Efek

Wednesday, February 2, 2011

KONTROVERSI YASINAN KAPAN BERAKHIR

KONTROVERSI YASINAN KAPAN BERAKHIR

Menurut sejarah, lahirnya tradisi  membaca Yaasin dan Tahlil berangkat dari akulturasi budaya Islam dengan Jawa yang bernuansa Hindu-Budha. Islam ketika masuk ke tanah Jawa, pada masa awal penyebarannya dilakukan melalui dakwah kultural. Hal ini dimotori oleh Wali Songo di antaranya adalah Sunan Kalijaga yang juga seorang budayawan muslim ketika itu.
Pada saat itu, kebiasaan lek-lekan (kumpul malam hari) sepeninggalnya seseorang dulunya diisi dengan kegiatan-kegiatan yang kurang Islami, main kartu, minum-minuman, dan sebagainya. Kemudian sedikit demi sedikit tradisi lek-lekan itu dikawinkan dengan nilai-nilai Islam melalui acara membaca surat  Yaasin dan Tahlil. Akhirnya, mitong dino, matang puluh dino, mendhak sepisan dan seterusnya. Sampai saat ini dapat kita saksikan dalam acara perkumpulan membaca Yaasin dan Tahlil, yang kemudian  sekarang orang jawa menyebutnya sebagai yasinan dan tahlilan.  Sebutan ini adalah ‘penjawaan’  dari kata tahlil dan yasin. Dakwah semacam itu cukup efektif yang menjadikan Islam membesar di tanah Jawa.
Pada sisi lain, seperti tradisi Halal bi Halal sendiri, tradisi Yaasinan dan Tahlilan hanya di kenal di Indonesia, dari sisi namanya. Akan tetapi acara yang semacam ini juga ada di negara-negara lain seperti Yaman, Malaysia, Thailand , Mesir, Bangladesh, Maroko dan masih banyak lagi. Hanya namanya bukan yasinan atau tahlilan. Khususnya di Indonesia, tidak salah jika beberapa intelektual muslim berpendapat bahwa Islam di Indonesia adalah unik, memiliki rasa dan tidak gersang seperti di Timur Tengah atau negara lainnya. Sehingga ada yang lebih suka menyebutnya dengan ‘Islam Indonesia’, bukan Islam di Indonesia.
Sedangkan mengapa sampai saat ini NU masih tetap melestarikan tradisi Yaasinan dan Tahlilan? Ya sebabnya bukan hanya karena kegiatan Yaasinan dan Tahlilan adalah salah satu modal sosial, tetapi juga karena secara hukum adalah sah. Tidak ada dalam teks Al-Quran pun Hadist yang secara qoth’iy (pasti) mengharamkan atau melarangnya. Sedangkan, kelompok modernis Islam yang dulu pernah dimotori oleh Muhammadiyyah dan kini diteruskan oleh Salafy Wahabi, menghukumi tradisi Yaasinan dan Tahlilan sebagai bid’ah yang didasarkan pada Hadist yang berbunyi, “Kullu bid’atun dlolaalatun”.
Sayangnya Hadits tersebut salah dipahami dengan memaknainya sebagai “Setiap bid’ah adalah buruk”. Yang semestinya lafadl (kata) ‘kullu’ pada Hadits di atas dimaknai ‘sebagian’ (bi ma’na ba’dli). Artinya, memang benar ada bid’ah yang dlolaalah (buruk) dan pada sisi lain ada juga bid’ah yang hasanah (baik). Sayangnya, pada term yang terakhir kita jarang menyebutnya dengan bid’ah hasanah tetapi lebih sering dengan sebutan ijtihad.
Saya akan menawarkan beberapa fakta yang mungkin akan membuat Anda berfikir ulang tentang bid’ah. Mungkin sampai saat ini Anda masih mendefinisikan bid’ah sebagai tata cara ibadah atau ibadah (‘ubudiyyah) yang sebenarnya tidak pernah digariskan oleh Allah dalam Al-Quran dan Hadits. Singkatnya tata cara ibadah atau ibadah yang mengada-ada. Jika Anda tahu, sampai sekarang ini pemerintah Saudi Arabia telah melakukan perombakan-perombakan syariah haji (tata cara);  seperti perluasan batas geografi Arafah dan Mina, perluasan Safa-Marwah, pengaturan penyembelihan hewan kurban, dan yang paling mutakhir, memperlebar ukuran Jamarat dari hanya tiang kecil menjadi tembok selebar tujuh meter. Hal tersebut dilakukan karena semakin membludaknya jamaah haji pertahunnya.
Jika Anda masih konsisten dengan definisi bid’ah di atas bahwa setiap bid’ah sesat, maka apakah Anda bisa mengatakan kebijakan pemerintah Saudi Arabia yang mengkreasi sedemikian rupa syariah haji akan Anda sebut juga sebagai bid’ah yang bermakna sesat (dlolaalah)? Saya yakin, pada fakta di atas Anda akan cenderung menyebutnya sebagai proses ijtihad dalam rangka mengurangi kecelakaan yang terjadi akibat penumpukan jemaah. Nah, logika semacam itu juga berlangsung dalam tradisi Yasinan dan Tahlian, sebagai bentuk ijtihad dalam rangka dakwah kultural. Hanya saja kita —sekali lagi— alergi untuk menyebutnya dengan bid’ah hasanah. Karena term ‘bid’ah’ sudah kadung peyoratif dalam katalog kata kita.
Saya membaca bahwa Yasinan dan Tahlilan sebagai bentuk ijtihad dalam rangka melakukan kodifikasi (pengumpulan-pelembagaan) dari bacaan surat Yasin, dzikir dan do’a yang kemudian diacarakan. Hal ini saya pandang sejajar dengan kumpulan do’a-do’a, dzikir yang dikeluarkan oleh Ulama tertentu untuk pengikutnya. Seperti kumpulan do’a, dzikir dan sebagainya dalam, dalam kumpulan do’a  al-ma’tsurat,  Majmu’ Assyarif atau majmu’-majmu’ lainnya.
Saya kembali ingat, ada kaidah Fiqih yang berbunyi, “Al ‘adaatul muhakkamah”. Artinya, “Adat atau kebiasaan bisa ditetapkan sebagai hukum”. Kontekstualisasi dari kaidah ini, bahwa kebiasaan atau tradisi yang secara esensial berisi nilai-nilai Islami dapat ditetapkan hukumnya menjadi sah atau boleh. Hal semacam ini dilakukan tidak semata-mata sebagai strategi an sich melainkan juga dalam kerangka penghormatan terhadap budaya tradisi yang nota benenya adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang memuat nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan.
Mujamil Qomar dalam disertasinya menulis, bahwa penghormatan pada tradisi yang baik ini pada akhirnya memuncak dengan memosisikannya sebagai hukum. Kalangan NU mengikuti kaidah Al ‘adaatul muhakkamah. Penetapan ini tidak sekedar berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sosial-kultural, tetapi juga memiliki sandaran teologis yang bersalil, baik Al-Quran maupun Hadist yang mendasari bangunan kaidah tersebut sehingga merasa haqqul yaqiin dalam menerapkannya. Sandaran teologis yang dimaksud tepatnya adalah Hadist yang berbunyi, “Maa roohul muslimuuna hasanan fahuwa ‘indallahi hasanun”. Yang artinya, “Apapun yang menurut kaum muslimin pada umumnya baik, maka baik pula bagi Allah”.
Dengan penjelasan ini setidaknya saya berharap bisa menjadi referensi timbangan yang adil dalam menilai amalan-amalan muslimin. Sehingga segala kontroversi yang belakangan ini bermunculan kembali setelah tiarap panjangnya akan segera berakhir. Dengan demikian kaum muslimin kembali tenteram dengan amal ibadahnya tanpa teror fitnah kebid’ahan dan lain-lain. Wallahu A’lam.
Sumber:
http://ahmadibanjarnegara.blogspot.com/2009/05/kontroversi-yasinan.html
http://ummatiummati.wordpress.com/2010/02/19/kontroversi-yasinan-kapan-berakhir/#comment-4451

No comments: