembah kepada Allah dengan alasan mengikuti keyakinan para leluhur dan nenek moyang mereka dalam menyembah berhala. Keterangan seperti ini bisa didapat di dalam kitab tafsir yang mana saja, dan itu berarti para ulama tafsir tidak ada yang berbeda pendapat tentang maksud ayat ini. Hanya kaum Salafi & Wahabi yang mengarahkan maksud ayat itu kepada umat Islam yang mereka tuduh sebagai ahli bid'ah, padahal penafsiran mereka yang semacam inilah yang lebih pantas disebut bid'ah.
b.                         Kaum Salafi & Wahabi, dengan penafsiran ayat di atas, bukan hanya memfitnah orang-orang muslim yang dituduh melakukan bid'ah saja, tetapi juga sekaligus memfitnah guru-guru dan pendahulu mereka atau nenek moyang mereka yang muslim lagi shaleh yang mengajarkan amalan-amalan kebaikan seperti Maulid, tahlilan, ziarah kubur orang shaleh, dan lain sebagainya berdasarkan prinsip ajaran Islam. Para guru dan pendahulu yang alim dan shaleh itu mereka anggap sebagai orang-orang yang "tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk", padahal ratusan bahkan ribuan jilid "kitab kuning" dalam berbagai cabang ilmu agama telah mereka hasilkan dan telah menjadi hantaran petunjuk bagi banyak orang dari zaman ke zaman.
Salahkah bila seorang muslim ditanya, "Kenapa kamu mengadakan tahlilan atau Maulid?" lalu ia menjawab, "Karena kami mengikuti apa yang telah dilakukan oleh guru-guru kami dan orang-orang tua kami sejak dahulu", sedangkan yang mengikuti dan yang diikuti sama-sama muslim dan sama-sama memandang kegiatan tersebut sebagai sebuah kebaikan yang tidak bertentangan dengan prinsip Islam? Sungguh, hanya orang berpikiran picik saja yang menganggap sama antara orang muslim yang mengikuti jejak pendahulunya yang muslim dengan orang kafir atau musyrik yang mengikuti pendahulunya yang kafir atau musyrik juga.   
c.                          Dengan mengajukan ayat di atas sebagai dalil, kaum Salafi & Wahabi seolah mendeklarasikan diri sebagai orang-orang yang mengikuti " apa yang telah diturunkan Allah", sedang selain mereka tidak. Seharusnya mereka bertanya, apakah Allah menurunkan perintah untuk menyamakan orang muslim dengan orang kafir atau musyrik? Mereka juga seharusnya bertanya, apakah mereka benar-benar tidak mengikuti guru-guru dan pendahulu mereka dalam keterlaluan sikap mereka itu??!
Bila ternyata Allah tidak menurunkan perintah-Nya untuk menyamakan muslim dengan kafir atau musyrik, dan bila sikap yang keterlaluan itu tidak pernah dicontohkan oleh para guru dan pendahulu mereka, maka ajaran siapakah yang mereka ikuti sehingga mereka merasa paling benar dan selain mereka dianggap salah atau sesat? Selama ini, sebagaimana sudah diketahui secara umum, tidak ada yang mengajarkan arogansi seperti itu dalam hal apapun selain iblis, saat ia berkata "Aku lebih baik daripadanya (Adam): Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah" (QS. Shaad: 76).            
4.      Dalil tentang tuduhan "Mendahului Allah dan Rasul-Nya"

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (QS. Al-Hujuraat: 1)

Ayat ini sering dikemukakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk menuduh bahwa orang-orang yang mengadakan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., tahlilan, ziarah para wali, dan lain sebagainya telah "mendahului Allah dan Rasulullah Saw." dalam menetapkan suatu amalan di dalam agama. Dalam bahasa lain, telah berbuat lancang, karena mengadakan sesuatu amalan yang belum diperintahkan oleh Allah atau Rasulullah Saw.
Penggunaan dalil tersebut sepertinya tepat, padahal secara logika sangat tidak bisa dibenarkan. Pasalnya, mana mungkin disebut mendahului sedangkan yang didahului sudah tidak ada lagi dan tidak akan pernah ada lagi sampai hari Kiamat (wahyu al-Qur'an sudah tidak turun, dan Rasulullah Saw. sudah wafat)? Bisa disebut mendahului apabila ada suatu masalah yang ditanyakan kepada Rasulullah Saw., lalu ada orang yang berani angkat suara untuk menjawabnya di saat beliau belum menjawabnya; atau Rasulullah Saw. membuat suatu keputusan atau pilihan, lalu ada orang yang mengusulkan agar keputusan atau pilihan itu diganti; atau ada orang yang melakukan suatu amalan sebelum waktunya padahal waktu pelaksanaannya telah ditetapkan oleh Allah atau Rasulullah Saw seperti: Menyembelih hewan kurban sebelum shalat 'Ied, shalat fardhu sebelum waktunya, dan lain-lain. Intinya, disebut mendahului, bila proses pensyari'atan masih berlangsung di mana wahyu masih turun dan Rasulullah Saw. masih hidup, atau bila ketentuan amalan syari'at yang telah ditetapkan waktunya dilakukan sebelum waktunya tiba.
Lebih fatal lagi kalau tuduhan "mendahului Allah dan Rasul-Nya" ini diartikan bahwa orang-orang yang melakukan peringatan Maulid atau tahlilan sudah melakukan kegiatan tersebut padahal Allah atau Rasulullah Saw. belum menetapkan perintah atau hukumnya. Itu berarti ada pemahaman seolah-olah wahyu masih diharap akan turun dan Rasulullah Saw. masih akan bersabda, hanya saja didahului oleh orang-orang itu. Bukankah proses pensyari'atan sudah selesai, dan bukankah Islam sudah disempurnakan sehingga tidak akan mungkin lagi turun syari'at baru dari Allah atau dari Rasulullah Saw. dalam hal menyuruh atau melarang? Jadi tuduhan "mendahului" ini ngawur, tidak pada tempatnya, terlalu dipaksakan, dan sangat mengada-ngada.       
5.      Dalil tentang tuduhan "Berlebihan Dalam Urusan Agama".
وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ (رواه أحمد)
Rasulullah Saw. bersabda: "Jauhilah oleh kalian akan ghuluw (berlebihan) di dalam agama, karena telah binasa orang-orang sebelum kalian  dengan sebab ghuluw (berlebihan) di dalam agama" (HR. Ahmad).

Kaum Salafi & Wahabi menggunakan dalil ini untuk menuduh orang-orang yang melakukan amalan Maulid, tahlilan, ziarah wali, dan lain sebagainya sebagai pelaku "ghuluw" (berlebihan) dalam beragama. Sisi "berlebihan" yang mereka maksud di sini sepertinya adalah merasa tidak cukup dengan apa yang dicontohkan formatnya oleh Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau, lalu membuat amalan-amalan baru yang –menurut mereka—dimasukkan ke dalam agama. Padahal seharusnya mereka bisa membedakan antara "amalan bernuansa agama" dengan "amalan di dalam agama".
Para ulama dan umat Islam yang melakukan amalan-amalan tersebut sesungguhnya tidak pernah menganggapnya bagian dari agama atau syari'at, melainkan hanya sebagai kegiatan positif (amal shaleh) yang mengandung kebaikan dan maslahat bagi orang banyak. Dan dalam mengupayakan kebaikan atau amal shaleh tidak ada kata "berlebihan", sebab rumusnya di dalam agama, "Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik" (QS. At-Taubah: 120). Jadi, "semakin banyak kebaikan yang dilakukan, semakin besar pula pahala atau ganjaran yang diberikan". Orang yang banyak berzikir bahkan setiap waktu, atau orang yang bersedekah setiap hari, atau orang yang banyak melakukan shalat, mereka tidak bisa dikatakan "berlebihan di dalam agama", sebab semuanya itu diberi pahala sesuai dengan amalannya.
Para ulama hadis menafsirkan kata "ghuluw" (berlebihan) pada hadis di atas dengan makna bersikap keras atau melampaui batas. Konotasinya –sebagaimana konteks hadis itu—adalah bersikap keras dan melampaui batas dalam hal mencari-cari sesuatu di balik perkara agama yang sebenarnya mudah dipahami. Hal ini bisa dipahami dari hubungan ghuluw di dalam hadis tersebut dengan ungkapan "telah binasa orang-orang sebelum kalian".
Di antara gambaran yang paling umum adalah kasus Bani Israil yang ketika diperintah untuk menyembelih sapi betina, mereka malah mempersulit diri dengan banyak bertanya atau mencari-cari perkara yang sangat mendetail dari sapi itu. Makna seperti ini sesuai dengan riwayat hadis di atas yang berkenaan dengan peristiwa melontar Jamratul-'Aqabah di Mina, saat Rasulullah Saw. menyuruh Abdullah bin Abbas Ra. untuk mengambilkan batu melontar,  yang tanpa bertanya lagi tentang ukurannya, segera ia ambilkan batu seukuran kerikil atau khadzaf (yang dapat dipegang dengan dua jari). Maka Rasulullah Saw. berkata, "Dengan (batu) yang seperti ukuran inilah hendaknya kalian melontar. Wahai sekalian manusia, jauhilah oleh kalian akan ghuluw (berlebihan) di dalam agama, karena telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab ghuluw di dalam agama."          
Maka, siapakah yang semestinya lebih pantas dibilang "berlebihan di dalam agama", apakah para ulama dan umat Islam yang berupaya melakukan kebaikan dan amal shaleh untuk orang banyak; ataukah kaum Salafi & Wahabi yang selalu mencari-cari pembahasan tentang amalan umat Islam yang sebenarnya sudah dijelaskan oleh para ulama, kemudian mudah memvonis dan menuduh dengan vonis dan tuduhan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.??!
 Perhatikanlah vonis-vonis "berlebihan" yang sering dilontarkan oleh kaum Salafi & Wahabi tentang amalan Maulid, tahlilan, tawassul, ziarah kubur orang shaleh, dan lain sebagainya, di mana mereka berkata: "Tidak ada pahalanya!", "sesat!", "sia-sia", "musyrik!", "kafir!", "masuk neraka!", "tidak ada dalilnya!", "menambah-nambahi agama!", "mengada-ngada!", "haram!", "jangan bergaul dengan ahli bid'ah!", dan lain sebagainya.
Tidak cukup dengan itu semua, mereka juga membuat istilah khusus yang mencibir umat Islam yang senang berziarah kubur para wali dengan sebutan "Quburiyyun",   bahkan lebih tega lagi ketika mereka menyindir umat Islam yang senang memuji dan menyanjung Rasulullah Saw. dengan sebutan "Abdun-Nabi" (hamba Nabi) yang mengesankan bahwa para penyanjung Rasulullah Saw. benar-benar telah menyembah beliau alias melakukan syirik (lihat Tafsir Seper Sepuluh Dari Al-Qur'an Al-Karim, hal. 95, buku ajaran Wahabi yang dibagikan Cuma-Cuma).
Perhatikanlah semua ungkapan itu, apakah Rasulullah Saw. mengajarkan umatnya untuk menghukumi perkara yang tidak jelas larangannya dengan kalimat-kalimat tersebut?
***********

Pembahasan di atas hanyalah beberapa contoh dari sekian banyak keserampangan di dalam berdalil yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi dalam berfatwa tentang bid'ah. Sikap serampangan itu bukan hanya menunjukkan kecerobohan atau kekeliruan pemahaman mereka dalam mencari-cari alasan untuk memvonis dan menghukumi amalan mayoritas umat Islam yang mereka anggap sebagai bid'ah. Bahkan lebih dari itu, mereka tega menggunakan dalil-dalil yang sebenarnya berbicara tentang orang-orang kafir dan musyrik penyembah berhala, mereka berlakukan untuk saudara-saudara mereka yang muslim.
Lihatlah satu contoh lagi dalil yang sering mereka gunakan untuk menghukumi orang-orang yang biasa berziarah kubur para shalihin dan para wali yang sering mereka juluki dengan Quburiyyun, atau orang-orang yang bertawassul kepada Allah melalui para wali atau dengan jaah (kemuliaan) mereka, yang dengan itu mereka anggap orang-orang itu telah mengambil "perantara" dalam berdo'a atau beribadah kepada Allah sebagaimana para penyembah berhala (lihat Ensiklopedia Bid'ah, hal. 212), seperti yang difirmankan Allah sebagai berikut:

"Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar." (QS. Az-Zumar: 3).

Benarlah sebagian ulama (seperti Syaikh Ibnu 'Abidin al-Hanafi dan yang lainnya) yang menganggap kaum Salafi & Wahabi ini sebagai bagian dari kelompok "Khawarij" yang dianggap sesat oleh seluruh ulama, di mana salah satu cirinya adalah seperti yang disebutkan oleh Imam Bukhari:
باب قتل الخوراج والملحدين بعد إقامة الحجة عليهم وقول الله تعالى {وما كان الله ليضل قوما بعد إذ هداهم حتى يبين لهم ما يتقون} وكان ابن عمر يراهم شرار خلق الله وقال إنهم انطلقوا إلى آيات نزلت في الكفار فجعلوها على المؤمنين (صحيح البخاري، دار ابن كثير، اليمامة بيروت، ج. 6، ص. 2539)
Bab Membunuh kelompok Khawarij dan Mulhidin (kafir/menyimpang) setelah menegakkan hujjah (argumen) atas mereka. Dan firman Allah ta'ala: "Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi" (QS. At-Taubah: 115). Dan adalah Ibnu Umar Ra. memandang mereka sebagai seburuk-buruknya makhluk Allah, dan ia berkata, "Sesungguhnya mereka menelusuri ayat-ayat yang turun mengenai orang-orang kafir, lalu mereka jadikan (terapkan) ayat-ayat itu atas orang-orang beriman." (lihat Shahih al-Bukhari, Dar Ibnu Katsir, al-Yamamah Beirut, juz 6, hal. 2539).
http://www.daarulmukhtar.org/index.php?option=com_content&task=view&id=22&Itemid=27

Sunnah maulid Nabi : Allah pun merayakan Maulid Nabi-nabi

Bahkan Ibnu Taymiyah pun dukung “Maulid Nabi”
Puji syukur Alhamdulillah hirobil ‘alamin marilah kita panjatkan kehadlirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya.
Sholawat serta salam, semoga senantiasa dilimpahkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad SAW, yang selalu kita nantikan syafa’at-nya di Hari Kiamat. Amin.
Amalan umat islam ahlusunnah wal jamaah pada saat “maulid”
- Perintah mengingati Hari – Hari Allah (12 rabiul awwal adalah hari lahir, hijrah (nabi sampai di madinah) dan wafat nabi Muhammad SAW)


[14:5] Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya): “Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah781. Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur. (QS Ibrahim 5)
(Hari/peristiwa dimana Allah memberikan Nikmat kepada Orang-orang yang beriman dan Hari/peristiwa dimana Allah menimpakan azab bagi orang orang kafir)
Ketahuilah bahwa maulid /kelahian Nabi adalah Nikmat terbesar bagi semua Makhluq!!
- membaca sirah/kisah Nabi Muhammad SAW (Dalam bentuk syair maupun bayan/ceramah)

Sirah, atau sejarah hidup Rasulullah SAW itu sangat perlu dibaca dan dikaji karena penuh inspirasi dan bisa memantapkan iman. Allah SWT berfirman

[11:120] Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. (QS Hud 120)
- Membaca shalawat.
Bahkan Allah SWT dan para malaikat bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW :

[33:56] Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya (Surat Al-ahzab 56)
Sebagaimana diketahui, setiap tanggal 12 Rabiul Awal, kita memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Peringatan ini dimaksudkan untuk mengingat tiga peristiwa besar yang dialami oleh Rasulullah SAW, yakni kelahiran, Hijrah dan wafatnya Muhammad SAW.


Mengenai Maulid Lagi

Tersebut di dalam kitab I’anathuth Tholibin oleh Sayyidisy-Syaikh Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi:-
Telah berkata Imam Hasan al-Bashri (Wafat 116H, pernah bertemu dengan lebihkurang 100 orang shahabat): “Aku kasih jika ada bagiku seumpama gunung Uhud emas untuk kunafkahkan atas pembacaan mawlid ar-Rasul”.
Telah berkata Shaikh Junaid al-Baghdadi (wafat 297H): “Sesiapa yang hadir mawlid ar-Rasul dan membesarkan kadar baginda, maka telah berjayalah dia dengan iman”.
Kata-kata ulama ini juga boleh didapati didalam kitab an-Nafahatul Miskiyyah fi fadhilathi qiraati maulidi khairil bariyyah karangan asy-Shaikh Muhammad bin Abdullah as-Suhaimi dan juga terjemahannya yang bertajuk Hembusan Kasturi oleh Fadhilatul Ustaz Taha as-Suhaimi.
Selain itu bagi menjawab tohmahan mereka kononnya ulamak silam mencerca sambutan ini, kita bawakan kata-kata yang jelas dari tiga ulamak yang kehebatan mereka diakui semua.
1) Al-Imam al-Hujjah al-Hafiz as-Suyuthi:

Di dalam kitab beliau, al-Hawi lil Fatawa, beliau telah meletakkan satu bab yang dinamakan Husnul Maqsad fi ‘Amalil Maulid, halaman 189, beliau mengatakan: Telah ditanya tentang amalan Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم pada bulan Rabiul Awal, apakah hukumnya dari sudut syara’? Adakah ia dipuji atau dicela? Adakah pelakunya diberikan pahala atau tidak?
Dan jawapannya di sisiku: Bahawasanya asal kepada perbuatan maulid, iaitu mengadakan perhimpunan orangramai, membaca al-Quran, sirah Nabi dan kisah-kisah yang berlaku pada saat kelahiran baginda dari tanda-tanda kenabian, dan dihidangkan jamuan, dan bersurai tanpa apa-apa tambahan daripadanya, ia merupakan bid’ah yang hasanah yang diberikan pahala siapa yang melakukannya kerana padanya mengagungkan kemuliaan Nabi صلى الله عليه وسلم dan menzahirkan rasa kegembiraan dengan kelahiran baginda yang mulia.
2) Syeikh Ibn Taimiyah : “Di dalam kitab beliau, Iqtidha’ as-Shiratil Mustaqim, cetakan Darul Hadis, halaman 266, beliau nyatakan: Begitu juga apa yang dilakukan oleh sebahagian manusia samada menyaingi orang Nasrani pada kelahiran Isa عليه السلام, ataupun kecintaan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم dan mengagungkan baginda, dan Allah mengurniakan pahala kepada mereka atas kecintaan dan ijtihad ini…”
Seterusnya beliau nyatakan lagi : “Ia tidak dilakukan oleh salaf, tetapi ada sebab baginya, dan tiada larangan daripadanya.”

Kita pula tidak mengadakan maulid melainkan seperti apa yang dikatakan oleh Ibn Taimiyah sebagai: “Kecintaan kepada Nabi dan mengagungkan baginda.”
3) Syeikhul Islam wa Imamussyurraah al-Hafiz Ibn Hajar al-‘Asqalani: Berkata al-Hafiz as-Suyuthi dalam kitab yang disebutkan tadi: Syeikhul Islam Hafizul ‘Asr Abulfadhl Ibn Hajar telah ditanya tentang amal maulid, dan telah dijawab begini: “Asal amal maulid (mengikut cara yang dilakukan pada zaman ini) adalah bid’ah yang tidak dinaqalkan dari salafussoleh dari 3 kurun (yang awal), walaubagaimanapun ia mengandungi kebaikan serta sebaliknya. Maka sesiapa yang melakukan padanya kebaikan dan menjauhi yang buruk, ia merupakan bid’ah yang hasanah.
Telah jelas bagiku pengeluaran hukum ini dari asal yang tsabit iaitu apa yang tsabit dalam shahihain (shahih al-Bukhari dan shahih Muslim) bahawa Nabi صلى الله عليه وسلم ketika tiba di Madinah mendapati orang Yahudi berpuasa Asyura’, lalu baginda bertanya kepada mereka (sebabnya). Mereka menjawab: Ia merupakan hari ditenggelamkan Allah Fir’aun dan diselamatkan Musa, maka kami berpuasa kerana bersyukur kepada Allah. Maka diambil pengajaran darinya melakukan kesyukuran kepada Allah atas apa yang Dia kurniakan pada hari tertentu, samada cucuran nikmat atau mengangkat kesusahan.”
Seterusnya beliau berkata lagi: Dan apakah nikmat yang lebih agung dari nikmat diutuskan Nabi ini صلى الله عليه وسلم, Nabi Yang Membawa Rahmat, pada hari tersebut? Dan ini adalah asal kepada amalan tersebut. Manakala apa yang dilakukan padanya, maka seharusnya berlegar pada apa yang difahami sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah Ta’ala samada tilawah, memberi makan, sedekah, membacakan puji-pujian kepada Nabi, penggerak hati atau apa sahaja bentuk kebaikan dan amal untuk akhirat.”
Inilah istinbat-istinbat yang dikatakan oleh mereka yang menentang sambutan maulid (anti-maulid) sebagai istidlal yang bathil serta qias yang fasid, lalu mereka mengingkarinya. Cukuplah bagi kita memerhatikan siapakah yang mengingkari dan siapa pula yang mereka ingkari!!!
PERINGATAN MAULID NABI SAW

ketika kita membaca kalimat diatas maka didalam hati kita sudah tersirat bahwa kalimat ini akan langsung membuat alergi bagi sebagian kelompok muslimin, saya akan meringkas penjelasannya secara ‘Aqlan wa syar’an, (logika dan syariah).
Sifat manusia cenderung merayakan sesuatu yg membuat mereka gembira, apakah keberhasilan, kemenangan, kekayaan atau lainnya, mereka merayakannya dengan pesta, mabuk mabukan, berjoget bersama, wayang, lenong atau bentuk pelampiasan kegembiraan lainnya, demikian adat istiadat diseluruh dunia.
Sampai disini saya jelaskan dulu bagaimana kegembiraan atas kelahiran Rasul saw. Allah merayakan hari kelahiran para Nabi Nya
• Firman Allah : “(Isa berkata dari dalam perut ibunya) Salam sejahtera atasku, di hari kelahiranku, dan hari aku wafat, dan hari aku dibangkitkan” (QS Maryam 33)
• Firman Allah : “Salam Sejahtera dari kami (untuk Yahya as) dihari kelahirannya, dan hari wafatnya dan hari ia dibangkitkan” (QS Maryam 15)
• Rasul saw lahir dengan keadaan sudah dikhitan (Almustadrak ala shahihain hadits no.4177)
• Berkata Utsman bin Abil Ash Asstaqafiy dari ibunya yg menjadi pembantunya Aminah ra bunda Nabi saw, ketika Bunda Nabi saw mulai saat saat melahirkan, ia (ibu utsman) melihat bintang bintang mendekat hingga ia takut berjatuhan diatas kepalanya, lalu ia melihat cahaya terang benderang keluar dari Bunda Nabi saw hingga membuat terang benderangnya kamar dan rumah (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)
• Ketika Rasul saw lahir kemuka bumi beliau langsung bersujud (Sirah Ibn Hisyam)
• Riwayat shahih oleh Ibn Hibban dan Hakim bahwa Ibunda Nabi saw saat melahirkan Nabi saw melihat cahaya yg terang benderang hingga pandangannya menembus dan melihat Istana Istana Romawi (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)
• Malam kelahiran Rasul saw itu runtuh singgasana Kaisar Kisra, dan runtuh pula 14 buah jendela besar di Istana Kisra, dan Padamnya Api di Kekaisaran Persia yg 1000 tahun tak pernah padam. (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)
Kenapa kejadian kejadian ini dimunculkan oleh Allah swt?, kejadian kejadian besar ini muncul menandakan kelahiran Nabi saw, dan Allah swt telah merayakan kelahiran Muhammad Rasulullah saw di Alam ini, sebagaimana Dia swt telah pula membuat salam sejahtera pada kelahiran Nabi nabi sebelumnya.
Rasulullah saw memuliakan hari kelahiran beliau saw Ketika beliau saw ditanya mengenai puasa di hari senin, beliau saw menjawab : “Itu adalah hari kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan” (Shahih Muslim hadits no.1162).
dari hadits ini sebagian saudara2 kita mengatakan boleh merayakan maulid Nabi saw asal dg puasa. Rasul saw jelas jelas memberi pemahaman bahwa hari senin itu berbeda dihadapan beliau saw daripada hari lainnya, dan hari senin itu adalah hari kelahiran beliau saw. Karena beliau saw tak menjawab misalnya : “oh puasa hari senin itu mulia dan boleh boleh saja..”, namun beliau bersabda : “itu adalah hari kelahiranku”, menunjukkan bagi beliau saw hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah dari hari hari lainnya, contoh mudah misalnya zeyd bertanya pada amir : “bagaimana kalau kita berangkat umroh pada 1 Januari?”, maka amir menjawab : “oh itu hari kelahiran saya”. Nah.. bukankah jelas jelas bahwa zeyd memahami bahwa 1 januari adalah hari yg berbeda dari hari hari lainnya bagi amir?,
dan amir menyatakan dengan jelas bahwa 1 januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti amir ini termasuk orang yg perhatian pada hari kelahirannya, kalau amir tak acuh dg hari kelahirannya maka pastilah ia tak perlu menyebut nyebut bahwa 1 januari adalah hari kelahirannya, dan Nabi saw tak memerintahkan puasa hari senin untuk merayakan kelahirannya, pertanyaan sahabat ini berbeda maksud dengan jawaban beliau saw yg lebih luas dari sekedar pertanyaannya, sebagaimana contoh diatas, Amir tak mmerintahkan umroh pada 1 januari karena itu adalah hari kelahirannya, maka mereka yg berpendapat bahwa boleh merayakan maulid hanya dg puasa saja maka tentunya dari dangkalnya pemahaman terhadap ilmu bahasa. Orang itu bertanya tentang puasa senin, maksudnya boleh atau tidak?, Rasul saw menjawab : hari itu hari kelahiranku, menunjukkan hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah pada pribadi beliau saw, sekaligus diperbolehkannya puasa dihari itu. Maka jelaslah sudah bahwa Nabi saw termasuk yg perhatian pada hari kelahiran beliau saw, karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya islam.
Sahabat memuliakan hari kelahiran Nabi saw Berkata Abbas bin Abdulmuttalib ra : “Izinkan aku memujimu wahai
Rasulullah..” maka Rasul saw menjawab: “silahkan..,maka Allah akan membuat bibirmu terjaga”, maka Abbas ra memuji dg syair yg panjang, diantaranya : “… dan engkau (wahai nabi saw) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417)

Kasih sayang Allah atas kafir yg gembira atas kelahiran Nabi saw Diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdulmuttalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan Abbas bertanya padanya : “bagaimana keadaanmu?”, abu lahab menjawab : “di neraka, Cuma diringankan siksaku setiap senin karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits no.4813, Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits no.13701, syi’bul iman no.281, fathul baari Almasyhur juz 11 hal 431). Walaupun kafir terjahat ini dibantai di alam barzakh, namun tentunya Allah berhak menambah siksanya atau menguranginya menurut kehendak Allah swt, maka Allah menguranginya setiap hari senin karena telah gembira dg kelahiran Rasul saw dengan membebaskan budaknya.
Walaupun mimpi tak dapat dijadikan hujjah untuk memecahkan hukum syariah, namun mimpi dapat dijadikan hujjah sebagai manakib, sejarah dan lainnya, misalnya mimpi orang kafir atas kebangkitan Nabi saw, maka tentunya hal itu dijadikan hujjah atas kebangkitan Nabi saw maka Imam imam diatas yg meriwayatkan hal itu tentunya menjadi hujjah bagi kita bahwa hal itu benar adanya, karena diakui oleh imam imam dan mereka tak mengingkarinya.
Rasulullah saw memperbolehkan Syair pujian di masjid Hassan bin Tsabit ra membaca syair di Masjid Nabawiy yg lalu ditegur oleh Umar ra, lalu Hassan berkata : “aku sudah baca syair nasyidah disini dihadapan orang yg lebih mulia dari engkau wahai Umar (yaitu Nabi saw), lalu Hassan berpaling pada Abu Hurairah ra dan berkata : “bukankah kau dengar Rasul saw menjawab syairku dg doa : wahai Allah bantulah ia dengan ruhulqudus?, maka Abu Hurairah ra berkata : “betul” (shahih Bukhari hadits no.3040, Shahih Muslim hadits no.2485)
Ini menunjukkan bahwa pembacaan Syair di masjid tidak semuanya haram, sebagaimana beberapa hadits shahih yg menjelaskan larangan syair di masjid, namun jelaslah bahwa yg dilarang adalah syair syair yg membawa pada Ghaflah, pada keduniawian, namun syair syair yg memuji Allah dan Rasul Nya maka hal itu diperbolehkan oleh Rasul saw bahkan dipuji dan didoakan oleh beliau saw sebagaimana riwayat diatas, dan masih banyak riwayat lain sebagaimana dijelaskan bahwa Rasul saw mendirikan mimbar khusus untuk hassan bin tsabit di masjid agar ia berdiri untuk melantunkan syair syairnya (Mustadrak ala shahihain hadits no.6058, sunan Attirmidzi hadits no.2846) oleh Aisyah ra bahwa ketika ada beberapa sahabat yg mengecam Hassan bin Tsabit ra maka Aisyah ra berkata : “Jangan kalian caci hassan, sungguh ia itu selalu membanggakan Rasulullah saw”(Musnad Abu Ya’la Juz 8 hal 337).
Pendapat Para Imam dan Muhaddits atas perayaan Maulid sebelumnya perlu saya jelaskan bahwa yg dimaksud Al Hafidh adalah mereka yg telah hafal lebih dari 100.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya, dan yg disebut Hujjatul Islam adalah yg telah hafal 300.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya.
1. Berkata Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Asqalaniy rahimahullah :
Telah jelas dan kuat riwayat yg sampai padaku dari shahihain bahwa Nabi saw datang ke Madinah dan bertemu dengan Yahudi yg berpuasa hari asyura (10 Muharram), maka Rasul saw bertanya maka mereka berkata :
“hari ini hari ditenggelamkannya Fir’aun dan Allah menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah swt, maka bersabda Rasul saw : “kita lebih berhak atas Musa as dari kalian”, maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas anugerah yg diberikan pada suatu hari tertentu setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa didapatkan dg pelbagai cara, seperti sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca Alqur’an, maka nikmat apalagi yg melebihi kebangkitan Nabi ini?, telah berfirman Allah swt “SUNGGUH ALLAH TELAH MEMBERIKAN
ANUGERAH PADA ORANG  ORANG MUKMININ KETIKA DIBANGKITKANNYA RASUL DARI MEREKA” (QS Al Imran 164)
2. Pendapat Imam Al Hafidh Jalaluddin Assuyuthi rahimahullah :
Telah jelas padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasul saw ber akikah untuk dirinya setelah beliau saw menjadi Nabi (Ahaditsulmukhtarah hadis no.1832 dg sanad shahih dan Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 9 hal.300), dan telah diriwayatkan bahwa telah ber Akikah untuknya kakeknya Abdulmuttalib saat usia beliau saw 7 tahun,
dan akikah tak mungkin diperbuat dua kali, maka jelaslah bahwa akikah beliau saw yg kedua atas dirinya adalah sebagai tanda syukur beliau saw kepada Allah swt yg telah membangkitkan beliau saw sebagai Rahmatan lil’aalamiin dan membawa Syariah utk ummatnya, maka sebaiknya bagi kita juga untuk menunjukkan tasyakkuran dengan Maulid beliau saw dengan mengumpulkan teman teman dan saudara saudara, menjamu dg makanan makanan dan yg serupa itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan. bahkan Imam Assuyuthiy mengarang sebuah buku khusus
mengenai perayaan maulid dengan nama : “Husnulmaqshad fii ‘amalilmaulid” .
3. Pendapat Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi) :
Merupakan Bid’ah hasanah yg mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yg diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul saw dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul saw dan membangkitkan rasa cinta pada beliau saw, dan bersyukur kepada Allah dg kelahiran Nabi saw.
4. Pendapat Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam kitabnya ‘Urif bitta’rif Maulidissyariif :
Telah diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu?, ia menjawab : “di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu semua sebab aku membebaskan budakku Tsuwaibah
demi kegembiraanku atas kelahiran Nabi (saw) dan karena Tsuwaibah menyusuinya (saw)” (shahih Bukhari). maka apabila Abu Lahab Kafir yg Alqur’an turun mengatakannya di neraka mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi saw, maka bagaimana dg muslim ummat Muhammad saw yg gembira atas kelahiran Nabi saw?, maka demi usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh sungguh ia akan dimasukkan ke sorga kenikmatan Nya dengan sebab anugerah Nya.
5. Pendapat Imam Al Hafidh Syamsuddin bin Nashiruddin Addimasyqiy
dalam kitabnya Mauridusshaadiy fii maulidil Haadiy :
Serupa dg ucapan Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljuzri, yaitu menukil hadits Abu Lahab
6. Pendapat Imam Al Hafidh Assakhawiy dalam kitab Sirah Al Halabiyah berkata ”tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan setelahnya, dan tetap melaksanakannya umat islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah pd malamnya dg berbagai macam sedekah dan memperhatikan pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka keberkahan yg sangat besar”.
7. Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah
dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : ”ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi saw”
8. Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah
dengan karangan maulidnya yg terkenal ”al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid, ”Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dg tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yg membacanya serta merayakannya” .
9. Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah
dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyya h juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami berkata: ”Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kpd orang yg menjadikan hari kelahiran Nabi saw sebagai hari besar”.
10. Imam Al hafidh Al Muhaddis Abulkhattab Umar bin Ali bin Muhammad
yg terkenal dg Ibn Dihyah alkalbi dg karangan maulidnya yg bernama ”Attanwir fi maulid basyir an nadzir”
11. Imam Al Hafidh Al Muhaddits Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Aljuzri dg maulidnya ”urfu at ta’rif bi maulid assyarif”
12. Imam al Hafidh Ibn Katsir yg karangan kitab maulidnya dikenal dg nama : ”maulid ibn katsir”
13. Imam Al Hafidh Al ’Iraqy dg maulidnya ”maurid al hana fi maulid assana”
14. Imam Al Hafidh Nasruddin Addimasyqiy
telah mengarang beberapa maulid : Jaami’ al astar fi maulid nabi al mukhtar 3 jilid, Al lafad arra’iq fi maulid khair al khalaiq, Maurud asshadi fi maulid al hadi.
15. Imam assyakhawiy dg maulidnya al fajr al ulwi fi maulid an nabawi
16. Al allamah al faqih Ali zainal Abidin As syamhudi dg maulidnya al mawarid al haniah fi maulid khairil bariyyah
17. Al Imam Hafidz Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad As syaibaniy yg terkenal dg ibn diba’
dg maulidnya addiba’i
18. Imam ibn hajar al haitsami dg maulidnya itmam anni’mah alal alam bi maulid syayidi waladu adam
19. Imam Ibrahim Baajuri mengarang hasiah atas maulid ibn hajar dg nama tuhfa al basyar ala
maulid ibn hajar
20. Al Allamah Ali Al Qari’ dg maulidnya maurud arrowi fi maulid nabawi
21. Al Allamah al Muhaddits Ja’far bin Hasan Al barzanji dg maulidnya yg terkenal maulid barzanji
23. Al Imam Al Muhaddis Muhammad bin Jakfar al Kattani dg maulid Al yaman wal is’ad bi maulid khair al ibad
24. Al Allamah Syeikh Yusuf bin ismail An Nabhaniy dg maulid jawahir an nadmu al badi’ fi maulid as syafi’
25. Imam Ibrahim Assyaibaniy dg maulid al maulid mustofa adnaani
26. Imam Abdulghaniy Annanablisiy dg maulid Al Alam Al Ahmadi fi maulid muhammadi”
27. Syihabuddin Al Halwani dg maulid fath al latif fi syarah maulid assyarif
28. Imam Ahmad bin Muhammad Addimyati dg maulid Al Kaukab al azhar alal ‘iqdu al jauhar fi maulid nadi al azhar
29. Asyeikh Ali Attanthowiy dg maulid nur as shofa’ fi maulid al mustofa
30. As syeikh Muhammad Al maghribi dg maulid at tajaliat al khifiah fi maulid khoir al bariah.
Tiada satupun para Muhadditsin dan para Imam yg menentang dan melarang hal ini, mengenai beberapa pernyataan pada Imam dan Muhadditsin yg menentang maulid sebagaimana disampaikan oleh kalangan anti maulid,
maka mereka ternyata hanya menggunting dan memotong ucapan para Imam itu, dengan kelicikan yg jelas jelas meniru kelicikan para misionaris dalam menghancurkan Islam.
Berdiri saat Mahal Qiyam dalam pembacaan Maulid Mengenai berdiri saat maulid ini, merupakan Qiyas dari kerinduan pada Rasul saw, dan menunjukkan semangat atas kedatangan sang pembawa risalah pada kehidupan kita, hal ini lumrah saja, sebagaimana penghormatan yg dianjurkan oleh Rasul saw adalah berdiri, sebagaimana diriwayatkan ketika sa’ad bin Mu’adz ra datang maka Rasul saw berkata kepada kaum anshar : “Berdirilah untuk tuan kalian” (shahih Bukhari hadits no.2878, Shahih Muslim hadits no.1768), demikian pula berdirinya Thalhah ra untuk Ka’b bin Malik ra.
Memang mengenai berdiri penghormatan ini ada ikhtilaf ulama, sebagaimana yg dijelaskan bahwa berkata Imam Alkhattabiy bahwa berdirinya bawahan untuk majikannya, juga berdirinya murid untuk kedatangan gurunya, dan berdiri untuk kedatangan Imam yg adil dan yg semacamnya merupakan hal yg baik, dan berkata Imam Bukhari bahwa yg dilarang adalah berdiri untuk pemimpin yg duduk, dan Imam Nawawi yg berpendapat bila berdiri untuk penghargaan maka taka apa, sebagaimana Nabi saw berdiri untuk kedatangan putrinya Fathimah ra saat ia datang,
namun adapula pendapat lain yg melarang berdiri untuk penghormatan. (Rujuk Fathul Baari Almasyhur Juz 11 dan Syarh Imam Nawawi ala shahih muslim juz 12 hal 93)
Namun sehebat apapun pendapat para Imam yg melarang berdiri untuk menghormati orang lain, bisa dipastikan mereka akan berdiri bila Rasulullah saw datang pada mereka, mustahil seorang muslim beriman bila sedang duduk lalu tiba tiba Rasulullah saw datang padanya dan ia tetap duduk dg santai..
Namun dari semua pendapat itu, tentulah berdiri saat mahal qiyam dalam membaca maulid itu tak ada hubungan apa apa dengan semua perselisihan itu, karena Rasul saw tidak dhohir dalam pembacaan maulid itu, lepas
dari anggapan ruh Rasul saw hadir saat pembacaan maulid, itu bukan pembahasan kita, masalah seperti itu adalah masalah ghaib yg tak bisa disyarahkan dengan hukum dhohir, semua ucapan diatas adalah perbedaan pendapat mengenai berdiri penghormatan yg Rasul saw pernah melarang agar sahabat tak berdiri
untuk memuliakan beliau saw. Jauh berbeda bila kita yg berdiri penghormatan mengingat jasa beliau
saw, tak terikat dengan beliau hadir atau tidak, bahwa berdiri kita adalah bentuk kerinduan kita pada nabi saw, sebagaimana kita bersalam pada Nabi saw setiap kita shalat pun kita tak melihat beliau saw.
Diriwayatkan bahwa Imam Al hafidh Taqiyuddin Assubkiy rahimahullah, seorang Imam Besar dan terkemuka dizamannya bahwa ia berkumpul bersama para Muhaddits dan Imam Imam besar dizamannya dalam perkumpulan yg padanya dibacakan puji pujian untuk nabi saw, lalu diantara syair syair itu merekapun seraya berdiri termasuk Imam Assubkiy dan seluruh Imam imam yg hadir bersamanya, dan didapatkan kesejukan yg luhur dan cukuplah perbuatan mereka itu sebagai panutan, dan berkata Imam Ibn Hajar Alhaitsamiy rahimahullah bahwa Bid’ah
hasanah sudah menjadi kesepakatan para imam bahwa itu merupakan hal yg sunnah, (berlandaskan hadist shahih muslim no.1017 yg terncantum pd Bab Bid’ah) yaitu bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan
tidak mendapat dosa, dan mengadakan maulid itu adalah salah satu Bid’ah hasanah,
Dan berkata pula Imam Assakhawiy rahimahullah bahwa mulai abad ketiga hijriyah mulailah hal ini dirayakan dengan banyak sedekah dan perayaan agung ini diseluruh dunia dan membawa keberkahan bagi mereka yg mengadakannya. (Sirah Al Halabiyah Juz 1 hal 137)
Pada hakekatnya, perayaan maulid ini bertujuan mengumpulkan muslimin untuk Medan Tablig dan bersilaturahmi sekaligus mendengarkan ceramah islami yg diselingi bershalawat dan salam pada Rasul saw, dan puji pujian pada Allah dan Rasul saw yg sudah diperbolehkan oleh Rasul saw, dan untuk mengembalikan kecintaan mereka pada Rasul saw, maka semua maksud ini tujuannya adalah kebangkitan risalah pada ummat yg dalam ghaflah, maka Imam dan Fuqaha manapun tak akan ada yg mengingkarinya karena jelas jelas merupakan salah satu cara membangkitkan keimanan muslimin, hal semacam ini tak pantas dimungkiri oleh setiap muslimin
aqlan wa syar’an (secara logika dan hukum syariah), karena hal ini merupakan hal yg mustahab (yg dicintai), sebagaiman kaidah syariah bahwa “Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib”, semua yg menjadi penyebab kewajiban dengannya maka hukumnya wajib.  contohnya saja bila sebagaimana kita ketahui bahwa menutup aurat dalam shalat hukumnya wajib, dan membeli baju hukumnya mubah, namun suatu waktu saat kita akan melakukan shalat kebetulan kita tak punya baju penutup aurat kecuali harus membeli dulu, maka membeli baju hukumnya
berubah menjadi wajib, karena perlu dipakai untuk melaksanakan shalat yg wajib .
contoh lain misalnya sunnah menggunakan siwak, dan membuat kantong baju hukumnya mubah saja, lalu saat akan bepergian kita akan membawa siwak dan baju kita tak berkantong, maka perlulah bagi kita membuat kantong baju untuk menaruh siwak, maka membuat kantong baju di pakaian kita menjadi sunnah hukumnya, karena diperlukan untuk menaruh siwak yg hukumnya sunnah.
Maka perayaan Maulid Nabi saw diadakan untuk Medan Tablig dan Dakwah, dan dakwah merupakan hal yg wajib pada suatu kaum bila dalam kemungkaran, dan ummat sudah tak perduli dg Nabinya saw, tak pula perduli apalagi mencintai sang Nabi saw dan rindu pada sunnah beliau saw, dan untuk mencapai tablig ini adalah dengan perayaan Maulid Nabi saw, maka perayaan maulid ini menjadi wajib, karena menjadi perantara Tablig dan Dakwah serta pengenalan sejarah sang Nabi saw serta silaturahmi.
Sebagaimana penulisan Alqur’an yg merupakan hal yg tak perlu dizaman nabi saw, namun menjadi sunnah hukumnya di masa para sahabat karena sahabat mulai banyak yg membutuhkan penjelasan Alqur’an, dan menjadi
wajib hukumnya setelah banyaknya para sahabat yg wafat, karena ditakutkan sirnanya Alqur’an dari ummat, walaupun Allah telah menjelaskan bahwa Alqur’an telah dijaga oleh Allah.
Hal semacam in telah difahami dan dijelaskan oleh para khulafa’urrasyidin, sahabat radhiyallahu’ anhum, Imam dan Muhadditsin, para ulama, fuqaha dan bahkan orang muslimin yg awam, namun hanya
sebagian saudara saudara kita muslimin yg masih bersikeras untuk menentangnya, semoga Allah memberi mereka keluasan hati dan kejernihan, amiin.

http://al-fanshuri.blogspot.com/search/label/Maulid

12 RABIUL AWAL : PERISTIWA MAULID, HIJRAH DAN WAFAT (HAUL) NABI MUHAMMAD SAW. KARENA ITU DALAM AMALAN ITU ADA DALIL MENGINGATI HARI HARI (DIBERIKAN NIKMAT) ALLAH TENTANG KELAHIRAN , HIJRAH DAN HAUL

http://salafytobat.wordpress.com/2010/02/21/12-rabiul-awal-peristiwa-maulid-hijrah-dan-wafat-haul-nabi-muhammad-saw/

Sunday, January 16, 2011

Tingkatan Wali Allah SWT

37 Pangkat / Maqom Wali Allah

Wali Allah itu golongan orang orang yang selalu beriman dan bertakwa, mereka golongan golongan yang mengikuti Rasulullah SAW, yang mengabdi kepada Allah dengan sebaik-baik pengabdian daripada mahluk lain, sehingga kecintaan Allah turun kepadanya melebihi mahluk yang lainnya pula. Karena para wali itu jauh dari dunia, dan ilmunya menembus batas mahluk lainnya, mereka diberi tugas sesuai dengan tingkatan tingkatan keimanan dan ketakwaannya. dalam ayat disebutkan

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang- orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus : 62-63).

Ayat di atas mengandung pengertian bahwa wali Allah (waliyullah) ialah orang yang beriman dan bertakwa.(lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 2 hal 422). (Wali-wali Allah) ialah orang yang beriman kepada hal yang gaib, mendirikan salat, menafkahkan sebagian rezeki yang telah Allah anugerahkan kepadanya. Mereka juga beriman kepada yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW (Al-Qur’an) dan yang diturunkan kepada nabi- nabi sebelum Nabi Muhammad SAW, serta mereka meyakini adanya hari akhir. Mereka (wali-wali Allah) itu adalah golongan yang mengikuti Nabi Muhammad SAW (lihat Tafsir Tanwiirul Miqbas, hal 4).

Terhadap mereka (wali-wali Allah) terkadang tampak karamah ketika sedang dibutuhkan. Seperti karamah Maryam ketika ia mendapatkan rezeki berupa makanan di rumahnya (QS.3 : 35) (lihat Firqah an Naajiyah Bab 31).

Maka wilayah (kewalian) memang ada. Tetapi ia tidak terjadi kecuali pada hamba yang mukmin, taat dan mengesakan Allah. Adapun karamah tidak menjadi syarat untuk seseorang disebut sebagai wali Allah, sebab syarat demikian tidak diberitakan dalam Al Qur’an.

Tingkat kewalian yang terdapat dalam diri seseorang sesuai dengan tingkat keimanannya. Para wali Allah yang paling tinggi tingkat kewaliannya adalah para nabi, dan diantara para nabi yang paling tinggi tingkat kewaliannya adalah para rasul, dan diantara para rasul yang paling tinggi tingkat kewaliaanya adalah rasul ulul azmi, dan diantara rasul ulul azmi yang paling tinggi tingkat kewaliannya adalah Rasulullah Muhammad SAW. Maka barangsiapa yang mengaku mencintai Allah dan dekat dengan-Nya (mengaku sebagai wali Allah), tetapi ia tidak mengikuti sunah Rasulullah Muhammad SAW, maka sebenarnya ia bukanlah wali Allah tetapi musuh Allah dan wali setan (lihat Al Furqan, hal 6) .

Sesuai dengan Firman Allah SWT dalam Al-quran dibwah ini :
LA TAHSABANNAL LADZI QUTILUU FI SABILILLAHI AMWATAN, BAL AHYAUN INDA ROBBIHIM YURZAQUNA ( Ali Imron 169 ).
Artinya :”Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu MATI bahkan mereka itu HIDUP di sisi tuhannya dengan mendapat rizqi “

HIDUP Yaitu hidup dalam alam yang lain yang bukan alam kita ini, di mana mereka mendapat keni’matan2 di sisi Allah, Dan hanya Allah sajalah yang mengetahui bagaimana keadaan HIDUP nya itu.

Berikut 37 pangkat / maqom para wali Allah yang juga terdapat pada kitab Jawahir Al-Khomsi Syeikh Khotiruddin Bayazid Al-Khowajah dan Kitab Jami’u Karomatil Aulia kepunyaan Syeikh Yusuf ibni Isma’il An-Nabhani R.A.:

1.Qutub Atau Ghauts ( 1 abad 1 Orang )
2. Aimmah ( 1 Abad 2 orang )
3. Autad ( 1 Abad 4 Orang di 4 penjuru Mata Angin )
4. Abdal ( 1 Abad 7 Orang tidak akan bertambah & berkurang Apabila ada wali Abdal yg Wafat Allah menggantikannya dengan mengangkat Wali abdal Yg Lain ( Abdal=Pengganti ) Wali Abdal juga ada yang Waliyahnya ( Wanita )
5. Nuqoba’ ( Naqib ) ( 1 Abad 12 orang Di Wakilkan Allah Masing2 pada tiap2 Bulan)
6. Nujaba’ ( 1 Abad 8 Orang )
7. Hawariyyun ( 1 Abad 1 Orang ) Wali Hawariyyun di beri kelebihan Oleh Allah dalam hal keberanian, Pedang ( Zihad) di dalam menegakkan Agama Islam Di muka bumi.
8. Rojabiyyun ( 1 Abad 40 Orang Yg tidak akan bertambah & Berkurang Apabila ada salah satu Wali Rojabiyyun yg meninggal Allah kembali mengangkat Wali rojabiyyun yg lainnya, Dan Allah mengangkatnya menjadi wali Khusus di bulan Rajab dari Awal bulan sampai Akhir Bulan oleh karena itu Namanya Rojabiyyun.
9. Khotam ( penutup Wali )( 1 Alam dunia hanya 1 orang ) Yaitu Nabi Isa A.S ketika diturunkan kembali ke dunia Allah Angkat menjadi Wali Khotam ( Penutup ).
10. Qolbu Adam A.S ( 1 Abad 300 orang )
11. Qolbu Nuh A.S ( 1 Abad 40 Orang )
12. Qolbu Ibrohim A.S ( 1 Abad 7 Orang )
13. Qolbu Jibril A.S ( 1 Abad 5 Orang )
14. Qolbu Mikail A.S ( 1 Abad 3 Orang tidak kurang dan tidak lebih Allah selau mengangkat wali lainnya Apabila ada salah satu Dari Wali qolbu Mikail Yg Wafat )
15.Qolbu Isrofil A.S ( 1 Abad 1 Orang )
16. Rizalul ‘Alamul Anfas ( 1 Abad 313 Orang )
17. Rizalul Ghoib ( 1 Abad 10 orang tidak bertambah dan berkurang tiap2 Wali Rizalul Ghoib ada yg Wafat seketika juga Allah mengangkat Wali Rizalul Ghoib Yg lain, Wali Rizalul Ghoib merupakan Wali yang di sembunyikan oleh Allah dari penglihatannya Makhluq2 Bumi dan Langit tiap2 wali Rizalul Ghoib tidak dapat mengetahui Wali Rizalul Ghoib yang lainnya, Dan ada juga Wali dengan pangkat Rijalul Ghoib dari golongan Jin Mu’min, Semua Wali Rizalul Ghoib tidak mengambil sesuatupun dari Rizqi Alam nyata ini tetapi mereka mengambil atau menggunakan Rizqi dari Alam Ghaib.
18. Adz-Dzohirun ( 1 Abad 18 orang )
19. Rizalul Quwwatul Ilahiyyah (1 Abad 8 Orang )
20. Khomsatur Rizal ( 1 Abad 5 orang )
21. Rizalul Hanan ( 1 Abad 15 Orang )
22. Rizalul Haybati Wal Jalal ( 1 Abad 4 Orang )
23. Rizalul Fath ( 1 Abad 24 Orang ) Allah mewakilkannya di tiap Sa’ah ( Jam ) Wali Rizalul Fath tersebar di seluruh Dunia 2 Orang di Yaman, 6 orang di Negara Barat, 4 orang di negara timur, dan sisanya di semua Jihat ( Arah Mata Angin )
23. Rizalul Ma’arijil ‘Ula ( 1 Abad 7 Orang )
24. Rizalut Tahtil Asfal ( 1 Abad 21 orang )
25. Rizalul Imdad ( 1 Abad 3 Orang )
26. Ilahiyyun Ruhamaniyyun ( 1 Abad 3 Orang ) Pangkat ini menyerupai Pangkatnya Wali Abdal
27. Rozulun Wahidun ( 1 Abad 1 Orang )
28. Rozulun Wahidun Markabun Mumtaz ( 1 Abad 1 Orang )
Wali dengan Maqom Rozulun Wahidun Markab ini di lahirkan antara Manusia dan Golongan Ruhanny( Bukan Murni Manusia ), Beliau tidak mengetahui Siapa Ayahnya dari golongan Manusia , Wali dengan Pangkat ini Tubuhnya terdiri dari 2 jenis yg berbeda, Pangkat Wali ini ada juga yang menyebut ” Rozulun Barzakh ” Ibunya Dari Wali Pangkat ini dari Golongan Ruhanny Air INNALLAHA ‘ALA KULLI SAY IN QODIRUN ” Sesungguhnya Allah S.W.T atas segala sesuatu Kuasa.

29. Syakhsun Ghorib ( di dunia hanya ada 1 orang )
30. Saqit Arofrof Ibni Saqitil ‘Arsy ( 1 Abad 1 Orang )
31. Rizalul Ghina ( 1 Abad 2 Orang ) sesuai Nama Maqomnya ( Pangkatnya ) Rizalul Ghina ” Wali ini Sangat kaya baik kaya Ilmu Agama, Kaya Ma’rifatnya kepada Allah maupun Kaya Harta yg di jalankan di jalan Allah, Pangkat Wali ini juga ada Waliahnya ( Wanita ).
31. Syakhsun Wahidun ( 1 Abad 1 Orang )
32. Rizalun Ainit Tahkimi waz Zawaid ( 1 Abad 10 Orang )
33. Budala’ ( 1 Abad 12 orang ) Budala’ Jama’ nya ( Jama’ Sigoh Muntahal Jumu’) dari Abdal tapi bukan Pangkat Wali Abdal
34. Rizalul Istiyaq ( 1 Abad 5 Orang )
35. Sittata Anfas ( 1 Abad 6 Orang ) salah satu wali dari pangkat ini adalah Putranya Raja Harun Ar-Royid yaitu Syeikh Al-’Alim Al-’Allamah Ahmad As-Sibty
36. Rizalul Ma’ ( 1 Abad 124 Orang ) Wali dengan Pangkat Ini beribadahnya di dalam Air di riwayatkan oleh Syeikh Abi Su’ud Ibni Syabil ” Pada suatu ketika aku berada di pinggir sungai tikrit di Bagdad dan aku termenung dan terbersit dalam hatiku “Apakah ada hamba2 Allah yang beribadah di sungai2 atau di Lautan” Belum sampai perkataan hatiku tiba2 dari dalam sungai muncullah seseorang yang berkata “akulah salah satu hamba Allah yang di tugaskan untuk beribadah di dalam Air”, Maka akupun mengucapkan salam padanya lalu Dia pun membalas salam aku tiba2 orang tersebut hilang dari pandanganku.
37. Dakhilul Hizab ( 1 Abad 4 Orang )
Wali dengan Pangkat Dakhilul Hizab sesuai nama Pangkatnya , Wali ini tidak dapat di ketahui Kewaliannya oleh para wali yg lain sekalipun sekelas Qutbil Aqtob Seperti Syeikh Abdul Qodir Jailani, Karena Wali ini ada di dalam Hizab nya Allah, Namanya tidak tertera di Lauhil Mahfudz sebagai barisan para Aulia, Namun Nur Ilahiyyahnya dapat terlihat oleh para Aulia Seperti di riwayatkan dalam kitab Nitajul Arwah bahwa suatu ketika Syeikh Abdul Qodir Jailani Melaksanakan Towaf di Baitulloh Mekkah Mukarromah tiba2 Syeikh melihat seorang wanita dengan Nur Ilahiyyahnya yang begitu terang benderang sehingga Syeikh Abdul qodir Al-Jailani Mukasyafah ke Lauhil Mahfudz dilihat di lauhil mahfudz nama Wanita ini tidak ada di barisan para Wali2 Allah, Lalu Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani bermunajat kepada Allah untuk mengetahui siapa Wanita ini dan apa yang menjadi Amalnya sehingga Nur Ilahiyyahnya terpancar begitu dahsyat , Kemudian Allah memerintahkan Malaikat Jibril A.S untuk memberitahukan kepada Syeikh bahwa wanita tersebut adalah seorang Waliyyah dengan Maqom/ Pangkat Dakhilul Hizab ” Berada di Dalam Hizabnya Allah “, Kisah ini mengisyaratkan kepada kita semua agar senantiasa Ber Husnudzon ( Berbaik Sangka ) kepada semua Makhluq nya Allah, Sebetulnya Masih ada lagi Maqom2 Para Aulia yang tidak diketahui oleh kita, Karena Allah S.W.T menurunkan para Aulia di bumi ini dalam 1 Abad 124000 Orang, yang mempunyai tugasnya Masing-masing sesuai Pangkatnya atau Maqomnya. Susunan Maqom/Pangkat Para Aulia ini dari kitab Jami’u Karomatil Aulia ( Kumpulan Karomah2 Para Wali ), Perlu di ketahui bahwa Maqomnya para Aulia tidak tetap tapi naik walaupun mereka sudah Meninggal, dan wali Allah ada dimana2 pesannya adalah jangan suka berprasangka buruk pada orang lain.
http://rifz357.wordpress.com/2011/01/07/37-pangkat-maqom-wali-allah/

Sunday, June 14, 2009

Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

Ahlus Sunnah Wal Jama'ah



Muhammad bin Abdullah Al-Wuhaibi As-Sunnah dalam istilah mempunyai beberapa makna (lihat : Mawaqif Ibnu Taimiyah Minal Asy'ariyah I : 3804 oleh Syaikh Abdur-Rahman Al-Mahmud dan Mafhum Ahlis Sunnah Wal Jama'ah Inda Ahlis Sunnah Wal Jama'ah oleh Syaikh Nasyir Al-Aql). Dalam tulisan ringkas ini tidak hendak dibahas makna-makna itu. Tetapi hendak menjelaskan istilah "As-Sunnah" atau "Ahlus Sunnah" menurut petunjuk yang sesuai dengan i'tiqad Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan : "..... Dari Abu Sufyan Ats-Tsauri ia berkata : "Berbuat baiklah terhadap ahlus-sunnah karena mereka itu ghuraba" (Diriwayatkan oleh Al-Lalika'i dalam "Syarhus-Sunnah" No. 49) Yang dimaksud "As-Sunnah" menurut para Imam yaitu : "Thariqah (jalan hidup) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dimana beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat berada di atasnya. Yang selamat dari syubhat dan syahwat", oleh karena itu Al-Fudhail bin Iyadh mengatakan : "Ahlus Sunnah itu orang yang mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya dari (makanan) yang halal". ( lihat : Al-Lalika'i Syarhus Sunnah No. 51 dan Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 8:1034). Karena tanpa memakan yang haram termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Kemudian dalam pemahaman kebanyakan Ulama Muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya. As-Sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat). Para Ulama itu menyusun beberapa kitab dalam masalah ini dan mereka menamakan karya-karya mereka itu sebagai "As-Sunnah". Menamakan masalah ini dengan "As-Sunnah" karena pentingnya masalah ini dan orang yang menyalahi dalam hal ini berada di tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna adalah thariqah yang selamat dari syubhat dan syahwat. (Kasyful Karriyyah 19-20). Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alahi wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi mengatakan : "..... Tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah". (Talbisul Iblis oleh Ibnul Jauzi hal.16 dan lihat Al-Fashlu oleh Ibnu Hazm 2:107). Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna : Mengikuti sunnah-sunnah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam. Lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama dimana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'. Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah. Ibnu Sirin rahimahullah mengatakan : "Mereka (pada mulanya) tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama) mengatakan : Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami. Kemudian ia melihat kepada Ahlus Sunnah sehingga hadits mereka diambil. Dan melihat kepada Ahlul Bi'dah dan hadits mereka tidak diambil". (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah kitab shahihnya hal.15). Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya : "Siapakah Ahlus Sunnah itu ? Ia menjawab : Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal yakni bukan Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidli". (Al-Intiqa fi Fadlailits Tsalatsatil Aimmatil Fuqaha. hal.35 oleh Ibnu Abdil Barr). Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan dan negara, mereka menjadi sumber bencana bagi manusia, mereka mengajak untuk masuk ke aliran Jahmiyah dengan anjuran dan paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan bahkan membunuh orang yang tidak sependapat dengan mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Al-Imam Ahmad bin Hanbal untuk membela Ahlus Sunnah. Dimana beliau bersabar atas ujian dan bencana yang ditimpakan mereka. Beliau membantah dan patahkan hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau umumkan serta munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang di hadapan Ahlul Bid'ah dan Ahlul Kalam. Sehingga, beliau diberi gelar Imam Ahlus Sunnah. Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah terkenal di kalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang berlawanan dengan istilah Ahlul Ahwa' wal Bida' dari kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah tetap berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu 'anhum. AHLUS SUNNAH WAL-JAMA'AH Istilah yang digunakan untuk menamakan pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam i'tiqad ialah Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Banyak hadits yang memerintahkan untuk berjama'ah dan melarang berfirqah-firqah dan keluar dari jama'ah. (lihat : Wujubu Luzuumil Jama'ah wa Dzamit Tafarruq. hal. 115-117 oleh Jamal bin Ahmad Badi). Para ulama berselisih tentang perintah berjama'ah ini dalam beberapa pendapat. (Al-I'tisham 2:260-265). Jama'ah itu adalah As-Sawadul A'dzam (sekelompok manusia atau kelompok terbesar-pen) dari pemeluk Islam. Para Imam Mujtahid Para Shahabat Nabi radhiyallahu 'anhum. Jama'ahnya kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara. Jama'ah kaum muslimin jika mengangkat seorang amir. Pendapat-pendapat di atas kembali kepada dua makna : Bahwa jama'ah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara', maka wajib melazimi jama'ah ini dan haram menentang jama'ah ini dan amirnya. Bahwa jama'ah yang Ahlus Sunnah melakukan i'tiba' dan meninggalkan ibtida' (bid'ah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti dan dijalani menurut manhajnya. Ini adalah makna penafsiran jama'ah dengan Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma' atau As-Sawadul A'dzam. (Mauqif Ibni Taimiyah Minal Asya'irah 1 : 17). Syaikhul Islam mengatakan : "Mereka (para ulama) menamakan Ahlul Jama'ah karena jama'ah itu adalah ijtima' (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jama'ah telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan dien dengan ketiga pokok ini (Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma'). (Majmu al-Fatawa 3:175). Istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah mempunyai istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal Bida'. Contohnya : Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum mengatakan tentang tafsir firman Allah Ta'ala : "Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan adapula muka yang muram". (Ali-Imran : 105). "Adapun orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jama'ah sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul Ahwa' wa Dhalalah". (Diriwayatkan oleh Al-Lalika'i 1:72 dan Ibnu Baththah dalam Asy-Syarah wal Ibanah 137. As-Suyuthi menisbahkan kepada Al-Khatib dalam tarikhnya dan Ibni Abi Hatim dalam Ad-Durrul Mantsur 2:63). Sufyan Ats-Tsauri mengatakan : "Jika sampai (khabar) kepadamu tentang seseorang di arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di arah barat maka kirimkanlah salam kepadanya dan do'akanlah mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama'ah". (Diriwayatkan oleh Al-Lalika'i dalam Syarhus Sunnah 1:64 dan Ibnul Jauzi dalam Talbisul Iblis hal.9). Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah firqah yang berada diantara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah milah-milah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya dan penggunaan nama ini menunjukkan atas luasnya i'tiqad dan manhaj. Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh serta telah digunakan oleh para Ulama Salaf. Diantara yang paling banyak menggunakan istilah ini ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. ASY'ARIYAH, MATURIDIYAH DAN ISTILAH AHLUS SUNNAH Asy'ariyah dan Maturidhiyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah ini, dan di kalangan mereka kebanyakan mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jama'ah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jama'ah itu As'ariyah, Maturidiyah dan Madzhab Salaf. Az-Zubaidi mengatakan : "Jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah". (Ittihafus Sadatil Muttaqin 2:6). Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengatakan : "Ketahuilah bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jama'ah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi". ( Ar-Raudlatul Bahiyyah oleh Abi Udibah hal.3). Al-Ayji mengatakan : "Adapun Al-Firqotun Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata tentang mereka : "Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa yang Aku dan para shahabatku berada diatasnya". Mereka itu adalah Asy'ariyah dan Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah". (Al-Mawaqif hal. 429). Hasan Ayyub mengatakan : "Ahlus Sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid". (lihat : Tabsithul Aqaidil Islamiyah, hal. 299 At-Tabshut fi Ushulid Din, hal. 153, At-Tamhid oleh An-nasafi hal.2, Al-Farqu Bainal Firaq, hal. 323, I'tiqadat Firaqil Muslimin idal Musyrikin, hal. 150). Pada umumnya mereka mengatakan aqidah Asy'ariyah dan Maturidiyah berdasarkan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Disini tidak bermaksud mempermasalahkan pengakuan bathil ini. Tetapi hendak menyebutkan dua kesimpulan dalam masalah ini. Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikitpun tidak dapat merubah hakikat kebid'ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab. Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang digunakan oleh para Ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini. Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan dengan i'tiqad dan madzhab Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apapun. Diterjemahkan dari majalah Al-Bayan, no. 78 Shafar 1415H oleh Ibrahim Sa'id [Majalah As-sunnah edisi 10/Th.1 ]